Cerita Pasutri Berhasil Punya Anak Setelah 18 Tahun Berkat AI, Begini Kisahnya

5 hours ago 3
Jakarta -

Pasangan suami istri di New York, Amerika Serikat (AS), telah menanti kehadiran buah hati setelah 18 tahun menikah. Setelah sekian lama menunggu, mereka berhasil punya momongan berkat bantuan artificial intelligence (AI).

Teknologi AI ini mendeteksi sperma 'tersembunyi' pada air mani sang suami yang awalnya didiagnosis azoospermia.

Sebagian besar air mani yang sehat mengandung jutaan sperma. Tetapi, hingga 15 prima pria yang tidak subur seperti mengalami azoospermia, yang berarti tidak ada sperma yang ditemukan.

"Sampel air mani mungkin tampak sangat normal. Tetapi ketika Anda melihat di bawah mikroskop, Anda hanya menemukan lautan serpihan sel, tanpa sperma yang terlihat," jelas Dr Zev Williams, direktur Pusat Fertilitas Universitas Columbia, dikutip dari NYPost, Minggu (6/7/2025).

Hingga saat ini, pria dengan azoospermia memiliki sedikit cara untuk mengatasi kekurangan sperma.

"Pilihan yang ada biasanya menggunakan sperma donor atau mencoba menjalani operasi yang menyakitkan, di mana sebagian testis diangkat dan mereka memeriksa testis untuk mencoba menemukan sperma," sambungnya.

Dengan bantuan teknologi AI, para peneliti menghabiskan waktu lima tahun untuk mengembangkan sistem STAR atau Sperm Tracking and Recovery. Teknologi ini berfungsi untuk mencari kehidupan dari jenis yang berbeda.

Saat diuji pada sampel yang telah diteliti oleh embriolog selama dua hari, tidak ada hasilnya. Tetapi, teknologi STAR ini berhasil menemukan 44 sperma hanya dalam satu jam.

"Kami menggunakan teknologi yang sama yang digunakan untuk mencari kehidupan di alam semesta untuk membantu menciptakan kehidupan baru di bumi ini," terang Williams.

Kasus Pertama yang Ditangani

Pada Maret 2025, seorang wanita yang menggunakan nama samaran Rosie menjadi orang pertama yang hamil dengan teknologi STAR. Ini adalah kehamilan pertama yang sudah dinantikan Rosie dan suaminya selama 18 tahun, dengan suami yang didiagnosis mengalami azoospermia.

"Tidak ada yang lain di luar sana. Terutama karena saya jauh lebih maju beberapa tahun dari yang seharusnya (dalam hal kesuburan)," jelas wanita 38 tahun itu.

"Saya tidak setua itu, tetapi dalam hal kesuburan (dalam hal sel telur) saya sudah mencapai akhir," lanjutnya.

Bagi suami Rosie, prosesnya sangat sederhana. Hal yang harus dia lakukan hanya memberikan sampel sperma.

Para peneliti kemudian memindai sampel dengan pencitraan berkekuatan tinggi, menangkap lebih dari 8 juta gambar dalam waktu kurang dari satu jam. Dengan menggunakan AI, mereka dapat mendeteksi tiga sel sperma yang sehat.

Setelah ditemukan, sperma sehat itu segera diekstraksi oleh robot, menghindari kerusakan dari metode tradisional seperti sentrifugasi, yang memutar sampel dan dapat merusak sel-sel.

Williams menggambarkan proses ini seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami hanya dalam waktu kurang dari dua jam. Secepat itulah sistem STAR.

Setelah diekstraksi, sperma dapat langsung digunakan untuk fertilisasi in vitro atau dibekukan untuk percobaan berikutnya. Dalam kasus Rosie, dokter berhasil membuahi sel telurnya dalam waktu dua jam setelah mengambil sampel dari suaminya.

Beberapa hari kemudian, embrio dipindahkan ke rahimnya. Sekarang, Rosie hamil lima bulan dan merasa semua ini seperti tidak nyata.

"Saya masih bangun di pagi hari dan tidak percaya apakah ini benar atau tidak," kata Rosie.

Diperkirakan, bayi Rosie dan suaminya akan lahir pada bulan Desember.

Masih Diragukan Para Ahli

Sistem STAR saat ini hanya tersedia di Columbia University Fertility Center, tempat beberapa pasien lain sudah dalam 'tahap penyimpanan'. Meskipun teknologi baru ini menawarkan harapan, beberapa ahli bersikap skeptis.

"Secara kasat mata, ini tampak menjanjikan. Tetapi, seperti halnya teknologi baru dalam bidang kedokteran, terutama dalam perawatan reproduksi, kita perlu mengikuti data dan mempelajarinya lebih lanjut," jelas Robert Brannigan, presiden terpilih American Society for Reproductive Medicine, dalam sebuah wawancara.

Pengembangan sistem STAR terjadi di tengah meningkatnya infertilitas pria secara global. Satu studi menemukan bahwa jumlah sperma pada pria Barat anjlok 52,4 persen antara tahun 1973 dan 2011.

Ilmuwan masih berupaya untuk menentukan penyebabnya. Tetapi, diduga paparan lingkungan dan faktor gaya hidup seperti obesitas, pola makan yang buruk, dan kurangnya aktivitas fisik juga berperan.

Seiring meningkatnya angka infertilitas, semakin banyak pasangan yang beralih ke reproduksi berbantuan seperti IVF dan sistem STAR untuk mendapatkan kesempatan memiliki anak.

"Dengan metode kami, banyak pria yang diberi tahu bahwa mereka tidak memiliki peluang untuk memiliki anak biologis kini memiliki peluang itu," pungkas Williams.

(sao/kna)


Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |