Kota Justru Jadi Kuburan Pencari Kerja bagi Pemuda Indonesia

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Alih-alih menjadi magnet peluang, kota justru berubah jadi medan tersulit bagi anak muda mencari kerja.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pemuda yang tinggal di perkotaan 17% lebih lambat mendapat pekerjaan dibanding mereka yang di desa. Di tengah janji bonus demografi, fakta ini menampar optimisme bahwa urbanisasi otomatis membuka jalan menuju kesejahteraan.

Hambatan terbesar bagi pemuda perkotaan berasal dari persaingan ketat di sektor formal dan tingginya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di wilayah tersebut. Pada 2024, TPT di kota tercatat 5,79%, lebih tinggi dibanding 3,67% di desa. Artinya, meskipun fasilitas pendidikan dan infrastruktur ekonomi lebih banyak di kota, daya serap lapangan kerja tidak cukup menampung derasnya arus pencari kerja baru.

Masalah ini juga terlihat dari jenis pekerjaan yang tersedia. Pemuda di perkotaan cenderung mencari pekerjaan formal dengan kriteria tertentu, sedangkan di perdesaan banyak yang terserap ke sektor pertanian atau usaha informal yang lebih cepat diakses.

Kondisi ini membuat transisi dari pendidikan ke pekerjaan di kota menjadi lebih panjang, terutama bagi lulusan menengah dan tinggi yang memiliki preferensi terhadap posisi "white collar".

Studi McKinsey (2025) dalam laporan The Enterprising Archipelago menegaskan bahwa fenomena ini bukan semata soal lokasi, struktur produktivitas antar-wilayah juga menjadi penyebab.

Pekerja di perkotaan memang lebih banyak di sektor jasa dan manufaktur, tetapi produktivitas tenaga kerja Indonesia di sektor tersebut masih tergolong rendah dibanding negara peers di Asia. Hal ini menyebabkan urban labor absorption tidak sebanding dengan peningkatan jumlah penduduk kota.

McKinsey mencatat bahwa kontribusi sektor jasa terhadap PDB Indonesia mencapai 45%, namun produktivitasnya hanya sekitar US$14.000 per tenaga kerja per tahun, jauh di bawah Korea Selatan (US$58.000) dan Malaysia (US$32.000).

Sementara di sektor pertanian yang mendominasi tenaga kerja pedesaan-produktivitas hanya sekitar US$6.000 per tenaga kerja, tetapi tingkat partisipasi dan stabilitas kerja relatif lebih tinggi. Artinya, desa justru menawarkan peluang kerja yang lebih stabil meski dengan produktivitas rendah.

Selain itu, tingkat urbanisasi yang tidak disertai peningkatan kapasitas sektor formal turut memperlebar ketimpangan. McKinsey mencatat bahwa lebih dari 60% tenaga kerja baru yang masuk ke kota justru terserap di sektor informal, seperti jasa mikro dan perdagangan jalanan. Hal ini menciptakan fenomena "urban underemployment", di mana banyak tenaga kerja berpendidikan tinggi bekerja di posisi yang tidak memerlukan kualifikasi mereka.

Konsisten dengan laporan BPS yang menunjukkan fenomena overeducated lebih banyak ditemukan di wilayah perkotaan.

Pemuda berpendidikan tinggi di kota seringkali mengisi pekerjaan administrasi atau sales yang tidak sesuai dengan latar pendidikan.

Sementara di pedesaan, undereducated lebih dominan karena banyak pekerja dengan pendidikan dasar yang mengisi posisi pertanian atau konstruksi. Kedua kondisi ini sama-sama mengindikasikan mismatch, tetapi dengan wajah berbeda di tiap wilayah.

Ketimpangan juga tampak dari perbedaan jenis pekerjaan formal dan informal, 42,83% pemuda overeducated bekerja di sektor informal, sementara di desa jumlahnya lebih kecil karena sebagian besar bekerja di sektor utama. Artinya, kemudahan mendapatkan pekerjaan di desa bukan berarti kualitasnya lebih baik, namun lebih karena tingkat selektivitas dan ekspektasi kerja yang berbeda.

Indonesia punya peluang besar memperbaiki situasi ini melalui integrasi kebijakan antara pendidikan, digitalisasi, dan pemerataan ekonomi daerah. Jika kota mampu memperluas lapangan kerja formal dan desa mampu meningkatkan produktivitas sektor utama, maka arus tenaga kerja muda akan lebih seimbang. Dengan demikian, bonus demografi benar-benar menjadi sumber daya, bukan beban ekonomi.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |