Penertiban Lahan Sawit Perlu Kebijakan Satu Peta Hutan

15 hours ago 3

loading...

Implementasi Perpres No 5/2025 hendaknya dilakukan secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan keberlanjutan kontribusi industri kelapa sawit baik secara lokal, nasional maupun Internasional. Foto/Dok. SindoNews

JAKARTA - Implementasi Perpres No 5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan hendaknya dilakukan secara arif dan bijaksana dengan mempertimbangkan keberlanjutan kontribusi industri kelapa sawit baik secara lokal, nasional maupun internasional. Pemerintah diminta untuk segera mewujudkan terbitnya kebijakan satu peta (one map policy) hutan yang bisa dijadikan acuan secara nasional agar terwujud langkah penertiban yang win-win solution.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Yanto Santosa menyoroti bahwa inti dari permasalahan industri sawit adalah acuan peta yang dipakai untuk melakukan penertiban kawasan hutan . ”Kebijakan satu peta yang dicanangkan pemerintah zaman dulu, one map policy itu itu memang harus dipaksakan diselesaikan. Sehingga acuannya satu peta, semua sepakat. Kalau sekarang, kan Kementerian Kehutanan punya peta, Kementerian Transmigrasi punya peta. Ini nggak bener,” kata Prof Yanto, Minggu (9/3/2025).

Baca Juga

16 Invensi Hasil Riset GRS 2021-2023, Lebih dari Separo Siap Hilirisasi!

Menurut Yanto, tanaman sawit sudah ada sebelum Undang-Undang Kehutanan lahir. Tanaman sawit sudah mulai marak ditanam sejak sebelum tahun 1999-an. Karena itu, kurang bijaksana jika penertiban kawasan hutan dilakukan dengan peta kawasan hutan versi Kementerian Kehutanan yang belum dikukuhkan secara nasional.

”Harusnya tim ini (Satgas Penertiban Kawasan Hutan) bergerak dengan mengacu kepada peta hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan/ditetapkan. Perlu pengukuhan kawasan hutan dulu. Jangan menggunakan peta hutan versi Kehutanan yang belum dikukuhkan, belum ditetapkan,” jelasnya.

Pengukuhan kawasan hutan merupakan proses penting dalam menetapkan status legal dan legitimate suatu wilayah sebagai kawasan hutan. Pengukuhan kawasan hutan idealnya dilakukan dengan mengundang semua pemangku kepentingan yang terkait/berbatasan dengan kawasan hutan tersebut. Jadi, penetapan kawasan hutan tidak boleh dilakukan secara sepihak seperti yang dilakukan saat ini, sehingga terkesan tidak mendapat legitimasi dari pihak lain dan atau masyarakat.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( KLHK ) menyebut dari total 16,38 juta hektare kebun kelapa sawit terdapat lebih kurang 3,3 juta hektare lahan berada di dalam kawasan hutan. Untuk itu, Tim Satgas harus melakukan inventarisasi secara cermat karena lahan sawit yang masuk kawasan hutan terpencar di berbagai wilayah di Tanah Air.

Konsultasi dengan masyarakat dan pemangku kepentingan wajib dilakukan untuk memastikan transparansi dan menghindari konflik sosial. Masyarakat setempat dan pihak terkait diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau keberatan terkait penetapan kawasan hutan.

Setelah penataan batas dan konsultasi publik, pemerintah menetapkan kawasan hutan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mencakup batas-batas kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi, atau hutan produksi.

Lebih jauh, Yanto mengaku sepakat dengan semangat munculnya Perpres No 5/2025 yang secara filosofis berniat bagus untuk menertibkan kawasan hutan. Karena kalau tidak diterbitkan dikhawatirkan ke depan akan menjadi pelajaran yang kurang baik. Hanya saja, regulasi yang ada di dalam Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah bagus karena sudah berisi adanya sanksi denda.

‘’Ini kan tiba-tiba muncul Perpres No 5 dikatakan akan diambil alih. Jadi menurut saya solusinya untuk menengahi ini di Perpres ini tidak perlu disebutkan hukumannya. Karena sudah terang benderang tertuang dalam UU Cipta Kerja. Undang-undang kan statusnya lebih tinggi dari Perpres. Kalau pemerintah memang arif dan bijaksana, jalan tengahnya begitu,’’ paparnya.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |