Pelanggaran HAM dan Kehidupan Tragis Perempuan Korea Utara

9 hours ago 4

loading...

Dong Wan Kang, Profesor di Universitas Dong-A, Busan, Korea Selatan. Foto/Istimewa

Dong Wan Kang
Profesor di Universitas Dong-A, Busan, Korea Selatan
Pembawa Acara Kanal YouTube "Dong-Wan Kang TV"

DI KOREA UTARA, perempuan disebut sebagai “salah satu roda kereta revolusi”. Sebuah lagu populer berjudul “Perempuan Adalah Bunga” menggambarkan perempuan sebagai “bunga bangsa”. Negara ini juga memperingati tanggal 3 November sebagai “Hari Ibu” untuk semakin menekankan peran dan pentingnya perempuan.

Propaganda pemerintah mengklaim bahwa perempuan di “surga rakyat” ini menikmati kehidupan yang sangat bahagia. Namun, benarkah perempuan Korea Utara benar-benar bahagia? Sebelum berbicara tentang peran mereka sebagai perempuan, dapatkah mereka hidup dengan martabat sebagai manusia?

Secara umum, hak-hak perempuan mencakup kebebasan dari kekerasan seksual, hak untuk memilih, hak untuk memegang jabatan publik, hak yang setara dalam hukum keluarga, dan akses terhadap pendidikan. Dilihat dari perspektif hak asasi manusia (HAM), kehidupan mereka sungguh tragis.

Saya telah merekam kehidupan rakyat Korea Utara di sepanjang Sungai Yalu dan Tumen di perbatasan China-Korea Utara menggunakan lensa telefoto untuk membagikan kisah mereka kepada dunia. Di musim dingin yang sangat menusuk, dengan suhu di bawah -35°C, perempuan Korea Utaralah yang harus mengambil air atau mencuci pakaian di sungai yang membeku.

Dalam kenyataan keras ini, di mana listrik dan sistem air bersih sangat minim, seteguk air saja harus diambil dari sungai atau sumur. Peralatan rumah tangga seperti mesin cuci dan pengering, yang bagi kita sudah biasa, bagi mereka adalah kemewahan yang tak terbayangkan.

Di negara yang sangat tertutup ini, di mana perbatasan dijaga ketat, bahkan pupuk dasar untuk bertani pun sulit diakses—limbah manusia masih digunakan. Mengangkut limbah manusia ke ladang, yang dikenal sebagai "pertempuran pupuk," adalah tugas wajib musim dingin bagi perempuan Korea Utara.

Menghidupi ekonomi rumah tangga juga menjadi beban mereka. Mereka harus menjual apa pun yang bisa dijual di pasar-pasar lokal untuk menghidupi keluarga, yang seringkali membuat mereka rentan terhadap eksploitasi seksual ilegal dan berulang.

Pelanggaran HAM terhadap perempuan Korea Utara yang diperdagangkan ke China sungguh tak terbayangkan parahnya. Dihadapkan pada ancaman kelaparan, melintasi perbatasan untuk mencari makanan sering menjadi satu-satunya pilihan—tetapi ini membuat mereka menjadi target empuk bagi para pelaku perdagangan manusia.

Sekitar 80% pembelot Korea Utara yang tiba di Korea Selatan adalah perempuan, dan di antara mereka, sekitar 70% pernah mengalami perdagangan manusia di China. Mereka yang beruntung bisa mencapai Korea Selatan dengan selamat adalah pengecualian.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |