Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia sedang berada di tengah ketidakpastian. Dalam lima tahun terakhir, serangkaian krisis pun terjadi. Dari pandemi global, perang, hingga munculnya teknologi kecerdasan buatan (AI) yang mengubah arah sejarah dan memaksa negara, korporasi, hingga individu untuk beradaptasi dalam ketidakpastian baru.
Namun di tengah beragam ancaman tersebut, satu risiko tetap berada di puncak kekhawatiran global yakni perubahan iklim.
Menurut data Visual Capitalist yang bersumber dari AXA 2025 Global Risks Report, isu iklim kini bukan hanya krisis lingkungan, melainkan ancaman eksistensial terhadap ekonomi dan keamanan dunia.
Laporan tersebut memetakan bagaimana 10 risiko terbesar global terus mengintai sejak 2020 hingga 2025, menunjukkan bahwa dunia kini menghadapi jaringan risiko yang saling berkaitan. Dari iklim ekstrem, ketegangan geopolitik, hingga disrupsi teknologi.
1. Perubahan Iklim: Ancaman Permanen di Dunia
Selama lima tahun terakhir, perubahan iklim bertahan sebagai risiko nomor satu global tanpa tergeser. Sejak 2021 hingga 2025, isu ini terus menjadi fokus utama karena dampaknya meluas dari krisis lingkungan menjadi krisis ekonomi dan kemanusiaan.
Tahun 2024 bahkan tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern, dengan suhu global yang melampaui 2023.
Gelombang panas ekstrem, kebakaran hutan, dan banjir besar menghancurkan infrastruktur, menurunkan hasil panen, serta memaksa jutaan orang bermigrasi ke wilayah yang lebih aman.
Data World Meteorological Organization (WMO) mencatat bahwa suhu di berbagai belahan dunia telah menembus rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sanbao Township, Xinjiang, China, yang pada 16 Juli 2023 mencatat suhu 52,2°C. Catatan resmi ini menembus rekor nasional China dan sekaligus menjadi suhu tertinggi yang menempatkannya dalam daftar 10 lokasi terpanas di dunia versi WMO.
Peristiwa tersebut menjadi alarm keras bahwa gelombang panas ekstrem kini meluas ke wilayah yang sebelumnya dianggap aman dari ancaman iklim ekstrem.
Rekor tertinggi masih dipegang oleh Furnace Creek (Death Valley), Amerika Serikat dengan suhu 56,7°C yang tercatat pada 10 Juli 1913 rekor resmi WMO yang hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan klimatolog modern.
Kondisi ini memperkuat temuan AXA bahwa perubahan iklim telah menjadi risiko lintas sektor. memicu kerusakan aset fisik, mengganggu rantai pasok global, serta memperburuk inflasi pangan. Dalam konteks ekonomi modern, iklim ekstrem kini bukan sekadar isu lingkungan, tetapi faktor struktural yang menentukan arah pertumbuhan dan stabilitas global di masa depan.
2. Geopolitik
Risiko geopolitik menempati posisi kedua sejak 2023 dan menjadi sorotan tajam setelah dunia mencatat angka kematian konflik yang sangat tinggi.
Di Eropa Timur, perang antara Ukraina dan Rusia telah memasuki tahun ketiga, dengan kerugian korban yang sangat besar di kedua belah pihak. Menjadikannya perang paling berdarah di benua biru sejak Perang Dunia II.
Sementara itu, di Timur Tengah serangan militer Israel ke Palestina dan berambat hingga pecahnya ketegangan Israel dengan Iran di pertengahan 2025 semakin memperparah ketegangan di kawasan yang menciptakan potensi eskalasi yang bisa meluas ke skala global.
Lebih dari 80% pakar meyakini bahwa risiko perang besar kini lebih tinggi dibanding sebelumnya. Fragmentasi geopolitik juga mempercepat lahirnya blok-blok ekonomi dan militer baru yang menantang tatanan globalisasi tradisional.
3. Keamanan Siber
Selama enam tahun terakhir, keamanan siber (cybersecurity) secara konsisten masuk tiga besar risiko global. Serangan terhadap infrastruktur penting, pencurian data, hingga sabotase digital meningkat pesat seiring percepatan transformasi digital pascapandemi.
Data mencatat, serangan siber lintas negara melonjak lebih dari 200% sejak 2020, dengan target utama sektor keuangan, energi, dan pemerintahan.
Kecerdasan buatan generatif memperumit situasi. Teknologi deepfake dan AI manipulation menciptakan ancaman baru terhadap keamanan informasi dan demokrasi. Dunia kini berhadapan dengan perang tanpa peluru, tapi dengan dampak ekonomi yang sama destruktifnya.
4. AI dan Big Data
Risiko AI dan Big Data menjadi sorotan baru sejak 2021 dan kini naik ke posisi empat global pada 2025. Di balik potensi kemajuan teknologi ini, terdapat ancaman terhadap privasi, bias algoritmik, serta ketidakpastian di pasar tenaga kerja.
Otomatisasi yang agresif dapat menghapus jutaan lapangan pekerjaan, sementara datamisuse dan manipulasi informasi bisa menciptakan krisis kepercayaan.
AXA memperingatkan bahwa AI adalah pedang bermata dua. Bisa menjadi solusi terbesar manusia, atau sumber ketidakstabilan sosial baru jika tanpa pengawasan yang kuat.
5. Tekanan Sosial, Ketimpangan yang Kian Melebar
Pandemi COVID-19 meninggalkan luka sosial yang dalam. Kesenjangan ekonomi melebar, kepercayaan publik terhadap institusi menurun tajam, dan di banyak negara muncul arus protes besar yang mengguncang stabilitas sosial. Tak heran, tekanan sosial konsisten masuk lima besar risiko global sejak 2020.
Lonjakan harga pangan, inflasi, dan pengangguran menjadi pemicu utama konflik sosial. Di Indonesia, gelombang demonstrasi besar terjadi mulai 25 Agustus 2025 di depan kompleks Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) di Jakarta untuk menyuarakan protes atas tunjangan anggota DPR yang dianggap sangat tinggi di tengah tekanan biaya hidup dan kondisi ekonomi yang berat.
Demo yang awalnya bersifat damai ini kemudian meluas ke banyak kota seperti Bandung, Surabaya, Makassar dan Medan. Ketegangan meningkat ketika seorang pengemudi ojol mesti merenggut nyawa ketika tertabrak kendaraan rantis milik Brimob.
Hal ini yang kemudian memicu kerusuhan dan penjarahan di beberapa lokasi seperti gedung DPRD dibakar, rumah anggota DPR hingga menteri dijarah, dan halte bus serta fasilitas publik rusak parah.
Di sisi lain, di Kathmandu, Nepal, aksi protes yang dipimpin generasi muda menentang pelarangan 26 aplikasi media sosial dan korupsi elite politik berubah menjadi kerusuhan nasional pada September 2025. Menandakan betapa cepat ketidakpuasan sosial bisa pecah menjadi konflik terbuka.
Foto: Seorang demonstran memegang pisau dan bendera Nepal saat asap mengepul di kompleks Parlemen selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Seorang demonstran memegang pisau dan bendera Nepal saat asap mengepul di kompleks Parlemen selama protes terhadap pembunuhan 19 orang pada hari Senin setelah protes antikorupsi yang dipicu oleh larangan media sosial, yang kemudian dicabut, selama jam malam di Kathmandu, Nepal, 9 September 2025. (REUTERS/Adnan Abidi)
Risiko ini akan terus membayangi dekade mendatang, terutama di negara berkembang yang menghadapi tekanan fiskal, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan ketergantungan tinggi pada sektor informal.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

4 hours ago
4


































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5273598/original/029668700_1751637513-WhatsApp_Image_2025-07-04_at_8.55.48_PM.jpeg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4713389/original/012163500_1704983411-WhatsApp_Image_2024-01-11_at_21.21.33.jpeg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5272514/original/002039600_1751554236-WhatsApp_Image_2025-07-03_at_9.46.56_PM.jpeg)








