Negara Tak Bisa Batalkan HGU di Kawasan Hutan yang Belum Ditetapkan

12 hours ago 6

loading...

Kekeliruan umum dalam memahami status kawasan hutan dan hubungannya dengan hak atas tanah seperti HGU masih kerap terjadi. FOTO/Ilustrasi

JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi ( MK ) Nomor 45/PUU-IX/2011 dinilai telah menjadi tonggak penting dalam sejarah hukum kehutanan Indonesia. Dalam putusan tersebut, MK secara tegas menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan tidak memiliki kekuatan hukum yang konstitutif untuk menjadikan suatu wilayah sebagai kawasan hutan secara sah.

Namun demikian, hingga kini, masih banyak pemangku kepentingan yang belum memahami atau bahkan menolak implikasi dari putusan tersebut. Hal ini disampaikan oleh Peneliti di Pusat Studi dan Advokasi Hukum Sumber Daya Alam (PUSTAKA ALAM), Muhamad Zainal Arifin yang menyoroti kekeliruan umum dalam memahami status kawasan hutan dan hubungannya dengan hak atas tanah seperti Hak Guna Usaha (HGU).

"Penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah sifatnya hanya deklaratif, bukan konstitutif. Ini berarti, selama belum dilakukan penetapan kawasan hutan secara sah sesuai prosedur yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, status hukum wilayah tersebut belum final," tegas Zainal dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (3/5/2025).

Dia menjelaskan, dalam sistem hukum kehutanan nasional, pengukuhan kawasan hutan harus melalui empat tahapan: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Tanpa melalui tahapan akhir berupa penetapan oleh pemerintah, kawasan hutan tidak dapat diklaim sah menurut hukum. "Banyak yang salah kaprah menganggap peta penunjukan sebagai peta hukum. Padahal, dalam kerangka hukum positif, penetapan adalah satu-satunya bentuk legalitas kawasan hutan yang diakui secara konstitutif," jelasnya.

Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 menurutnya memperkuat prinsip ini dengan menyatakan bahwa tanpa proses penetapan, wilayah yang hanya didasarkan pada SK Penunjukan Kawasan Hutan belum dapat dinyatakan sebagai kawasan hutan secara hukum.

Seperti diketahui, sejauh ini Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menyita lebih dari 1 juta hektare lahan sawit yang dinilai illegal dan masuk kawasan hutan. Bahkan, ada sejumlah lahan sawit yang sudah mengantongi HGU juga turut disita. Hal tersebut kemudian menimbulkan keresahan di masyarakat terutama pelaku usaha sektor sawit yang lahannya diklaim masuk kawasan hutan. Padahal kawasan hutan yang dijadikan dasar Satgas PKH untuk tugasnya diduga menggunakan data Kementerian Kehutanan yang belum ditetapkan.

Lebih jauh, Zainal menjelaskan masih banyak pihak yang mencoba menjadikan Pasal 81 UU No. 41 Tahun 1999 sebagai pembenaran untuk mempertahankan rezim penunjukan. Pasal tersebut menyatakan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku. Namun, menurut Zainal, penafsiran tersebut tidak tepat.

"Pasal peralihan itu sifatnya sementara dan hanya berlaku selama SK penunjukan belum berubah. Faktanya, sejak UU No. 41 Tahun 1999 diundangkan, seluruh SK penunjukan kawasan hutan di seluruh provinsi telah mengalami perubahan atau penggantian. Maka rujukan hukumnya harus beralih ke pasal batang tubuh, yakni Pasal 14 dan Pasal 15," jelasnya. Artinya, untuk menetapkan kawasan hutan pascatahun 1999, tidak lagi cukup hanya dengan penunjukan. Pemerintah wajib melakukan pengukuhan secara formal dan sah sesuai hukum yang berlaku.

Penegasan tentang pentingnya penetapan juga tampak dalam praktik peradilan, salah satunya melalui Putusan Mahkamah Agung No. 62 PK/PID.SUS/2015 yang membebaskan terdakwa Drs. Melanthon Manurung dari dakwaan pidana kehutanan. MA menilai bahwa tidak cukup hanya dengan SK penunjukan untuk membuktikan bahwa suatu tanah adalah kawasan hutan.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |