Perang Dagang: Dampak ke RI Tak Seburuk Itu, Masih Ada 7 Sisi Positif

8 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan tarif dagang yang disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, tentu memberikan kekhawatiran bagi global. Namun demikian, sisi positif dan peluang tetap terlihat dan investor perlu mampu memanfaatkannya.

Sebagai informasi, pada pekan lalu, disampaikan bahwa Indonesia terkena tarif resiprokal sebesar 32%. Sementara negara lainnya seperti Malaysia dan Jepang dikenakan tarif timbal balik sebesar 24%, China 34%, Vietnam 46%, dan Singapura sebesar 10%.

Menanggapi hal ini, Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan, pemerintah akan terus memitigasi dampak negatif dari kebijakan Trump itu, yang mengenakan tarif timbal balik senilai 32%.

Kepala Ekonom Sucor Sekuritas, Ahmad Mikail Zaini menyampaikan di tengah persoalan tarif ini, terdapat 'malaikat' yang menjadi harapan.

1. Surplus Neraca Perdagangan

Ia menyampaikan bahwa tarif ini tidak serta-merta mengakhiri surplus perdagangan Indonesia dengan AS. Meski ekspor ke AS hanya 9,9% dari total ekspor Indonesia, surplus sebesar US$ 16,9 miliar masih terjaga, sedikit lebih tinggi dibanding surplus dengan India (US$ 15,4 miliar). Diversifikasi ekspor ke pasar lain seperti India, ASEAN, China, Uni Eropa, Australia, Afrika, dan Timur Tengah dapat menjadi penyangga terhadap dampak negatif.

Selain itu, tarif tinggi tidak serta-merta menghentikan hubungan dagang Indonesia-AS. Indonesia masih punya peluang mempertahankan surplus, terutama karena posisinya lebih kuat dibanding China (kena tarif 34%) dan Vietnam (46%).

2. Impor Migas Lebih Murah

Tarif Trump menimbulkan sentimen negatif di pasar minyak, yang justru menguntungkan Indonesia sebagai negara pengimpor minyak. Dengan defisit perdagangan migas sebesar US$ 20,4 miliar, penurunan harga Brent crude sebesar 21% dari tahun lalu bisa menghemat hingga US$ 4 miliar. Ini mendukung proyeksi surplus perdagangan sekitar US$ 3 miliar per bulan.

3. Pasar Obligasi: Imbal Hasil Turun, Pasar EM Menguat

Setelah pengumuman tarif, imbal hasil US Treasury 10 tahun turun dari 4,25% ke 3,85%, memicu reli obligasi pasar negara berkembang. Imbal hasil obligasi pemerintah India dan Filipina turun masing-masing 10 dan 15 basis poin.

"Kami memperkirakan yield Indonesia (BBB oleh S&P) juga akan ikut turun. Jika yield AS terus menurun, investor asing bisa beralih ke obligasi tanpa membebani nilai tukar rupiah," kata Ahmad.

4. Defisit Pendapatan Primer Bisa Menyempit

Penurunan yield AS membuat imbal hasil domestik Indonesia lebih menarik. Misalnya, SVBI 6 bulan Bank Indonesia menawarkan 4,5% bebas pajak, jauh lebih menarik dari US Treasury 10 tahun. Ini bisa mendorong eksportir menempatkan devisa di dalam negeri dan membantu memperkecil defisit pendapatan primer. Tahun 2024, meskipun surplus perdagangan mencapai US$ 31 miliar, defisit pendapatan primer sebesar US$ 36 miliar menyumbang defisit transaksi berjalan (CAD) 0,6% PDB.

5. Daya Intervensi BI Tetap Kuat

Dalam kondisi ketidakpastian, BI diperkirakan akan tetap hadir. Dengan outstanding SRBI Rp892 triliun dan pembelian obligasi pemerintah baru Rp495 triliun pada tahun lalu, cadangan intervensi masih besar.

Sedangkan dari sisi cadangan devisa (cadev), cadev Indonesia per Februari 2025 terpantau masih sangat solid yang sebesar US$154,5 miliar.

Nada positif pun disampaikan oleh Head of Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menyampaikan bahwa apabila terjadi penurunan yang tajam dan memicu penghentian sementara perdagangan (circuit breaker), justru itu dianggap sebagai momen ideal untuk membeli saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Setidaknya terdapat tujuh poin yang disampaikan Satria soal nada positif yang perlu dicermati investor dan pelaku pasar.

1. Potensi Circuit Breaker & Aksi Beli Saat Bursa Saham Dibuka Kembali

ETF saham Indonesia anjlok 10% selama pasar lokal libur panjang Lebaran. Maka apabila circuit breaker terpicu saat IHSG dibuka kembali pada Selasa, ada potensi aksi beli oleh investor institusi asing maupun domestik, mengingat posisi kas mereka tinggi setelah menjual saham lebih awal sebelum libur panjang.

2. Ekspor AS Hanya 2% dari PDB Indonesia

Paparan ekspor Indonesia ke AS hanya 2% dari PDB-terendah di Asia Tenggara (dibanding Thailand 11%, Malaysia 10%). Meski produk Indonesia dikenakan tarif 32%, tarif ini masih lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Bangladesh, Kamboja, China, Sri Lanka, dan Vietnam yang dikenai bea masuk 37-49%. Ini bisa memperkuat daya saing Indonesia dalam menarik investasi asing langsung (FDI).

3. Indonesia Berada di Zona "Goldilocks"

Dengan eksposur perdagangan global yang rendah, harga minyak menurun, dan suku bunga global turun, Indonesia berada di posisi ideal. Dalam 3 hari terakhir, pasar saham terparah terjadi di ekonomi yang sangat bergantung pada perdagangan global seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Taiwan. Sementara negara dengan basis domestik seperti India dan Malaysia justru turun kurang dari 8%.

4. Depresiasi Rupiah Jadi Perlindungan Alami

Rupiah berada di Rp17.000 per dolar, telah melemah 11% dalam enam bulan terakhir-menjadi pelindung alami dari tarif AS. Di saat dolar melemah (DXY), banyak mata uang Asia justru menguat. Ini membuat rupiah yang undervalued menjadi daya tarik tersendiri bagi ekspor manufaktur dan instrumen keuangan Indonesia.

5. Dampak Tarif Baru AS Minimal terhadap Laba Korporasi Indonesia

Laba korporasi Indonesia FY25E berada di level dasar yang rendah, jadi dampak tarif AS dinilai minimal. Bahkan margin bisa membaik karena depresiasi rupiah 5% bulan ini diiringi penurunan harga minyak 15% (bahan baku utama).

"Maka aksi jual mendatang justru jadi peluang akumulasi saham unggulan kami: BBRI, BRIS, ANTM, ADHI, CTRA, dan GOTO," pungkas Satria.

6. Likuiditas Global > Fundamental

Rebound pasar kali ini bisa datang dari lonjakan likuiditas global (M2), karena The Fed dan bank sentral lainnya bersiap memangkas suku bunga atau meluncurkan QE baru. Seperti tahun 2020, pasar bisa reli meski laba perusahaan menurun.

"Di 2025 ini, kami meyakini hal serupa bisa terjadi meskipun AS jatuh ke dalam stagflasi," ujarnya.

7. Kapitulasi Trump Bisa Jadi Pemicu Rebound Tajam

Bahana Sekuritas percaya Presiden Trump pada akhirnya akan berkompromi lebih cepat dari yang diperkirakan. Isyarat sekecil apa pun soal kompromi bisa memicu rebound pasar yang lebih agresif dari tahun 2020. Di AS, pasar saham sangat penting secara politik dan ekonomi-alokasi saham dalam kekayaan rumah tangga AS kini tembus 40%, jauh di atas China, Jepang, dan Inggris (

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |