Memotret Kebijakan Palestina dan Urgensi Harmoni Sosial dalam Perspektif Global

1 day ago 5

loading...

Muhammad Adib Abdushomad
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama

KONFLIK yang berkepanjangan antara Palestina dan Israel tidak hanya menjadi peristiwa geopolitik, melainkan juga tragedi kemanusiaan yang mencerminkan kompleksitas relasi internasional, asimetri kekuasaan, serta krisis nilai-nilai universal. Gencatan senjata (ceasefire) yang telah disepakati berkali-kali kerap dilanggar, utamanya oleh serangan militer Israel yang secara sistematis mengoyak struktur sosial dan psikologis masyarakat Palestina. Realitas ini menghadirkan lanskap penderitaan yang multidimensional, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Fenomena ini tidak dapat direduksi dalam satu perspektif tunggal. Eskalasi konflik di Palestina merepresentasikan realitas sosial yang kompleks, yang memunculkan respons beragam dari masyarakat global. Dalam konteks sosiologi konflik, respons-respons tersebut dapat dilihat sebagai artikulasi dari struktur kesadaran kolektif (collective consciousness) yang berbeda-beda dalam merespons ketidakadilan. Sebagian masyarakat internasional memosisikan diri secara prosedural, mempercayakan sepenuhnya penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi dan mekanisme hukum internasional. Namun, dalam pendekatan ini sering kali terjadi apa yang disebut sebagai “apathetic diplomacy”, yaitu sikap netral yang berlebihan hingga mengabaikan penderitaan kemanusiaan atas nama stabilitas politik dan kepentingan strategis.

Sementara itu, terdapat pula kelompok masyarakat yang melihat konflik ini melalui pendekatan humanistik. Perspektif ini memusatkan perhatian pada penderitaan warga sipil yang menjadi korban utama dari kekerasan struktural dan simbolik. Mereka menunjukkan solidaritas lintas batas dengan menyalurkan bantuan, menggalang donasi, dan mengampanyekan penghentian kekerasan. Solidaritas lintas iman dan lintas negara dalam gerakan ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan bersifat transkultural dan melampaui sekat-sekat identitas.

Namun, yang juga perlu dicermati secara kritis adalah ekspresi solidaritas emosional yang bersifat reaktif dan impulsif. Dalam konteks ini, sebagian masyarakat yang mengalami guncangan psikologis dan spiritual yang mendalam merespons konflik dengan intensitas emosi yang tinggi. Beberapa dari mereka terdorong untuk mengambil tindakan langsung, bahkan sampai pada titik ingin berjihad secara fisik di wilayah konflik. Respons semacam ini sering kali dibingkai dalam narasi keagamaan yang, sayangnya, rentan mengalami simplifikasi dan manipulasi ideologis. Di sinilah letak problematisnya: narasi keagamaan yang seharusnya menjadi sumber kedamaian justru direduksi menjadi alat legitimasi tindakan-tindakan yang kontraproduktif terhadap perdamaian itu sendiri.

Fenomena ini sejalan dengan konsep ideologi transnasional yang dalam studi hubungan internasional dijelaskan sebagai penyebaran ide dan keyakinan lintas negara yang dapat mempengaruhi perilaku kolektif. Dalam konteks media sosial yang sangat cair dan cepat, arus informasi yang tidak terverifikasi dengan mudah membentuk opini publik dan menciptakan ilusi partisipasi dalam konflik. Disinformasi, agitasi, dan propaganda menjadi instrumen utama dalam konstruksi realitas yang semu namun memengaruhi afeksi publik secara nyata.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan prinsip perdamaian universal, Indonesia harus mampu menyikapi realitas ini secara bijaksana dan proporsional. Solidaritas terhadap Palestina tidak harus diwujudkan dalam bentuk partisipasi militan, tetapi dapat dimanifestasikan melalui diplomasi kemanusiaan, penguatan peran masyarakat sipil, serta edukasi publik yang menanamkan nilai-nilai harmoni dan toleransi. Dalam konteks inilah, penting kiranya menegaskan kembali konsep jihad dalam dimensi spiritual. Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa jihad terbesar adalah jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs), yakni perjuangan internal untuk mengendalikan ego, amarah, dan dorongan destruktif dalam diri. Perspektif ini sangat relevan untuk meng-counter narasi ekstremisme yang tumbuh dalam ruang-ruang digital dan komunitas yang rentan.

Setelah melalui bulan suci Ramadan, umat Islam sejatinya telah dilatih untuk menaklukkan hawa nafsu dan membangun sensitivitas sosial. Momentum ini hendaknya dijadikan sebagai titik balik untuk memperkuat solidaritas yang konstruktif, yakni dengan cara memperluas aksi kemanusiaan, meningkatkan kesadaran publik, dan mendorong kebijakan luar negeri yang berbasis keadilan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Dalam merawat perdamaian dan mencegah radikalisasi, diperlukan pendekatan harmoni yang bersifat terintegrasi. Harmoni sosial tidak bisa lahir dari satu pendekatan tunggal. Ia membutuhkan sinergi antara pendekatan spiritual-transformatif, humanistik-inklusif, dan literasi-digital kritis. Pendekatan spiritual-transformatif memposisikan agama bukan hanya sebagai sistem kepercayaan, tetapi juga sebagai energi moral yang mendorong rekonstruksi diri dan masyarakat secara berkelanjutan. Pendekatan humanistik-inklusif menegaskan pentingnya melihat setiap individu sebagai bagian dari komunitas global yang memiliki martabat dan hak yang setara. Sementara pendekatan literasi-digital kritis diperlukan untuk membekali masyarakat dengan kemampuan memilah informasi, mengidentifikasi hoaks, dan menghindari jebakan narasi biner yang sering kali menyesatkan.

Ketiga pendekatan tersebut seyogianya tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan terintegrasi dalam sistem pendidikan, narasi keagamaan, dan kebijakan publik. Dengan demikian, Indonesia tidak hanya tampil sebagai bangsa yang peduli terhadap isu Palestina, tetapi juga sebagai contoh negara yang mampu merespons konflik global dengan cara yang beradab, rasional, dan berkeadilan.

(abd)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |