Jakarta -
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan paparan Bisphenol A (BPA) pada galon guna ulang di enam kota besar Indonesia sudah melampaui ambang batas aman 0,6 bagian per juta (bpj). Ironisnya, hingga kini belum ada regulasi yang membatasi usia pakai galon jenis ini.
Oleh karena itu, dapat membuka celah bagi peredaran ganula atau galon lanjut usia yang membahayakan konsumen. Pasalnya, diketahui bahwa usia galon sangat mempengaruhi peluruhan BPA.
Semakin tua usia galon, semakin banyak BPA-nya yang akan dengan mudah meluruh. BPOM telah mewajibkan label peringatan risiko BPA pada galon polikarbonat, tapi kebijakan ini baru berjalan penuh pada 2024 dengan masa penyesuaian hingga 2028. Sayangnya, soal usia pakai galon, tidak ada aturan apa pun.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), David Tobing mengatakan galon guna ulang menjadi masalahnya. Menurutnya, label memang penting, tapi tanpa batas masa pakai, ganula tetap beredar.
"Barang plastik seperti galon polikarbonat tidak bisa dipakai selamanya. Tapi faktanya di lapangan, satu galon bisa dipakai bertahun-tahun, puluhan kali isi ulang," ujar David dalam keterangannya, Kamis (3/7/2025).
David juga mengungkap hasil temuan BPOM yang mengkhawatirkan. Ia mengatakan BPOM sudah membuat aturan BPA. Itu ada ambang batasnya, sedangkan yang berbahaya itu ketika melewati ambang batas.
"Dan tahun 2021-2022 BPOM melakukan survei di enam kota besar di Indonesia. Hasilnya, paparan BPA sudah melebihi ambang batas. Artinya, ini adalah peringatan bahaya," jelas David.
Diketahui, BPA adalah senyawa kimia yang dikenal sebagai endocrine disruptor, zat yang meniru hormon estrogen dan bisa mempengaruhi sistem hormonal manusia. Sejumlah riset global mengaitkan paparan BPA dengan gangguan tumbuh kembang anak, infertilitas, hingga risiko beberapa jenis kanker.
Risiko pelepasan BPA meningkat pada galon yang usianya sudah tua, sering terpapar sinar matahari, atau dicuci berulang kali dengan cara yang tidak tepat. Di sinilah ganula jadi masalah besar.
"Ganula ini sebetulnya galon zombie. Masih kelihatan layak, padahal sudah harusnya pensiun. Tapi produsen tetap membiarkannya beredar karena biaya produksi bisa ditekan. Padahal ini merugikan konsumen," papar David.
Pakar polimer Universitas Indonesia, Profesor Mochamad Cholid menegaskan galon guna ulang sebaiknya hanya dipakai maksimal 40 kali atau setara sekitar satu tahun, dengan asumsi satu minggu satu kali isi ulang. Melebihi itu, risiko migrasi BPA makin tinggi.
Sayangnya, mayoritas konsumen belum paham soal ganula. Survei KKI mencatat 43,4% responden tidak tahu ada aturan label BPA. Namun setelah tahu, 96% setuju aturan diterapkan secepatnya dan mendukung penarikan ganula dari peredaran.
Lebih memprihatinkan lagi, produsen air minum dalam kemasan sudah punya teknologi memproduksi galon baru yang bebas BPA. Namun galon-galon tua tetap dibiarkan bertahan di pasar.
"Kalau sudah bisa bikin galon bebas BPA, kenapa ganula tidak ditarik? Kan aneh. Ini murni soal keuntungan saja, sementara konsumen jadi korban," kata David.
David menekankan, 40 persen penduduk Indonesia mengandalkan air minum kemasan dan galon guna ulang. Artinya, lebih dari 100 juta orang setiap hari berpotensi terpapar BPA dari ganula.
"Bayangkan, ini bukan soal segelintir orang. Ini soal generasi. Kalau pemerintah tidak segera atur masa pakai galon, dampaknya bisa panjang," tegasnya.
Selain itu, KKI mendesak pemerintah segera membuat aturan tegas soal usia maksimal galon guna ulang dan mempercepat pelabelan BPA. Tujuannya satu yakni mencegah ganula terus beredar bebas dan merugikan kesehatan jutaan orang.
"Undang-Undang Perlindungan Konsumen dibuat agar rakyat tidak jadi korban. Negara harus hadir membatasi ganula, bukan hanya membiarkan produsen meraup untung dari galon tua," pungkas David.
(akd/ega)