Jakarta, CNBC Indonesia - Setiap hari selama belasan tahun, Sayat (72) hidup tak jauh-jauh dari masjid. Bukan hanya demi menuntaskan kewajiban sebagai seorang Muslim, tetapi juga untuk menjalankan pengabdiannya sebagai penjaga alias marbot masjid.
Tugas warga Magelang itu sebagai marbot tak ringan. Dia harus menjaga kebersihan rumah Allah setiap saat. Setiap hari dia menyapu halaman masjid, membersihkan sajadah, hingga mengecek air. Semua dilakukan agar jamaah bisa ibadah secara nyaman.
Di luar rutinitas itu, Sayat masih mengayuh becak di sekitar rumah sekalipun usianya tak lagi muda. Ini dilakukan demi mendapat uang untuk bisa menyambung hidup dan membayar sewa rumah setiap bulannya.
Jauh sebelum menjadi tukang becak dan marbot masjid, Sayat sebenarnya adalah tentara. Dia pernah berperang melawan musuh di Magelang. Saat pensiun, dia menyandang gelar Sersan Satu.
Sayang, selama menjalani beragam profesi, hidup Sayat tak berubah. Puluhan tahun tetap miskin dan tak punya rumah tetap. Pria kelahiran 1917 selalu mencoba beragam cara agar bisa merubah nasib. Salah satunya membeli kupon undian Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
SDSB merupakan kupon undian yang diselenggarakan pemerintah sejak 1 Januari 1989. Sistemnya rakyat membeli kupon seharga paling murah Rp1.000 hingga puluhan ribu. Uang dari masyarakat akan dipakai untuk modal pembangunan. Sebagai pengganti, pemerintah memberikan hadiah miliaran yang ditentukan berdasarkan angka kupon pembelian. Tentu saja, peluangnya sangat kecil.
Sayat melihat kupon ini sebagai cara melepas jeratan kemiskinan. Dia selalu menyisihkan uang untuk membeli kupon undian seraya berharap akan dapat Rp1 miliar. Namun, harapan itu tak pernah terwujud. Sampai akhirnya, keajaiban terjadi pada Rabu, 9 Mei 1990.
Hari itu, radio pemerintah mengumumkan pemenang SDSB. Tak disangka, ucapan penyiar sesuai dengan nomor kupon yang Sayat beli.
"Delapan, empat, sembilan, tiga, tujuh.... dan terakhir sembilan!," ungkap si penyiar, dikutip harian Waspada (17 Mei 1990).
Dengan demikian, Sayat sah mendapat undian Rp1 miliar dari pemerintah. Surat kabar Pelita (22 Mei 1990) mewartakan, Sayat menjadi satu dari enam orang pemenang undian SDSB periode ke-14.
"Saya menang karena rahmat Tuhan Yang Maha Esa," kata Sayat, kepada pewarta Pelita.
Pada tahun 1990, uang Rp1 miliar sangat besar. Harga rumah di kawasan elit Pondok Indah, Jakarta, saja mencapai Rp80 juta per unit. Artinya, dengan uang Rp1 miliar, Sayat bisa membeli 12 unit rumah di Pondok Indah.
Lalu, harga emas pada 1990 hanya Rp20 ribu per gram. Dengan uang Rp1 miliar, Sayat bisa memborong 50 Kg emas. Berarti jika dikonversikan melalui penyetaraan harga emas (1 gram: Rp1,9 juta), diketahui uang Rp1 miliar setara Rp96 miliar pada masa sekarang.
Surat kabar Angkatan Bersenjata (22 Mei 1990) menyebut, Sayat dan istri langsung pergi ke Jakarta untuk mengambil uang hadiah. Di Jakarta, marbot masjid itu sempat pingsan. Sebab sepanjang hidupnya Sayat tak pernah membayangkan bakal jadi miliarder dan memegang uang Rp1 miliar.
Kepada media, Sayat menyebut uang akan dipakai untuk membeli rumah. Lalu, dia juga akan menyumbangkan Rp5 juta kepada para pedagang asongan. Tak lupa dia menyisihkan sedikit uang untuk renovasi masjid yang dia urus di sisa hidup. Sisanya, akan disimpan untuk anak-cucunya kelak.
Kisah Sayat jadi salah satu fenomena yang hanya terjadi di era kekuasaan Presiden Soeharto. SDSB tercatat dalam sejarah sebagai judi yang dilegalisasi pemerintah melalui Kementerian Sosial. Kini, kita semua tahu segala bentuk perjudian dilarang pemerintah.
(mfa/wur)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global
Next Article Petani di Jawa Bangun Jembatan Buat Warga Usai Menang Judi Rp50 M