Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah laporan besar terbaru mengenai dampak krisis iklim terhadap kesehatan global mengungkapkan baru sekaligus kerugian finansial yang masif akibat ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil. Laporan itu dinamai Lancet Countdown on Health and Climate Change edisi 2025 dan dirilis Rabu (29/10/2025).
Laporan komprehensif yang disusun oleh 128 pakar dari lebih dari 70 institusi akademik dan badan PBB ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu global kini secara rata-rata membunuh satu orang per menit di seluruh dunia. Antara tahun 2012 hingga 2021, rata-rata kematian terkait panas mencapai 546.000 per tahun, meningkat 23% sejak tahun 1990-an.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa kekeringan dan gelombang panas merusak tanaman dan ternak, menyebabkan 123 juta orang lebih menderita kerawanan pangan pada tahun 2023 dibandingkan rata-rata tahunan 1981-2010. Kebakaran hutan, yang dipicu oleh kondisi semakin panas dan kering, menyebabkan rekor 154.000 kematian pada tahun 2024.
Selain korban jiwa serta kerusakan di hutan dan hasil ternak, pemanasan global menimbulkan kerugian ekonomi yang setara dengan subsidi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan bahan bakar fosil.
Laporan tersebut menyoroti paradoks fiskal yang mendalam. Pemerintah global memberikan subsidi langsung sebesar US$2,5 miliar (Rp41,55 triliun) per hari kepada perusahaan bahan bakar fosil pada tahun 2023.
Di sisi lain, secara total, paparan suhu tinggi mengakibatkan kerugian tenaga kerja mencapai rekor 639 miliar jam pada tahun 2024. Hal ini menyebabkan kerugian PDB nasional sebesar 6% di negara-negara kurang berkembang.
Secara tahunan, jumlah subsidi bahan bakar fosil langsung yang disediakan oleh pemerintah dunia pada tahun 2023 mencapai US$956 miliar (Rp15.885,12 triliun). Angka ini jauh melampaui janji bantuan iklim sebesar US$300 miliar (Rp4.986 triliun) per tahun yang dijanjikan pada KTT iklim PBB Cop29 tahun 2024 untuk negara-negara yang paling rentan terhadap iklim.
Beberapa negara juga menghabiskan lebih banyak uang untuk subsidi bahan bakar fosil dibandingkan anggaran kesehatan nasional mereka, termasuk Arab Saudi, Mesir, Venezuela, dan Aljazair. Sementara itu, Inggris memberikan subsidi US$28 miliar (Rp465,36 triliun) dan Australia mengalokasikan US$11 miliar (Rp182,82 triliun) pada tahun 2023.
Sementara itu, sektor keuangan juga dikritik keras karena terus mendukung ekspansi bahan bakar fosil. 40 pemberi pinjaman terbesar di dunia kepada sektor bahan bakar fosil secara kolektif menginvestasikan tingkat tertinggi dalam lima tahun terakhir sebesar US$611 miliar (Rp10.155,82 triliun) pada tahun 2024. Sementara itu, pinjaman mereka untuk sektor hijau lebih rendah, yaitu US$532 miliar (Rp8.842,64 triliun).
Marina Romanello dari University College London (UCL), yang memimpin analisis tersebut, menegaskan bahwa krisis iklim tidak terhindarkan dan memiliki konsekuensi kesehatan yang parah.
"Laporan ini melukiskan gambaran yang suram dan tak terbantahkan mengenai dampak buruk kesehatan yang menghantam setiap penjuru dunia. Kerusakan terhadap kehidupan dan mata pencaharian akan terus meningkat hingga kita mengakhiri kecanduan kita pada bahan bakar fosil," kata Romanello, sebagaimana dikutip The Guardian.
"Jika kita terus mendanai bahan bakar fosil dan memungkinkan ekspansi bahan bakar fosil ini, kita tahu bahwa masa depan yang sehat tidak mungkin terjadi."
Profesor Ollie Jay dari University of Sydney, yang merupakan bagian dari tim analisis, menekankan kengerian dari data kematian. Ia meramalkan adanya kenaikan angka kematian dalam waktu mendatang.
"Itu kira-kira satu kematian terkait panas setiap menit sepanjang tahun. Itu adalah angka yang benar-benar mengejutkan dan angkanya terus meningkat," ujarnya.
CEO firma hukum lingkungan ClientEarth, Laura Clarke, menyoroti pergeseran fokus pada akuntabilitas. Menurutnya, dunia sudah perlu mempertimbangkan kembali dampak perubahan iklim yang semakin lama semakin muncul di tengah masyarakat dunia.
"Kita sedang menjalani era konsekuensi iklim. Gelombang panas, banjir, kekeringan, dan penyakit bukan lagi peringatan yang jauh-itu sudah terjadi sekarang. Namun, akuntabilitas atas dampak iklim bukan lagi pertanyaan 'jika' tapi 'kapan'," tegas Clarke.
(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Tanda Kiamat Makin Dekat - Tambang Ilegal Merajalela di RI

6 hours ago
1

































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5273598/original/029668700_1751637513-WhatsApp_Image_2025-07-04_at_8.55.48_PM.jpeg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4713389/original/012163500_1704983411-WhatsApp_Image_2024-01-11_at_21.21.33.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4741002/original/036562200_1707726174-6_Gaya_Ceria_Ria_Ricis_dengan_Outfit_Cerah_saat_Liburan_di_Eropa__5_.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5272514/original/002039600_1751554236-WhatsApp_Image_2025-07-03_at_9.46.56_PM.jpeg)







