loading...
Kisah perdebatan dua pemuka agama dan kecerdikan Ken Arok bunuh penguasa Tumapel diulas dalam artikel ini. Foto/Ilustrasi/Istimewa
KISAH perdebatan dua pemuka agama dan kecerdikan Ken Arok bunuh penguasa Tumapel diulas dalam artikel ini. Tunggul Ametung tewas pada pemberontakan yang dilakukan oleh Ken Arok.
Pemberontakan ini dilakukan saat sang penguasa Tumapel, sebuah akuwu atau wilayah bawahan dari Kerajaan Kediri saat itu. Tunggul Ametung tewas di kamarnya saat tengah mabuk minuman keras (miras) akibat tikaman keris buatan Mpu Gandring.
Ken Arok berhasil meminjam nama Kebo Ijo yang membuatnya dijatuhi hukuman. Hal ini membuat Kebo Ijo turut diseret dalam peradilan pembunuhan ke sang penguasa Tumapel.
Tak hanya Kebo Ijo saja, pendeta Balakangka yang turut menjadi aktor di balik pembunuhan Tunggul Ametung turut dijatuhi hukuman. Keduanya menjadi korban strategi cerdik dari Ken Arok.
Pada peradilan hukuman ke Kebo Ijo dan Balakangka itu juga Lohgawe, pendeta lain yang juga guru Ken Arok turut hadir. Ken Dedes yang sudah menjadi istri Ken Arok pasca penggulingan Tunggul Ametung, juga turut menyambut Lohgawe yang juga rekan sesama pendeta ayahnya Mpu Purwa.
Baru saja sampai di pendopo, tempat Ken Arok dan Ken Dedes memutuskan untuk menjatuhkan hukuman pada Kebo Ijo, Balakangka dan para tamtama, pendeta Balakangka langsung menunjukkan jari runcingnya kepada Lohgawe.
Sebagaimana dikutip dari buku "Hitam Putih Ken Arok: Dari Kejayaan Hingga Keruntuhan", Balakangka mengatakan ke Lohgawe bahwa gurunya Ken Arok itulah yang sesungguhnya menjadi biang kerok runtuhnya Tumapel, dan terbunuhnya Tunggul Ametung. Namun tuduhan dan hujatan Balakangka ini tidak dihiraukan oleh Lohgawe.
Di tengah-tengah massa itu, Lohgawe justru memberikan pernyataan bahwa peristiwa yang terjadi di Tumapel ini tidak ada hubungannya dengan Kediri. Rakyat Tumapellah yang berjasa melahirkan perubahan di negerinya sendiri.
Bahkan rakyat Tumapel, kata Lohgawe, tidak pernah berhutang apapun terhadap Kediri. Pernyataan Lohgawe ini jelas sangat subversif terhadap Kediri. Pernyataan Lohgawe itu mengandung konsekuensi bahwa urusan Tumapel akan diselesaikan oleh masyarakat sendiri, tidak ada urusannya dengan Kediri.
Namun, pernyataan Lohgawe itu langsung dibalas oleh Balakangka yang menyatakan, bahwa Tumapel merupakan bagian dari Kediri, karenanya harus tunduk dan hormat pada Kediri. Menjawab pernyataan Balakangka itu, Lohgawe menjawab bahwa Tumapel memang bagian dari Kediri, tetapi Tumapel menolak untuk mengakui penjahat yang diangkat sebagai wakilnya. Begitu pula dalam hal agama.
Tumapel, kata Lohgawe, mempunyai agama sendiri yang tidak harus sama dengan Kediri. Pidato Lohgawe berlanjut. Ia menegaskan bahwa rakyat Tumapel berhak hadir ke Pakuwuan ini untuk melihat tewasnya Tunggul Ametung, orang yang dulunya menindas dan memperbudak mereka.
(rca)