Masjid Tua Samarinda dari Perspektif Geologi, Sinergi Alam Dan Budaya Berkelanjutan

1 week ago 8

Liputan6.com, Samarinda - Catatan ini ditulis oleh Ir. Fajar Alam, S.T., M.Ling., IPM, Ketua Program Studi Teknik Geologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur.

Pada tahun 2025, akhirnya saya kembali bisa berbuka di masjid Shiratal Mustaqiem yang ada di Jalan Pangeran Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda.

Masjid Shiratal Mustaqiem secara geologi, berada pada ekosistem dataran banjir berbentuk meander dari Sungai Mahakam.

Meander dapat dijelaskan sebagai bagian sungai yang membentuk kelokan. Meander ini mengubah arah aliran Sungai Mahakam yang sebelumnya berarah barat timur, menjadi berarah utara selatan.

Ini terjadi akibat gaya tektonik akibat naiknya Tinggian Kuching di umur geologi sekitar Oligo-Miosen (sekitar 34 juta tahun lalu). Hal ini menyebabkan banyaknya material endapan lepas terbawa ke arah timur menuju Selat Makassar, dipengaruhi faktor gravitasi dan volume pengendapan sedimen yang besar.

Tabrakan busur-benua pada Miosen Awal (sekitar 23 juta tahun lalu) menyebabkan deformasi, pengangkatan, dan inversi di timur Kalimantan, membentuk antiklinorium Samarinda. Membuat keberadaan gugusan perbukitan memanjang relatif utara selatan yang arah miringnya batuan bisa berhadapan atau saling memunggungi, laksana seng gelombang.

Kawasan ini, tanahnya senantiasa terbarui dari limpasan sungai hasil erosi dari hulu. Membawa lapukan tanah lapisan O, A, mungkin sampai B kalau mengerosi pada sisi tebing sungainya dengan tekstur pasir, lanau hingga lempung. Membawa serasah hasil guguran daun, ranting, cabang, batang di lantai hutan yang terbawa aliran air hujan. Secara formasi geologi, dataran ini menjadi bagian dari endapan Kuarter dengan usia paling tua sekitar 2 juta tahun lalu.

Posisi masjid Shiratal Mustaqiem ada pada kawasan kampung lama yang dikenal dengan nama Mangkupalas. Yang tampaknya mendapatkan pengaruh dialek Banjar, dari kata Mangkupelas.

Ada dua kawasan dengan kata depan Mangku di wilayah selatan Sungai Mahakam kawasan Kota Samarinda saat ini, yakni Mangkupalas dan Mangkujenang. Baik Mangkupalas maupun Mangkujenang, memiliki sungai dengan nama yang sama dengan nama kawasannya masing-masing.

Ada Sungai Mangkupalas, dan Sungai Mangkujenang. Keberadaan kedua sungai ini perlu dinaturalisasi, memberikan ruang lebih banyak untuk ruang limpas air.

Utamanya Sungai Mangkupalas, yang sudah banyak dihimpit rumah panggung di kedua tepi sungainya. Mangkujenang, berjarak sekitar 3 kilometer di hilir Mangkupalas, menurut jarak berkapal.

Kedua wilayah Mangku ini, dipisahkan oleh bukit yang menurut peta terbitan 1944 disebut sebagai G. Segara. Kini, bukit itu disebut Bukit RCTI atau Gunung RCTI, dan dilewati oleh jalan Trikora.

Bagian lain dari kawasan sekitar perbukitan memanjang ini kemudian disebut sebagai Simpang Pasir. Toponim yang berkaitan dengan keberadaan batupasir kuarsa yang menyusun kawasan ini, dan sebagian ditambang masyarakat.

Hal ini dapat teramati pada penambangan batupasir kuarsa yang berada tak jauh dari simpang masuk jalan tol menuju Balikpapan. Jejak keberadaan pertanian kawasan ini, karena dianggap tanahnya memiliki kesuburan yang memadai setidaknya untuk cocok tanam padi, ada pada kawasan Masjid Baitunnur kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang. Yang dulunya bagian dari kawasan Mangkupalas. Juga, pada kawasan unit pengantongan Semen Tonasa daerah muara Sungai Palaran, sisi hilir dari kawasan Mangkujenang.

Bedanya, di kawasan Mangkupalas sawahnya tinggal kenangan, sementara di hilir Mangkujenang kawasan Palaran, sebagian masih lestari. Hal ini diketahui dengan membandingkannya terhadap peta bertarikh tahun 1944.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |