Jakarta, CNBC Indonesia - Utusan Khusus Presiden Bidang Perdagangan Internasional dan Kerjasama Multilateral Mari Elka Pangestu mengingatkan bahwa dampak perubahan iklim sudah dirasakan hari ini dan membawa konsekuensi serius terhadap ekonomi nasional.
Mari menyebut, krisis iklim saat ini bukan lagi hanya isu lingkungan, namun nyata berdampak negatif terhadap kehidupan masyarakat dan ekonomi.
"Frekuensi bencana alam meningkat, di satu sisi kekeringan dan di sisi lain banjir. Itu sangat mengganggu panen, siklus air, dan produksi pangan," jelasnya dalam Pembukaan Indonesia Climate Change Forum (ICCF) III 2025 di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (21/10/2025).
Dia menekankan, jika tidak ada tindakan konkret, pertumbuhan ekonomi bisa turun antara 1-6%. Tak hanya itu, kualitas sumber daya manusia juga akan berkurang sebesar 1,2 tahun, dan pendapatan tenaga kerja berpotensi hilang hampir 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
"Jadi banyak produktivitas manusia yang akan terpengaruh," ujarnya.
Selama bertahun-tahun negara berkembang seperti Indonesia sempat menganggap isu perubahan iklim sebagai isu "mewah". Namun kini, Mari menyebut, pandangan tersebut mulai berubah.
"The real trade off bukan antara pembangunan dan perubahan iklim, tetapi antara action now dan inaction now. Inaction is fueling the fire," tegasnya.
Saat ini arah kebijakan pemerintah dinilai mulai matang. Indonesia telah berkomitmen untuk mengejar pertumbuhan ekonomi di kisaran 6-8%, namun tetap berorientasi pada pertumbuhan hijau dan berkelanjutan.
Salah satu langkah yang dinilai sejalan adalah dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon. Aturan tersebut yang menjadi fondasi bagi pembentukan pasar karbon nasional.
Ia menjelaskan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya membuka peluang perdagangan karbon lintas negara, tetapi juga menjamin agar masyarakat lokal turut merasakan manfaat ekonomi dari aktivitas mitigasi emisi.
"Bukan hanya investor atau buyer yang mendapat manfaat, tapi masyarakat setempat juga harus dijamin mendapat benefit-nya," imbuhnya.
Dengan begitu, Mari menegaskan bahwa ekonomi hijau bukan sekadar agenda lingkungan, tetapi strategi pembangunan dan diplomasi ekonomi abad ke-21. Jika hal itu dijalankan dengan baik, strategi tersebut dapat menarik lebih banyak investasi, menciptakan lapangan kerja baru, dan mendorong keadilan sosial serta ekonomi.
"Ekonomi yang bertumbuh tinggi tapi berkelanjutan itu bukan instrumen lingkungan, tetapi jalan untuk mencapai pembangunan dan menjaga keberlanjutan. Kalau kita tidak bertindak sekarang, api itu akan makin besar. Inaction is not an option," tandasnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Update 'Neraka' Eropa, Sekolah Ditutup Darurat-Kebakaran Menggila