Jakarta, CNBC Indonesia - Wajah sehat belum tentu tanda hati yang sehat. Banyak anak Indonesia ternyata bisa membawa virus hepatitis B atau C sejak lahir tanpa gejala, hingga suatu hari mengalami kerusakan hati serius di usia dewasa.
Begitu juga orang dewasa, tak sedikit yang tiba-tiba mengalami gangguan fungsi hati akut tanpa tahu bahwa infeksi sudah berlangsung lama. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Gastroenterologi-Hepatologi Primaya Hospital Bekasi Barat, dr. Ahmar Abdyadh Sp.PD-KHEH, FINASIM, MKes mengatakan, hepatitis, peradangan hati yang bisa disebabkan oleh virus, alkohol, obat-obatan, atau gangguan autoimun, masih menjadi masalah kesehatan global.
Indonesia termasuk negara dengan beban tinggi. Ironisnya, kebanyakan kasus baru diketahui ketika sudah masuk stadium lanjut.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan sekitar 28 juta orang Indonesia diperkirakan mengidap hepatitis B atau C. Namun hanya 10% yang sudah terdiagnosis. WHO bahkan menyebut hepatitis sebagai "silent epidemic" karena gejalanya sering tidak tampak hingga berkembang menjadi sirosis atau kanker hati.
"Hepatitis kronis bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa gejala. Kebanyakan pasien datang ketika sudah komplikasi," kata dr. Ahmar Abyadh, Sp.PD-KGEH, FINASIM, Mkes.
Gejala hepatitis sering diabaikan, seperti kulit dan mata menguning, urine gelap, tinja pucat, kelelahan ekstrem, serta mual dan nyeri perut kanan atas. Pada anak-anak, gejala lebih ringan atau bahkan tidak tampak sama sekali.
Menurut dr. Ahmar, deteksi dini sangat penting karena infeksi kronis bisa merusak hati dalam jangka panjang. Penularan hepatitis B di Indonesia umumnya terjadi dari ibu ke bayi saat melahirkan. Sayangnya, cakupan vaksinasi dan layanan skrining masih belum merata, terutama di daerah terpencil.
Kelompok usia berbeda punya kerentanan berbeda. Anak dan remaja lebih rentan terhadap hepatitis A dan E dari makanan-minuman tercemar. Usia produktif (20-49 tahun) rentan terhadap hepatitis B dan C akibat hubungan seksual tidak aman, transfusi darah, atau penggunaan jarum suntik tak steril. Sementara lansia rentan karena konsumsi obat jangka panjang dan metabolisme hati yang menurun.
Faktanya, hepatitis A dan E bisa sembuh total. Hepatitis B dapat dikontrol dengan obat antivirus, sementara hepatitis C bisa disembuhkan dengan terapi modern seperti direct-acting antiviral (DAA) yang tingkat keberhasilannya di atas 95%.
"Teknologi medis terus berkembang, tapi tanpa kebijakan publik yang kuat, kita tak bisa menekan penyebaran hepatitis," tegas dr. Ahmar. Ia menyarankan agar pemerintah memperluas vaksinasi bayi baru lahir, menyediakan tes hepatitis gratis bagi kelompok berisiko, serta meningkatkan edukasi ke masyarakat dan pelatihan tenaga kesehatan.
"Hepatitis bukan hanya soal virus. Ini tentang kesadaran, deteksi dini, dan keberpihakan sistem kesehatan. Saat gejalanya muncul, bisa jadi sudah terlambat. Maka, jangan tunggu kuning. Lakukan tes, edukasi keluarga, dan jaga hati karena fungsi hati menentukan masa depan hidup yang sehat," jelasnya.