loading...
(Kiri-kanan) Ketua FSI Johanes Herlijanto, pengajar UI Chaula Rininta Anindya, Waasintel TNI Laksma Laksma TNI Oka Wirayudhatama, Dekan FSP Unhan Mayjen TNI Oktaheroe Ramsi mengikuti seminar di Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Ist
JAKARTA - Kawasan maritim Asia Timur yang bersebelahan langsung dengan kawasan Asia Tenggara di mana Indonesia berada saat ini sedang dalam kondisi tegang. Pasalnya, pernyataan Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi yang menganggap skenario serangan Republik Rakyat China (RRC) kepada Taiwan sebagai sebuah situasi ancaman bagi negaranya direspons secara agresif oleh RRC.
Upaya Jepang untuk mendinginkan suasana tidak digubris pihak RRC. Sebaliknya, RRC cenderung meningkatkan eskalasi ketegangan dengan melakukan berbagai manuver, termasuk meminta warganya untuk tidak berkunjung ke Jepang, pemberhentian impor makanan laut dari Jepang, serta melakukan berbagai aktivitas militer di dekat Kepulauan Senkaku yang berpotensi menambah runyam keadaan.
Baca juga: Ketegangan Memuncak, Jepang–China Saling Tantang di Laut China Timur
Keadaan makin memanas seiring tindakan China mengunci radar pengendali tembakan pesawat tempur mereka ke arah pesawat Jepang di dekat kepulauan Okinawa.
Beberapa pemerhati Hubungan Internasional, pemerhati China, serta praktisi dan pakar pertahanan, berpandangan bahwa Indonesia harus tetap mengedepankan netralitas dalam menghadapi situasi tersebut.
Para pakar dan praktisi juga mendorong agar sentralitas ASEAN, sebuah konsep di mana ASEAN memainkan peran utama di kawasan menjadi sebuah prinsip yang tetap dipegang oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dalam merespons ketegangan di Asia Timur. Penting pula bagi Indonesia meningkatkan kemampuan militer agar tetap siap menghadapi berbagai efek yang mungkin timbul.
Pemerhati China dan dosen Program Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto berpandangan bahwa terdapat sejumlah faktor di balik respons keras China terhadap pernyataan PM Jepang.
“Pertama, isu Taiwan merupakan isu sensitif bagi Beijing karena berkaitan erat dengan legitimasi Partai Komunis China (PKC). Upaya China mengambil kembali apa yang mereka anggap sebagai teritorial yang hilang (lost territories), serta pengakuan dari negara lain terhadap apa yang China anggap sebagai kedaulatannya,” ujar Johanes saat diskusi panel “Menghadapi Risiko Eskalasi di Indo Pasifik: Strategi Indonesia Menjaga Kepentingan Nasional di Tengah Rivalitas China-Jepang,” yang diselenggarakan Fakultas Strategi Pertahanan (FSP) Universitas Pertahanan (Unhan) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin (8/12/2025).
Menurut Johanes yang juga Ketua FSI, alasan kedua mengapa China terlihat sangat agresif karena Jepang merupakan sosok yang dikonstruksi oleh China sebagai sosok antagonis melalui narasi sejarah dan budaya populer di China.
“Kondisi dalam negeri China tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja mengingat ekonomi yang belum pulih serta terdapat berbagai peristiwa yang berpotensi mempengaruhi kondisi politik seperti pemecatan beberapa jenderal dan pejabat tinggi penting dalam beberapa tahun terakhir. Karenanya penting bagi Beijing untuk menggalang dukungan dari rakyatnya. Eskalasi ketegangan dengan Jepang dapat menjadi bahan bakar bagi penggalangan nasionalisme yang diharapkan dapat meningkatkan dukungan semacam itu,” ungkapnya.


















































