Revitalisasi Paradigma Trilogi Kerukunan untuk Kebutuhan Umat Saat ini

9 hours ago 4

loading...

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI, HM. Adib Abdushomad. FOTO/DOK.PRIBADI

HM. Adib Abdushomad
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kemenag RI
Dosen Pascasarjana Bunga Bangsa Islamic University Cirebon
Wakil Syuriah NU PC NU Tangerang Selatan

BANGSA Indonesia yang dikenal dengan Bhineka Tunggal Ika ini merupakan negara kepulauan yang majemuk, tidak hanya dalam aspek etnis dan budaya, tetapi juga dalam hal agama. Keberagaman agama di Indonesia diakui secara resmi melalui pengakuan terhadap enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu, serta keberadaan penghayat kepercayaan yang juga dilindungi oleh konstitusi.

Keberagaman ini di satu sisi merupakan kekayaan nasional, namun di sisi lain dapat menjadi potensi konflik apabila tidak dikelola dengan bijak. Terlebih di era internet of things saat ini, di mana berita dan informasi sangat mudah dikendalikan di dunia medsos oleh para netizen.

Dengan peluang yang sangat terbuka tersebut terlebih dengan jargon 'no viral no justice', jari jemari para netizen melalui gadget-nya, dengan judul yang provokatif tanpa kaidah pemberitaan yang profesional dan benar, telah mengalahkan sumber-sumber pemberitaan yang seharusnya menjadi rujukan. Kenyataan ini diperparah dengan motivasi sebagian pemberitaan 'ala netizen' tersebut sekadar untuk meraup keuntungan financial mendapatkan banyak followers, likers, serta subscriber.

Lebih dari itu, ternyata sebagian masyarakat kita belum siap dengan ledakan informasi yang sangat luar biasa, sehingga tidak jeli, bahkan kurang dapat membedakan mana berita hoaks, cenderung hate speech, semuanya ditelan mentah-mentah bahkan tanpa disaring lalu di-share ke mana-mana.

Begitulah gambaran tantangan yang ada pada saat ini, di mana terjadi pola komunikasi dan transformasi masyarakat dalam berinteraksi dari off-line, bertemu langsung menuju pola masyarakat daring atau online communication. Keadaan ini tentu saja ikut berdampak akan kompleksitas merawar kerukunan umat beragama. Apalagi di era Post-Truth ini, seringkali terjadi bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang menjadi sebuah kebenaraan. Untuk itulah, konsep atau tawaran paradigma kerukunan yang pernah ada oleh para pemimpin dahulu dan saat ini harus dikontekstulisasikan dengan spirit akan tantangan zaman.

Revitalisasi Trilogi Kerukunan dan Asta Protas

Untuk menjaga keharmonisan Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara mencetuskan konsep Trilogi kerukunan pada tahun 1978, yang kemudian menjadi pendekatan strategis dalam membina kehidupan beragama di Indonesia (Kementerian Agama RI, 2006). Konsep ini mencakup tiga dimensi utama: kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah. Ketiganya masih sangat relevan dan menjadi fondasi utama dalam membangun stabilitas sosial dan memperkuat persatuan bangsa.

Pada dimensi pertama, yakni kerukunan intern umat beragama, tantangan utamanya adalah mengelola perbedaan teologis dan praksis keagamaan dalam satu komunitas agama. Dalam tradisi Islam misalnya, terdapat banyak ormas dan mazhab yang memiliki pandangan dan praktik keagamaan yang berbeda. Demikian pula dalam kekristenan, Hindu, dan agama lainnya. Perbedaan-perbedaan ini harus dipahami sebagai kekayaan internal yang mendorong dinamika teologis dan kultural, bukan sebagai ancaman yang memecah belah.

Oleh karena itu, membangun kesadaran the golden pathways yakni appreciate multiple view of knowing, yakni menghargai keragaman dan perbedaan pendapat yang terjadi dalam intern umat beragama yang faktanya terjadi banyak perbedaan pandangan dalam beribadah dan ritual keagamaan lainnya. Yang menjadi masalah saat ini ternyata riset dari Bimbingan Masyarakat masing-masing agama mengkonformasi adanya persoalan ini, yang kadang 'diperuncing' dengan one truth paradigm and claim di media sosial, akan kebenaran pandangan keagamaan masing-masing kelompok yang berujung pada 'perebutan' tempat ibadah, pelarangan ritual keagamaan tertentu dan umat terbelah internally.

Dampak ikutan ini adalah tempat ibadah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman bagi semua Jamaah, tapi segregasi kelompok tertentu pun terjadi. Tentu ketika tempat ibadah sudah tidak dapat menjadi 'Rumah Bersama' yang menampung keragaman umatnya, maka misi kerukunan, kedamaian dan harmoni semakin menjauh.

Dimensi kedua, yakni kerukunan antar umat beragama, menekankan pentingnya relasi yang harmonis antara pemeluk agama yang berbeda. Namun, konsep kedua ini menjadi masalah (atau tidak dapat berfungsi dan berjalan dengan baik), jika pada level dimensi pertama sudah 'tersandera' persoalan disharmoni intern umat beragama. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat interaksi antarumat beragama dalam konteks sosial, ekonomi, dan budaya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |