Kata Dokter Jiwa soal Distorsi Kognitif di Balik Klaim 'Ngegym Aktivitas Bodoh'

2 months ago 35
Jakarta -

Pernyataan Timothy Ronald yang menyebut aktivitas gym sebagai hal yang hanya dilakukan oleh orang bodoh menuai sorotan. Konten kreator yang beken dengan julukan 'Raja Kripto' ini dinilai menyesatkan publik mengenai olahraga.

Potongan video berisi pernyataan kontroversialnya tersebar luas di berbagai platform media sosial. Dalam video tersebut, Timothy secara terang-terangan menyebut bahwa orang yang rutin pergi ke gym untuk membentuk otot tidak mungkin termasuk orang yang pintar.

"Menurut gua orang yang suka nge-gym yang sampai jadi banget badannya itu nggak mungkin sepintar itu karena itu aktivitas paling goblok yang pernah gua temuin, paling goblok," tuturnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Psikiater dr Lahargo Kembaren, SpKJ, menilai pernyataan Timothy Ronald yang merendahkan aktivitas gym sebagai bentuk olahraga orang bodoh mencerminkan adanya distorsi kognitif, yakni pola pikir keliru atau menyimpang yang membuat seseorang tidak lagi menilai sesuatu secara objektif.

"Pernyataan ini mencerminkan beberapa bentuk distorsi kognitif," kata dr Lahargo saat dihubungi detikcom, Jumat (1/8/2025).

Ia menjelaskan, distorsi kognitif sering kali tidak disadari oleh yang bersangkutan. Akibatnya, timbul persepsi yang salah terhadap diri sendiri, orang lain, atau situasi tertentu.

Salah satu bentuk distorsi yang paling menonjol dalam kasus ini adalah labeling, yaitu memberi cap negatif secara menyeluruh hanya berdasarkan satu aspek. Dalam konteks ini, misalnya seseorang yang rutin nge-gym langsung dianggap bodoh.

"Padahal kecerdasan seseorang tidak bisa diukur hanya dari aktivitas fisik yang dia pilih," tutur dr Lahargo.

Labeling seperti ini, lanjutnya, menyederhanakan kompleksitas manusia dan bisa menjadi bentuk penolakan emosional terhadap sesuatu yang sebenarnya belum sepenuhnya dipahami.

Selain labeling, bentuk distorsi lain yang bisa terjadi adalah overgeneralization atau membuat kesimpulan menyeluruh dari pengalaman terbatas.

"Misalnya, dia berbicara, pernah ketemu satu orang yang suka gym tetapi ngobrolnya nggak nyambung, lalu disimpulkan, berarti semua anak gym bodoh," beber dr Lahargo memberi contoh.

Overgeneralization ini, kata dr Lahargo, biasanya berangkat dari pengalaman pribadi yang buruk, namun dijadikan dasar untuk menilai semua hal sejenis tanpa bukti yang memadai.

Distorsi lain yang mungkin terjadi adalah dichotomous thinking atau melihat dunia dalam kacamata hitam-putih. Dalam konteks ini, misalnya muncul pola pikir seseorang hanya bisa dianggap cerdas jika membaca buku, bukan melakukan aktivitas fisik seperti angkat beban.

"Kalau kamu cerdas, kamu harusnya baca buku, bukan angkat besi," contohnya seperti itu.

Pola pikir ini dinilai dr Lahargo mengabaikan fakta bahwa banyak orang mampu menyeimbangkan antara kesehatan fisik dan intelektual. Belum lagi bila terjadi confirmation bias alias seseorang terbiasa mencari dan mempercayai hanya sesuai keyakinannya.

Terakhir, pernyataan merendahkan aktivitas gym juga bisa dipengaruhi oleh cognitive dissonance, yaitu konflik batin antara keinginan dan nilai yang diyakini.

"Mungkin seseorang sebenarnya tertarik olahraga, tapi karena merasa itu tidak intelektual atau bukan gaya saya, maka muncul konflik batin dan untuk meredakannya, ia meremehkan," beber dr Lahargo.

(suc/up)

Ngegym Vs Kualitas Otak

9 Konten

Timothy Ronald mengaitkan aktivitas ngegym dengan kualitas kognitif yang buruk. Sontak argumen ini memantik kontroversi. Para pakar umumnya tidak sependapat.


Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |