Makna Syawalan, Penjelasan Mendalam Gus Baha

3 days ago 9

Liputan6.com, Jakarta - Tradisi Syawalan telah lama mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Usai menjalani puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri, masyarakat lantas menggelar Syawalan, momen yang identik dengan saling memaafkan dan mempererat tali silaturahmi.

Syawalan biasanya diisi dengan beragam tradisi, mulai dari halal bihalal, berkumpul bersama keluarga besar, hingga ziarah ke makam leluhur. Namun, di balik semua itu, ada makna mendalam yang jarang dibahas secara utuh.

Banyak yang hanya mengenal Syawalan sebagai ritual meminta maaf lahir batin, padahal dalam Islam, Syawalan menyimpan nilai spiritual yang lebih tinggi. Hal ini disampaikan oleh ulama ahli tafsir asal Rembang KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam sebuah poengajiannya.

Dalam kajian tersebut, Gus Baha menjelaskan makna Syawalan bukan hanya soal adat atau kebiasaan, tapi merupakan simbol kembalinya manusia kepada fitrah sebagai penduduk surga.

Dikutip dirangkum dari video yang tayang di kanal YouTube @ranahsantri5921, yang memuat penjelasan lengkap Gus Baha tentang filosofi Idul Fitri dan Syawalan.

Menurut Gus Baha, kata “id” pada Idul Fitri berasal dari akar kata “aud” yang bermakna kembali. Idul Fitri bukan sekadar perayaan, tetapi momentum kembalinya manusia pada kondisi asal yang suci setelah sebulan penuh melaksanakan puasa.

"Jadi kalau id itu dari kosakata 'aud', maknanya kembali. Setelah kita puasa satu bulan, kita insya Allah berkat surga lagi," ujar Gus Baha dalam kajiannya.

Simak Video Pilihan Ini:

Satgas Pangan Cek Ketersediaan Bahan Pokok di Pasar Tradisional jelang Lebaran Idul Fitri 2025

Promosi 1

Hakikat Asal Manusia

Gus Baha kemudian mengingatkan bahwa pada hakikatnya manusia berasal dari surga. Nabi Adam sebagai manusia pertama diciptakan dan ditempatkan di surga sebelum akhirnya diturunkan ke bumi.

Sehingga, menurut Gus Baha, setiap manusia sejatinya memiliki status sebagai penduduk surga. "KTP kita ini sebetulnya KTP surga, alamat tetap kita itu surga," tutur Gus Baha dengan gaya khasnya yang santai.

Namun, dalam perjalanan hidup di dunia, manusia sering mengalami kekacauan. Gus Baha menggunakan istilah "kacau" untuk menggambarkan keadaan manusia yang banyak tergelincir dari fitrah akibat dosa dan kelalaian.

"Karena kita di dunia agak kacer itu, agak cara Jawa, agak kacau, terus status itu agak-agak hilang, semoga tidak hilang betul," terang Gus Baha sambil tersenyum.

Ramadhan, lanjut Gus Baha, menjadi momen penting yang disediakan Allah untuk mengembalikan status manusia sebagai penduduk surga. Puasa yang dijalani selama sebulan menjadi wasilah untuk membersihkan diri dari dosa.

"Dan dengan Ramadhan itu, status itu dikembalikan," jelas Gus Baha menegaskan bahwa puasa tidak hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi memulihkan kembali kondisi rohani manusia agar pantas menjadi ahli surga.

Tidak heran jika banyak ulama sejak dahulu menyebut bahwa orang yang menjalani Ramadhan dengan baik, akan kembali pada fitrah, layaknya manusia yang suci tanpa dosa.

Makna Kembali ke Fitrah

"Maka banyak ulama mengatakan, yang diterima itu menjadi status penduduk surga lagi, disebut Minal Aidin," kata Gus Baha, mengutip istilah yang kerap terucap saat Idul Fitri.

Ucapan “Minal Aidin wal Faizin” yang sering terdengar saat lebaran, menurut Gus Baha, bukan hanya basa-basi, melainkan doa agar kita menjadi bagian dari orang yang kembali ke fitrah dan memperoleh kemenangan.

Kembali ke fitrah yang dimaksud bukan hanya suci dari dosa, tetapi kembali ke status dambaan, yaitu sebagai ahli surga yang layak dan pantas di sisi Allah.

"Sehingga kita layak menjadi ahli surga," ujar Gus Baha menutup penjelasan makna Idul Fitri dan Syawalan dalam perspektif yang lebih dalam.

Melalui Syawalan, manusia diingatkan kembali bahwa tujuan akhir hidup adalah kembali ke surga, bukan sekadar mengulang tradisi tanpa makna.

Gus Baha mengajak umat Islam agar memaknai Syawalan sebagai momentum memperbaiki diri, bukan sekadar formalitas meminta maaf yang menjadi kebiasaan tahunan.

Lebih dari itu, Syawalan seharusnya menjadi pengingat bahwa setiap manusia memiliki “alamat tetap” yaitu surga, yang bisa diraih dengan menjaga fitrah dan meningkatkan keimanan.

Dengan demikian, setiap perayaan Idul Fitri dan Syawalan bukan hanya sebagai seremoni sosial, tetapi menjadi sarana spiritual untuk mempertegas tujuan hidup, yaitu menjadi hamba yang kembali ke surga dengan kondisi terbaik.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |