Energi dan Martabat Bangsa: Menjawab Tantangan Kedaulatan di Era Baru

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Energi selalu menjadi penentu arah sebuah peradaban. Sejak awal sejarah umat manusia, bangsa yang mampu menguasai sumber energinya berdiri lebih tegak, lebih berdaulat, dan lebih mampu menetapkan arah masa depannya. Sebaliknya, bangsa yang menggantungkan kebutuhan energinya pada pihak lain akan berada dalam posisi rentan, mudah terguncang oleh perubahan geopolitik dan fluktuasi pasar.

Indonesia kini memasuki fase di mana pertanyaan tentang pengelolaan energi sama pentingnya dengan pertanyaan yang pernah dijawab para pendiri republik pada 1945. Pertanyaannya sederhana namun fundamental: sampai sejauh mana kita ingin menentukan nasib kita sendiri sebagai bangsa.

Konstitusi telah memberikan fondasi moral yang kuat melalui UUD 1945 Pasal 33 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini bukan sekadar pasal ekonomi. Ia adalah pernyataan filosofis yang menggambarkan pandangan Indonesia terhadap hubungan antara manusia dan alam.

Cita-cita luhur ini menempatkan rakyat sebagai tujuan utama pengelolaan energi. Ia mengatur bahwa energi bukan sekadar komoditas biasa yang diperjualbelikan untuk kepentingan kelompok tertentu, melainkan ini adalah aset strategis yang harus digunakan untuk menegakkan dasar kesejahteraan, keadilan sosial, dan menjaga martabat bangsa.

Untuk mewujudkan itu semua, bangsa Indonesia membutuhkan kesadaran luhur bahwa tantangan energi bukan lagi persoalan teknis semata. Ia adalah persoalan moral. Dalam dunia yang terus berubah, ketergantungan terhadap energi impor dapat menjadi sumber kerentanan nasional. Harga yang berfluktuasi, dinamika geopolitik, serta perubahan global menghadirkan ancaman yang nyata bagi stabilitas ekonomi dan politik.

Tanpa kesadaran mendalam tentang pentingnya energi sebagai fondasi kehidupan berbangsa, maka kebijakan energi akan terus terombang ambing oleh kepentingan jangka pendek dan tekanan eksternal. Kesadaran luhur menuntut bangsa untuk melihat energi sebagai bagian dari jalan hidup yang menentukan keberlanjutan peradaban.

Kesadaran ini membutuhkan komitmen. Komitmen untuk menata ulang cara kita memproduksi dan mengonsumsi energi. Komitmen untuk menempatkan kedaulatan sebagai tujuan utama dalam pembangunan energi nasional.

Komitmen yang tidak mudah, sebab ia menuntut keberanian politik, kerja keras intelektual, inovasi teknologi, serta kesediaan seluruh elemen bangsa untuk bergerak bersama. Komitmen berarti tidak lagi memandang energi sebagai urusan kementerian tertentu, tetapi sebagai urusan seluruh rakyat. Komitmen berarti kesediaan untuk menjadikan energi sebagai prioritas pembangunan, sama pentingnya dengan pangan, pertahanan, dan pendidikan.

Namun komitmen tanpa kerendahan hati tidak akan membawa perubahan. Kerendahan hati menuntut bangsa untuk menyadari bahwa era energi kini sedang memasuki fase baru yang kompleks. Dunia bergerak ke arah teknologi baru yang membutuhkan adaptasi cepat.

Kerendahan hati membuat kita menyadari bahwa kita harus belajar, membuka diri terhadap inovasi, mendengar para ahli, dan menghargai kerja ilmiah. Kerendahan hati adalah pengakuan bahwa kita tidak bisa berjalan sendirian. Kita harus membangun kolaborasi, memperkuat riset, dan mengembangkan teknologi nasional tanpa merasa paling tahu. Kerendahan hati justru melahirkan keberanian untuk berubah.

Sejarah Indonesia memberikan pelajaran yang amat berharga bahwa kemenangan dan kemandirian hanya dapat dicapai melalui mobilisasi seluruh kekuatan bangsa. Semangat ini tercermin dalam konsep perang semesta yang pernah diterapkan dalam perjuangan kemerdekaan, ketika seluruh komponen bangsa bergerak bersama melawan ancaman.

Dalam konteks masa kini, ancaman terhadap kedaulatan tidak lagi berbentuk agresi militer semata. Ancaman itu dapat hadir dalam bentuk ketergantungan energi, kerentanan teknologi, dan dominasi ekonomi yang menggerus kemandirian. Untuk menghadapi ancaman itu, diperlukan pendekatan yang sama, yakni mobilisasi nasional.

Mobilisasi nasional dalam konteks energi berarti menggerakkan semua potensi bangsa, termasuk potensi ilmu pengetahuan, industri, pertanian, kelautan, keuangan, hingga budaya. Para ilmuwan harus diberi ruang dan dukungan untuk mengembangkan teknologi energi nasional. Pelaku industri harus didorong untuk memproduksi komponen energi yang selama ini diimpor. Petani dan masyarakat desa harus dilibatkan melalui pengembangan bioenergi dan energi terbarukan berbasis lokal.

Pemerintah daerah harus menjadi pusat inovasi energi yang sesuai karakter geografis masing masing wilayah. TNI dan lembaga pertahanan perlu memastikan bahwa infrastruktur energi nasional terlindungi dari ancaman fisik maupun siber. Semua ini memerlukan penyatuan langkah, penyatuan visi dan penyatuan kesadaran bahwa energi adalah instrumen kedaulatan.

Kendati demikian, kebijakan energi tidak boleh hanya berorientasi pada kedaulatan, tetapi juga pada keadilan. Energi adalah hak rakyat. Karena itu, pembangunan energi harus memastikan bahwa akses energi merata di seluruh wilayah Indonesia. Tidak boleh ada satu pun warga negara yang tertinggal dalam gelap, baik secara harfiah maupun metaforis.

Energi yang dikuasai oleh negara harus digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, membuka peluang usaha, memperkuat layanan publik, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Keadilan energi berarti harga energi terjangkau, pasokan stabil, dan manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat dari Sabang hingga Merauke.

Keadilan energi juga berarti memastikan bahwa transformasi energi tidak menambah beban rakyat. Ketika dunia mendorong transisi menuju energi yang lebih bersih, Indonesia harus melakukannya dengan cara yang adil. Pekerja di sektor energi fosil harus dilindungi melalui pelatihan ulang dan penyerapan tenaga kerja.

Industri kecil tidak boleh kehilangan daya saing akibat biaya energi yang tinggi. Masyarakat desa harus diberi solusi energi berbasis lokal yang murah dan berkelanjutan. Semua itu adalah amanah UUD 1945 Pasal 33 yang memastikan negara hadir untuk melindungi kepentingan rakyat.

Dunia ke depan menuntut bangsa bangsa untuk berdiri di atas kekuatannya sendiri. Energi adalah salah satu pilar yang menentukan apakah Indonesia dapat menjadi bangsa yang mandiri atau justru bergantung. Indonesia kaya sumber energi.

Kita memiliki potensi surya, angin, air, bioenergi, panas bumi, dan kelautan. Namun kekayaan itu tidak akan menjadi kekuatan jika tidak diolah dengan visi kebangsaan. Tanpa visi dan kesadaran, kita hanya akan menjadi penonton pada panggung energi dunia. Dengan visi dan kesadaran, kita dapat menjadi pemain yang menentukan arah sejarah.

Pada akhirnya, perjuangan mewujudkan ketahanan dan kedaulatan energi adalah perjuangan melanjutkan amanah konstitusi. Energi harus menjadi jalan untuk menegakkan martabat rakyat, memperkuat ekonomi nasional, dan memastikan Indonesia dapat berdiri sejajar dengan bangsa bangsa lain tanpa rasa rendah diri.

Ini adalah perjuangan panjang yang membutuhkan kesadaran luhur, komitmen yang tidak goyah, dan kerendahan hati yang membuat kita terus belajar. Perjuangan ini memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan yang besar demi masa depan generasi mendatang.

Kedaulatan energi bukan hanya target kebijakan. Ia adalah cermin martabat bangsa. Dan martabat bangsa adalah sesuatu yang tidak boleh ditawar. Jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur sebagaimana dicita-citakan dalam pembukaan UUD 1945, maka energi harus dikelola dengan penuh kesadaran bahwa ia adalah pondasi kehidupan nasional.

Kedaulatan energi adalah perjalanan panjang, tetapi ia adalah perjalanan yang harus dimulai dan tidak boleh berhenti. Karena energi adalah denyut nadi kemerdekaan. Dan kemerdekaan, bagi bangsa ini, adalah harga yang tidak pernah boleh digadaikan. Ini adalah doktrin Bersama yang harus kita perjuangkan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |