Kadin Buka Suara, Ingatkan Ancaman Bahaya Akibat Aturan Upah Terbaru

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah menetapkan formula kenaikan upah minimum dengan menerbitkan Peraturaan Pemerintah (PP) Nomor 49 tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas PP Nomor 36 tahun 2021. PP ini resmi ditetapkan dan ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto per Rabu (17/12/2025).

Dalam PP itu, Prabowo menetapkan, formula kenaikan upah adalah:

  • Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa)

Dalam hal ini, Prabowo memutuskan angka untuk indeks tertentu alias alfa adalah di rentang Alfa 0,5 - 0,9.

Terungkap, pertimbangan pemerintah menetapkan PP No 49/2025 adalah menjalankan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168 tahun 2023. Serta, untuk menjaga daya beli pekerja atau buruh guna penghidupan yang layak, menjaga kelangsungan usaha serta stabilitas ekonomi nasional.

Lantas, bagaimana pelaku usaha merespons terbitnya PP Pengupahan No 49/2025 ini?

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, PP No 49/2025 akan memengaruhi pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas. Terutama, imbuh dia, melalui jalur biaya produksi, iklim investasi, dan dinamika penyerapan tenaga kerja.

"Sebagai kontributor utama PDB industri dan ekspor manufaktur, sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan kebijakan pengupahan," katanya, dikutip Jumat (19/12/2025).

Dia menambahkan peningkatan upah minimum, baik melalui perluasan rentang indeks penyesuaian maupun pengenalan upah minimum sektoral, cenderung menaikkan biaya tenaga kerja secara struktural.

"Dalam jangka pendek hingga menengah, kenaikan biaya ini berisiko menekan laju pertumbuhan output industri nonmigas, khususnya pada subsektor padat karya," tukasnya.

"Karena perusahaan akan lebih berhati-hati dalam melakukan ekspansi kapasitas dan perekrutan tenaga kerja baru. Strategi penyesuaian yang ditempuh pelaku usaha umumnya berfokus pada efisiensi, otomasi terbatas, atau rasionalisasi tenaga kerja, yang dapat membatasi kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi nasional," ucap Saleh.

Sementara di sisi investasi, lanjutnya, ketidakpastian akibat perubahan kebijakan pengupahan yang relatif sering berpotensi menahan realisasi investasi baru di industri pengolahan nonmigas.

"Investor cenderung menunda atau mengalihkan investasi ke sektor atau wilayah dengan struktur biaya yang lebih stabil, sehingga laju pembentukan modal tetap (PMTB) di sektor manufaktur dapat melambat," cetusnya.

"Kondisi ini pada akhirnya dapat menurunkan potensi pertumbuhan jangka menengah industri nonmigas, terutama jika tidak diimbangi dengan peningkatan produktivitas dan efisiensi teknologi," kata Saleh.

Namun di sisi lain, sambungnya, kebijakan ini berpotensi mendorong pertumbuhan dari sisi permintaan melalui peningkatan daya beli pekerja industri.

Hanya saja, kata Saleh, efek positif terhadap permintaan domestik cenderung bersifat bertahap dan tidak langsung.

"Sementara dampak kenaikan biaya produksi bersifat lebih cepat dan langsung dirasakan oleh pelaku industri," ujarnya.

"Akibatnya, dalam jangka pendek, efek bersih terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan nonmigas berpotensi moderat hingga cenderung menahan laju pertumbuha. Terutama pada subsektor yang berorientasi ekspor dan menghadapi persaingan global ketat," sambungnya mengingatkan.

Secara keseluruhan, kata Saleh, PP No 49/2025 berpotensi menimbulkan trade-off antara perlindungan pendapatan pekerja dan percepatan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.

"Tanpa kebijakan pendukung yang kuat, seperti peningkatan produktivitas tenaga kerja, insentif investasi industri, dan penguatan rantai pasok domestik, pertumbuhan sektor industri nonmigas ke depan berisiko bergerak lebih lambat dibandingkan potensinya," pungkas Saleh.

(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |