Bos BI Desak Pengusaha Serap Kredit, Jangan Wait dan See Terus!

1 hour ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memastikan, likuiditas perbankan saat ini sangat melimpah untuk menyalurkan pembiayaan ke sektor usaha. Masalahnya, sektor usaha hingga kini belum ada yang mau menyerap kredit atau pembiayaan dari perbankan.

Deputi Gubernur BI Destry Damayanti mengatakan, limpahan likuiditas itu terukur dari Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal yang jauh di atas ambang batas aman 8%, yakni di kisaran 26%. Lalu, alat likuid per dana pihak ketiga atau AL/DPK hingga kini juga di level 26%, jauh di atas threshold 10%.

"Cuma memang kalau kami bicara dengan bank mereka selalu bilang kami sudah siap memberikan kredit tapi dari sisi demand masih lemah dan demand itu adalah bapak ibu semua, karena pengusaha ada di situ," kata Destry saat berbicara dalam acara Rapimnas Kadin Indonesia 2025, dikutip Selasa (2/12/2025).

Menurut Destry para pengusaha hingga kini masih terlihat berhati-hati (wait and see) dalam melakukan ekspansi usaha alias menyerap kredit. Padahal, pemerintah juga telah memastikan stabilitas likuiditas di dalam negeri dengan mengucurkan dana simpanan Rp 276 triliun di BI ke perbankan sejak September 2025.

Oleh sebab itu ia menegaskan, saat ini adalah waktu yang tepat bagi para pengusaha untuk melakukan ekspansi usahanya dan menggerakkan aktivitas perekonomian, jangan melulu bersikap hati-hati atau wait and see.

"Banyak pengusaha itu dalam posisi itu wait and see, sementara pemerintah gerojokin dana, Kementerian Keuangan kan sudah Rp 200 triliun, ditambah Rp 76 triliun, tapi kan enggak mungkin hanya pemerintah yang gerak, kita butuh dorongan dari sektor swasta," ujar Destry.

Destry mewanti-wanti, bila timing limpahan likuiditas saat ini tidak cepat dimanfaatkan sektor usaha untuk menyerap pembiayaan dari perbankan, justru nantinya akan menyebabkan limpahan likuiditas itu balik ke pemerintah dan bank sentral melalui pembelian surat berharga oleh perbankan.

"Masalahnya kalau bank tidak bisa landing akhirnya dana itu kembali ke BI atau kembali beli SBN. Nah itu kan yang kita enggak mau, dan kami sudah membatasi di BI tapi sebagai fungsi lender of last resort ada hal tertentu yang kita enggak bisa tolak," tutur Destry.

"Karena kalau sebagai lender of last resort kalau bank butuh pinjaman kita harus beri pinjaman, namanya landing facility. Kalau dia enggak bisa place di interbanknya kita harus terima namanya deposit facility. Ini yang terus kita coba kurangi agar uang ini beredar di sektor riil," tegasnya.

Meski begitu, Destry mengakui, dari sisi biaya dana atau cost of fund perbankan hingga kini masih terbilang tinggi, efek dari kebijakan pemberian layanan special rate atau suku bunga khusus bagi deposan besar. Namun, itu menurutnya sudah diimbang dengan kepastian pelonggaran ketentuan pembiayaan dari kalangan perbankan karena jaminan suku bunga acuan yang rendah oleh BI melalui penurunan BI Rate sejak awal tahun.

"Memang bank kita ini sekarang cost of fund-nya sangat tinggi, karena special rate-nya tinggi, itu bisa sekitar 35% dari total DPK nya bank, ini yang sebabkan bank rigid, susah turunin bunga," ucap Destry.

(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |