Dolar Dulu Bukanlah yang Sekarang: Tak Lagi Nomor 1 Kini Ditendang

1 day ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China bukan baru kali ini terjadi. Dampak perang dagang ternyata berbeda kepada dolar Amerika Serikat (AS).

Presiden AS, Donald Trump kembali membuat perang dagang panas dengan mengancam Beijing dengan tarif hingga 245% yang sebelumnya mengenakan tarif impor sebesar 145% untuk barang asal China dan dibalas dengan tarif 125%.

Hal itu tertuang dalam lembar fakta yang dirilis Gedung Putih, Selasa (15/4/2025) waktu setempat.

"China kini menghadapi tarif hingga 245% atas impor ke Amerika Serikat sebagai akibat dari tindakan pembalasannya," tulis pernyataan Gedung Putih.

Kebijakan Tarif dan Indeks Dolar

Seiring dengan kebijakan tarif tinggi yang Trump kenakan terhadap China, proyeksi akan kemunduran ekonomi AS pun akhirnya bermunculan dan bahkan negara adidaya tersebut berpotensi mengalami resesi.

Sebelumnya, JPMorgan selaku perusahaan keuangan terbesar asal AS, meningkatkan peluangnya terhadap resesi AS dan global hingga 60%.

Naiknya proyeksi resesi global oleh JPMorgan terjadi karena tekanan tarif Trump yang dapat mengancam kepercayaan bisnis dan memperlambat pertumbuhan ekonomi global.

JPMorgan mengatakan pihaknya kini melihat peluang sebesar 60% ekonomi global memasuki resesi pada akhir tahun ini, naik dari perkiraan sebelumnya yang mencapai 40%.

"Kebijakan AS yang disruptif telah diakui sebagai risiko terbesar bagi prospek global sepanjang tahun ini. Kebijakan perdagangan negara tersebut telah berubah menjadi kurang bersahabat bagi bisnis daripada yang diantisipasi," kata JPMorgan dalam analisisnya, dikutip dari Reuters, Sabtu (5/4/2025).

Beberapa lembaga riset lainnya termasuk Barclays, BofA Global Research, Deutsche Bank, RBC Capital Markets, dan UBS Global Wealth Management juga memperingatkan bahwa ekonomi AS menghadapi risiko resesi yang lebih tinggi tahun ini jika tarif baru yang diberlakukan oleh Trump tetap berlaku.

Barclays dan UBS memperingatkan bahwa ekonomi Amerika Serikat berisiko memasuki fase kontraksi, sementara analis lainnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum hanya akan berada di kisaran 0,1% hingga 1%.

Berikut ini beberapa hal yang membuat DXY tampak terus tergelincir usai Trump menjadi Presiden AS.

1. Kebijakan Tarif yang Tidak Konsisten

Salah satu penyebab utama pelemahan dolar adalah kebijakan tarif yang sering berubah-ubah. Trump memberlakukan tarif tinggi terhadap China yang terus mengalami kenaikan.

Kebijakan ini menciptakan ketidakpastian di pasar global, karena investor tidak dapat memprediksi langkah berikutnya dari pemerintah AS. Ketidakpastian ini membuat banyak investor kehilangan kepercayaan terhadap dolar dan beralih ke mata uang lain yang dianggap lebih stabil, seperti yen Jepang dan franc Swiss.

2. Perang Dagang dengan China

Perang dagang yang dipicu oleh Trump memperburuk situasi. Tarif tinggi yang dikenakan pada barang-barang China memicu balasan dari pihak China, yang menaikkan tarif terhadap barang-barang AS. Konflik ini tidak hanya merugikan hubungan dagang kedua negara tetapi juga menciptakan ketidakpastian ekonomi global. Akibatnya, dolar kehilangan daya tariknya sebagai mata uang safe haven.

3. Kekhawatiran Stagflasi

Kebijakan tarif Trump memicu inflasi di AS, sementara pertumbuhan ekonomi melambat. Kombinasi ini dikenal sebagai stagflasi, yang sangat merugikan ekonomi. Investor mulai khawatir bahwa ekonomi AS akan memasuki resesi, sehingga mereka menjual aset dalam denominasi dolar dan mencari alternatif investasi yang lebih aman.

4. Pemangkasan Suku Bunga oleh The Federal Reserve

Untuk mengatasi dampak negatif dari kebijakan Trump, bank sentral AS (The Fed) memangkas suku bunga. Langkah ini, meskipun bertujuan untuk merangsang ekonomi, justru melemahkan dolar lebih lanjut. Suku bunga yang lebih rendah membuat dolar kurang menarik bagi investor asing.

5. Aksi Jual Besar-besaran

Ketidakpastian yang diciptakan oleh kebijakan Trump mendorong investor asing untuk menjual aset dalam denominasi dolar. Fenomena ini sangat tidak biasa, mengingat dolar biasanya dianggap sebagai aset yang aman di tengah ketidakpastian ekonomi atau politik.

Dolar AS di Era Trump Jilid 1 dan 2

Berkaca pada jilid pertama Trump menjadi Presiden AS, perang dagang dengan China dimulai pada Juli 2018.

Pada saat itu, AS memberlakukan bea masuk sebesar 25% terhadap sekitar US$34 miliar impor dari China, termasuk mobil, hard disk, dan suku cadang pesawat terbang. Sebagai balasan, China memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap 545 jenis barang asal AS senilai US$34 miliar, termasuk produk pertanian, mobil, dan produk perikanan.

Perang dagang yang dimulai Juli 2018 tersebut pada akhirnya menyebabkan penerapan tarif terhadap sekitar US$550 miliar barang asal China dan US$185 miliar barang asal AS.

Sebuah kesepakatan dagang fase pertama antara kedua belah pihak ditandatangani pada Januari 2020, meskipun hubungan kedua negara tidak mengalami perbaikan signifikan di bawah pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Lebih lanjut, justru sekitar 2,5 bulan pasca perang dagang dimulai, indeks tampak mengalami kenaikan.

Dilansir dari Refinitiv, DXY pada 6 Juli 2018 tercatat berada di posisi 94,036 dan sekitar 2,5 bulan berikut atau pada 19 September 2018, DXY naik 0,53% menjadi 94,537.

Hal ini berbeda dengan kondisi tahun ini yang justru dalam 2,5 bulan terakhir, indeks dolar mengalami depresiasi sebesar 8,81% (periode 3 Februari-16 April 2025).

Keperkasaan mata uang dolar sudah dikalahkan euro hingga rubel Rusia. Euro sudah menguat 9% lebih sementara rubel terbang 36%.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |