Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, cabai sempat menjadi simbol getir pascabencana. Jalan darat terputus, panen menumpuk, sementara cabai tak bisa menunggu lama.
Dalam hitungan hari, yang biasanya jadi tumpuan dapur dan sumber nafkah bisa berubah jadi beban di tangan petani karena kualitas cepat turun dan harga ikut amblas. Pada hal demikian, solidaritas bukan lagi slogan, melainkan keputusan yang konkret dan cepat.
Cerita ini mengalir ke Jakarta lewat banyak tangan, salah satunya dipantik oleh Ferry Irwandi. Ia mengangkat persoalan yang sederhana tapi genting-stok melimpah di daerah terdampak, permintaan ada di kota besar, namun akses terhambat. Dari situ, gagasan membawa cabai keluar Aceh lewat jalur udara ramai didukung.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian kemudian menyerap sekitar 40 ton cabai dari Aceh Tengah dan Bener Meriah, dengan 15 ton dikirim ke Jakarta menggunakan pesawat Hercules dari Bandara Rembele ke Halim. Pemprov DKI Jakarta pun mendistribusikan 1,4 ton cabai asal Aceh ke pasar-pasar melalui gerai Pasar Jaya, bahkan dijual sekitar Rp40.000 per kg ketika harga pasar disebut berada di kisaran Rp50.000-Rp60.000-an.
Yang membuat kisah ini hangat bukan hanya angka, melainkan jembatan yang terbentuk antara ladang yang sempat terisolasi dan meja makan kota. Inisiatif masyarakat ikut mengalir melalui jejaring penyerapan seperti Rumah Tani Nusantara dan dukungan publik yang memilih "membeli" sebagai bentuk empati.
Ada pula pembaruan per 26 Desember 2025 bahwa pengiriman sudah bergerak bertahap-termasuk kabar 7 ton cabai tiba di Jakarta pada 25 Desember, sementara komoditas lain masih tertahan cuaca dan longsor.
Dari sini bisa diambil pelajaran, ketika rantai pasok retak karena bencana, solidaritas bisa menjadi infrastruktur paling cepat bekerja-menjaga harga tetap waras, sekaligus menjaga martabat petani agar tidak menanggung rugi sendirian.
Saat Logistik menjadi Pelindung Nafkah
Dalam situasi pascabencana, logistik bekerja seperti "institusi ekonomi" yang menentukan apakah hak atas hasil kerja bisa benar-benar dinikmati. Secara hukum-ekonomi, gangguan akses memunculkan lonjakan biaya transaksi dan memperlemah posisi tawar petani karena mereka kehilangan kanal informasi, transportasi, dan pembeli alternatif.
Pada saat yang sama, sifat komoditas yang mudah rusak membuat petani menghadapi "batas waktu" yang tidak dimiliki pihak lain. Maka, memulihkan jalur distribusi adalah bentuk pelindungan nafkah yang paling langsung karena ia mengurangi biaya transaksi, memperluas pilihan, dan mengembalikan mekanisme pertukaran yang lebih adil bagi pihak paling rentan.
Dari sisi teori kebijakan publik, intervensi logistik pascabencana dapat dibaca sebagai respons terhadap kegagalan pasar akibat shock dan friksi distribusi. Ketika pasar tak mampu mengoordinasikan pasokan dan permintaan karena hambatan fisik, negara dan jejaring sosial dapat berperan sebagai "penjamin koordinasi" agar pasar kembali bekerja.
Fungsi ini selaras dengan gagasan buffer stock atau penyangga, bukan dalam arti menimbun, melainkan memastikan barang bisa bergerak menuju lokasi permintaan saat mekanisme normal terganggu. Dengan begitu, yang dipulihkan bukan hanya arus barang, tetapi juga ekspektasi pelaku pasar, yang penting untuk meredam perilaku oportunistik seperti spekulasi dan penahanan barang ketika isu kelangkaan berkembang.
Kisah cabai Aceh menunjukkan bahwa logistik yang efektif bukan hanya soal moda angkut, tetapi soal tata kelola rantai pasok yang menyeimbangkan kepentingan petani, pedagang, dan konsumen. Jika dirancang baik, ini menciptakan insentif agar semua pihak tetap berada dalam permainan-petani tidak terpaksa melepas dengan harga merusak, pedagang tetap punya ruang margin yang wajar, dan konsumen tidak dibebani kepanikan harga.
Logistik menjadi jembatan solidaritas yang punya dasar konseptual kuat karena ini menurunkan friksi, memperbaiki koordinasi, dan mengubah kepedulian menjadi mekanisme yang terukur; pelajaran berikutnya adalah melembagakan protokol distribusi darurat agar pelindungan nafkah tidak bergantung pada momen, melainkan menjadi kapasitas kebijakan yang siap pakai.
Menjaga Harapan di Ladang yang Terluka
Bencana tidak hanya merusak jalan dan jembatan, tetapi juga meretakkan rasa aman orang-orang yang hidup dari musim panen. Pada posisi demikian, persoalan cabai bukan lagi semata soal komoditas, melainkan soal keluarga yang menggantungkan hidup pada hasil kebun, soal tagihan yang tetap berjalan, dan soal martabat kerja yang tak seharusnya runtuh hanya karena akses terputus.
Solidaritas yang mengalir-dari warga yang memilih membeli, jejaring komunitas yang membuka jalur, hingga negara yang turun tangan-pada dasarnya sedang menjaga satu hal yang paling rapuh setelah bencana, yakni harapan.
Dari kacamata hukum dan ekonomi, harapan itu hadir ketika risiko tidak seluruhnya dibebankan pada pihak yang paling lemah. Di sini relevan konsep risk sharing dalam kebijakan publik, yaitu pembagian beban risiko secara lebih adil ketika terjadi guncangan yang bukan kesalahan individu.
Tanpa mekanisme berbagi risiko, petani akan terjebak pada situasi "rugi sendiri" padahal bencana adalah peristiwa kolektif. Ketika ada penyerapan dan jalur distribusi darurat, negara dan masyarakat sebenarnya sedang membangun bentuk sederhana asuransi sosial informal yang mencegah petani jatuh lebih dalam, sekaligus menahan efek berantai ke ekonomi lokal.
Pelajaran kemanusiaannya jelas, bahwa kita tidak cukup hanya mengagumi kisah viral atau merayakan angka tonase. Yang perlu dijaga adalah kesinambungan, agar setelah sorotan mereda, petani tetap punya akses pasar yang layak, informasi harga yang jernih, dan saluran distribusi yang siap dipakai saat krisis datang lagi.
Jadi, solidaritas tidak berhenti sebagai momen belas kasihan, melainkan berubah menjadi kebiasaan kebijakan yang memuliakan kerja. Sebab pada akhirnya, menjaga cabai tetap bergerak adalah cara kita menjaga agar harapan di ladang yang terluka tidak ikut layu.
(miq/miq)

1 hour ago
2

















































