Harga Minyak Masih Bergejolak, Gimana Nasib Saham-nya?

1 week ago 8

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak acuan dunia sempat jeblok ke level terpuruk dalam empat tahun terakhir sebelum bangkit kemarin, Rabu (9/4/2025).  Lantas apa kabar nasib emiten minyak?

Merujuk data Refinitiv, pada perdagangan Rabu (9/4/2025) harga minyak secara intraday sempat jatuh signifikan, untuk jenis Brent turun 2,91% menuju US$ 61 per barel. Sementara untuk jenis West Texas Intermediate (WTI) terkontraksi 3,02% ke posisi US$ 57,81 per barel. 

Namun, penurunan itu kemudian pulih dan ditutup kembali ke zona hijau. Jenis Brent mampu menguat 4,23% ditutup ke posisi US$ 65,48 per barel, sementara WTI naik 4,65% jadi US$ 62,35 per barel. 

Meski begitu, sejak awal tahun tren harga minyak masih kontraksi, Brent koreksi 12,27%, sementara WTI 13%. 

Posisi harga minyak yang sempat jeblok kemarin menjadi yang terendah sejak pertengahan April 2021 atau dalam empat tahun terakhir. Pada periode tersebut, dunia masih diguncang pandemi Covid-19.

Sebagaimana dikabarkan sebelumnya, harga minyak jatuh karena ketegangan dagang yang meningkat antara Amerika Serikat (AS) dan China memicu kekhawatiran akan resesi yang bisa mengurangi permintaan terhadap minyak mentah.

Trump pada Rabu pekan lalu mengumumkan kebijakan tarifnya. China memperburuknya dengn memberi tarif balasan.

Saling perang tarif inilah yang kemudian membuat investor khawatir akan terjadinya resesi.

"Pendorong utama penurunan harga ini adalah kekhawatiran bahwa tarif akan melemahkan ekonomi global," kata Satoru Yoshida, analis komoditas di Rakuten Securities, kepada Reuters.

"Selain itu, rencana peningkatan produksi oleh OPEC+ juga turut memberikan tekanan jual," tambahnya, seraya menyebut bahwa tarif balasan dari negara selain China akan menjadi faktor penting untuk diamati.

Meski demikian, pemulihan harga minyak dalam sehari kemarin terjadi berkat ada penundaan pemberlakukan tarif impor selama 90 hari ke 58 negara. Hal ini membawa gairah terhadap pasar di seluruh dunia, baik komoditas, saham, crypto, mata uang, dan lain-lain. 

Harga Minyak Diramal Jatuh ke US$ 50 per barel

Namun, tantangan ke depan bagi harga minyak masih tetap ada, mengingat prospek ekonomi global potensi mengalami penurunan tahun ini yang mana bisa mengganggu permintaan. 

Yoshida memprediksi bahwa WTI bisa turun hingga US$55 atau bahkan US$50, jika penurunan pasar saham berlanjut.

Sebagai respons terhadap tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump, China pada Jumat mengatakan akan mengenakan tambahan tarif sebesar 34% terhadap barang-barang asal AS.

Meskipun impor minyak, gas, dan produk olahan minyak dikecualikan dari tarif baru Trump, kebijakan ini tetap bisa memicu inflasi, memperlambat pertumbuhan ekonomi, dan memperparah perselisihan dagang, yang semuanya dapat menekan harga minyak.

Selama akhir pekan lalu, menteri-menteri utama OPEC+ menekankan pentingnya kepatuhan penuh terhadap target produksi minyak, dan menyerukan agar negara-negara yang memproduksi melebihi kuota mengajukan rencana kompensasi paling lambat 15 April.

Dengan banyaknya kabar negatif, Goldman Sachs menurunkan proyeksi rata-rata harga tahunan untuk minyak mentah Brent dan WTI pada 2026, dengan alasan bahwa risiko resesi semakin meningkat dan pasokan dari OPEC+ mungkin akan meningkat lebih besar dari yang sebelumnya diperkirakan oleh bank tersebut.

"Proyeksi rata-rata harga tahunan kami untuk tahun 2026 kini menjadi $58 untuk Brent dan $55 untuk WTI, yaitu $4-5 per barel di bawah harga futures pada penutupan hari Jumat," tulis Goldman Sachs dalam sebuah catatan tertanggal Minggu.

Lantas, Apa Kabar Saham Emiten Minyak?

Seiring dengan harga komoditas yang jeblok, deretan saham emiten migas pun ikut terperosok harganya.

Sejak awal tahun, rata-rata penurunan sampai dua digit. Saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Apexindo Pratama Duta Tbk (APEX) jadi yang paling boncos lebih dari 30%, lalu PT Medco Energy International Tbk (MEDC) turun 14%, dan paling buncit PT Elnusa Tbk (ELSA) koreksi nyaris 10%.

Namun, dibalik penurunan harga saham ini, valuasi saham-saham minyak ini sudah murah. Melihat dari metrik price to book value (PBV) rata-rata nilianya sudah berada di bawah rata-rata selama lima tahun.

Seperti terlihat pada tabel di bawah ini, saham ENRG tercatat paling murah dengan diskon sampai 60%, diikuti saham MEDC dan ELSA dengan diskon di kisaran 30%, lalu APEX 28%.

Meskipun saham minyak ini rata-rata murah, belum tentu harga nya tidak makin murah, alias masih ada potensi harga saham bisa turun.

Jadi, untuk pilih saham minyak di tengah kondisi harga komoditas acuan-nya yang bergejolak, harus lebih selektif juga dalam memilih perusahaan dari sisi kondisi fundamentalnya dan likuiditas-nya.

Menurut kami, pilihan teratas untuk saham minyak yang cenderung likuid dan masih cukup potensial secara fundamental ada ELSA dan MEDC.

MEDC dari sisi kas bisa dibilang cukup tebal, bahkan per akhir 2024 nilainya naik nyaris dua kali lipat, dari US$ 353,94 juta menjadi US$ 637,02 juta.

Perusahaan tersebut juga mencatat profitabiltas positif pada tahun lalu. Laba yang dihasilkan mencapai US$ 367 juta, tumbuh 10,9% secara tahunan (yoy)

Pada tahun ini MEDC mengalokasikan belanja modal US$400 juta untuk segmen migas, termasuk perpanjangan PSC Natuna, Sampang, dan Bangkanai. Namun, target produksi migas MEDC cukup moderat tahun ini, hanya menyasar 145-150 juta BOEPD.

Menariknya, pada Februari lalu, MEDC telah meresmikan operasional PTLP Ijen. Dan berikutnya pada kuartal kedua tahun ini akan mengoperasiokan PLTS Bali Timur. Hal ini diharapkan akan mendongkrak pendapatan dari segmen EBT, sekaligus menambah diversifikasi dari portofolio bisnis perusahaan.

Meski begitu, kami menilai masih ada tantangan dari harga minyak yang terus turun, mengingat lebih dari 90% porsi pendapatan diperoleh dari kontrak penjualan migas.

Sementara untuk ELSA kami menilai masih ada potensial dari dividen yield yang atraktif, mengingat profitabilitas tahun lalu cukup moncer.

Sebagai catatan, ELSA mencetak kenaikan laba 42% menjadi Rp713,67 miliar. Dari nilai ini mengimplikasi EPS sebanyak 97,78, jika payout ratio diasumsikan konservatid sekitar 25% akan menghasilkan DPS sebanyak Rp24,44.

Dari DPS itu jika dibandingkan dengan harga saham ELSA di Rp390 per lembar, akan menghasilkan potensi cuan dividen mencapai 6,2%.

ELSA juga masih memiliki katalis pertumbuhan pada core profitnya didorong investasi di sektor hulu migas, ini akan membuat pendapatan meningkat di segmen jasa hulu migas dan jasa penunjang migas-nya.

Apalagi, bisnis hulu migas ELSA ini kontribusinya masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan bisnisnya sebagai tukang angkut BBM.

Sebagai informasi saja, pada 2022 lalu, bisnis hulu migas ELSA ini malah kontribusinya masih di bawah 5% dari pendapatan. Jadi, peningkatannya sampai September 2024 itu terbilang sangat pesat.

Meski begitu, secara total bisnis hilir migas masih menjadi kontributor utama pendapatan. Dan di kondisi saat ini cukup menguntungkan ELSA, karena tidak terlalu terpengaruh dengan fluktuasi harga minyak.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |