Jakarta - Gaya hidup sehat di Indonesia dinilai masih dilakukan setengah hati dan hanya berorientasi jangka pendek. Kurangnya kesadaran, dukungan lingkungan, dan pemahaman yang keliru membuat penyakit katastropik terus meningkat.
Dalam peluncuran buku 'Sehat Setengah Hati' karya dr. Ray Wagiu Basrowi, Menteri Kesehatan RI Periode 2014-2019 Nila Moeloek dan jurnalis Rory Asyari turut hadir membahas perilaku kesehatan masyarakat Indonesia lewat pendekatan Health Belief Model. Menurut Ray, pendekatan masyarakat terhadap kesehatan penting dibahas karena masih sangat berorientasi jangka pendek.
"Health belief model atau pemaknaan kesehatannya (orang Indonesia) itu homogen. Masih lihat jangka pendek, manfaatnya, barriernya, cue selection-nya, atau berperilaku sehatnya masih berpikir jangka pendek," ujar Ray dalam acara peluncuran bukunya di Gramedia Grand Indonesia, Rabu (28/5/2025).
Ia menekankan bahwa cara berpikir jangka pendek ini bertentangan dengan konsep global health, yang seharusnya menitikberatkan pada efek jangka panjang. Salah satu dampak nyata dari pola pikir jangka pendek ini adalah tingginya prevalensi penyakit katastropik seperti stunting.
"96% orang Indonesia bilang 'saya tau stunting, saya tau itu ga bagus'. Tapi, pas ditanyain stunting penyebabnya apa, sedikit sekali yang bilang bahwa ini karena aspek parenting, malah bilang keturunan. Padahal stunting itu masih bisa dicegah," katanya.
Ray menambahkan bahwa buku ini ia tulis sebagai bentuk keprihatinan sekaligus ajakan kolektif untuk memaknai kesehatan dengan lebih serius.
Senada dengan Ray, Nila Moeloek juga menyoroti bahwa upaya preventif belum menjadi kesadaran kolektif masyarakat, meskipun berbagai program kesehatan sudah dijalankan pemerintah.
"Kesadaran kita soal kesehatan rendah sekali. Pemerintah sudah bikin program GERMAS, vaksinasi, imunisasi, cek kesehatan gratis, tapi tetap saja penyakit katastropik seperti jantung dan gagal ginjal tinggi sekali," ujar Nila.
Nila menambahkan, meski BPJS menanggung biaya pengobatan, tetapi beban finansialnya sangat besar.
"Operasi nggak kerasa karena dibius, tapi pulangnya fee-nya mahal. BPJS triliunan habis buat penyakit katastropik. Padahal kalau dijaga sejak awal, bisa dihindari," tegasnya.
Jurnalis Rory Asyari pun bercerita soal perjalanannya meninggalkan kebiasaan buruk seperti merokok dan minum alkohol.
"Dulu saya nggak peduli. Rokok ya rokok aja, walau udah nge-gym dan makan sehat. Tapi lama-lama mikir, kenapa saya cuma entertain lidah, tapi nggak mikirin jantung dan paru-paru?" katanya.
Menurut Rory, perubahan gaya hidup itu sulit dilakukan sendirian. Oleh sebab itu, konsep Health Belief Model harus diterapkan di komunitas.
"Makanya di WHO, konsep Health Belief Model itu diterapkan di komunitas. Circle itu penting. Kalau lingkungan kita toxic, ya susah berubah," ujarnya.
Ia menekankan bahwa perubahan gaya hidup bukan semata soal kemauan pribadi, tapi perlu dukungan komunitas seperti keluarga, teman, hingga RT/RW. Pasalnya, orang-orang seringkali gagal olahraga rutin bukan karena tidak mau, tetapi karena circle.
Salah satu tantangan besar yang disorot dalam buku ini adalah miskonsepsi bahwa makanan sehat itu mahal. Rory turut membantah anggapan tersebut. Baginya, pilihan gaya hidup sehat sebenarnya tersedia dan terjangkau, tapi kalah oleh kebiasaan konsumtif masyarakat yang tidak sehat.
"Telur ceplok pakai sedikit minyak, bayam, jagung rebus, itu sehat dan murah. Tapi banyak yang lebih pilih beli kopi susu 22 ribu, rokok, healing. Padahal, katanya makan sehat itu mahal," kata Rory.
Ia menambahkan, kebiasaan jajan gorengan secara berlebihan juga jadi salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat Indonesia.
"Kompas bilang 1 dari 6 orang makan lebih dari dua porsi gorengan sehari. Itu belum termasuk pengawet dan perisa buatan. Padahal semua penyakit serius berawal dari lidah," tambahnya.
Buku Sehat Setengah Hati menjadi cermin bahwa gaya hidup sehat bukan sekadar wacana atau teori, melainkan butuh kesadaran kolektif, kemauan pribadi, dan lingkungan yang suportif agar benar-benar terlaksana.
(akn/ega)