Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bayangkan jalanan Indonesia dipenuhi kendaraan listrik. Tak ada lagi suara bising knalpot, tak ada bau bahan bakar menyengat. Hanya lalu lintas yang lebih senyap, lebih bersih, dan lebih modern. Wacana tersebut bukan sekadar mimpi, tetapi sebuah kemungkinan yang, jika direalisasikan, akan mengguncang perekonomian nasional, fiskal negara, kebutuhan listrik, hingga dinamika ketenagakerjaan.
Namun, apakah Indonesia siap? Seberapa besar biaya yang harus ditanggung negara untuk melakukan konversi total kendaraan bermotor menjadi listrik? Apakah transformasi ini justru menjadi peluang pertumbuhan ekonomi atau malah menjadi beban fiskal jangka panjang? Mari kita menelaah lebih dalam.
Mengutip data Korlantas Polri, saat ini Indonesia memiliki sekitar 164 juta kendaraan, dengan 137 juta di antaranya adalah sepeda motor. Jika seluruh kendaraan ini dikonversi menjadi listrik, kebutuhan listrik tahunan akan melonjak sebesar 110,07 TWh (terawatt jam), setara dengan peningkatan 35% dari konsumsi listrik nasional saat ini.
Angka ini mengindikasikan bahwa PLN harus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik setidaknya sebesar 13,96 GW - 62,83 GW, tergantung dari sumber energinya. Jika mengandalkan PLTU batubara, tambahan daya yang dibutuhkan sekitar 17,95 GW.
Namun, jika Indonesia memilih sumber energi bersih seperti tenaga surya atau angin, kapasitas yang dibutuhkan jauh lebih besar karena faktor kapasitas yang lebih rendah. Untuk daya dukung tersebut paling tidak PLN harus memasang pembangkit baru paling tidak berkapasitas 60 GW.
Selain itu, PLN juga perlu memperkuat jaringan distribusi dan transmisi listrik agar dapat mengakomodasi lonjakan permintaan listrik dari kendaraan listrik. Estimasi tambahan investasi untuk penguatan jaringan listrik mencapai Rp 2.000 triliun, mencakup pembangunan gardu induk, perluasan jaringan tegangan tinggi dan menengah, serta implementasi infrastruktur smart grid serta energy storage system untuk sistem pengisian daya yang lebih efisien.
Detail Asumsi Investasi Infrastruktur Listrik dan Penguatan Jaringan
1. Investasi Infrastruktur Pembangkitan Listrik (Rp 1.500 triliun)
* a. Pembangunan pembangkit listrik baru sebesar 60 GW dari berbagai sumber energi.Estimasi biaya per MW:
* • PLTU Batubara : Rp 30-40 miliar/MW
* • PLTS (Solar) : Rp 15-25 miliar/MW
* • PLTB (Angin) : Rp 20-30 miliar/MW
* • PLTN(Nuklir) : Rp 60-80 miliar/MW
* b. Pembangunan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum Fast Charging (SPKLU) di 1000.000 titik.
* c. Penguatan Jaringan Listrik (Rp 2.000 triliun)
* • Penambahan 200.000 km jaringan transmisi dan distribusi baru.
* • Pembangunan 500 Gardu Induk Baru
* • Implementasi smart grid , storage system dan digitalisasi sistem kelistrikan agar lebih efisien dan mampu menangani beban dari kendaraan listrik.
* • Peningkatan kapasitas sistem distribusi di perkotaan dan pedesaan agar dapat menangani peningkatan konsumsi listrik.
Dampak fiskal : Investasi besar, manfaat jangka panjang
Beralih total ke kendaraan listrik membutuhkan modal fiskal yang tidak sedikit. Dengan asumsi biaya konversi motor listrik sekitar Rp 15 juta per unit dan mobil listrik Rp 400 juta per unit, maka total biaya untuk mengganti seluruh kendaraan mencapai Rp 12.856,5 triliun.
Belum lagi tambahan investasi infrastruktur listrik sebesar Rp 1.500 triliun dan penguatan jaringan listrik Rp 2.000 triliun, sehingga total kebutuhan investasi mencapai sekitar Rp 16.356,5 triliun. Angka ini setara dengan 4-5 kali APBN Indonesia tahun 2025.
Namun, ada sisi terang. Jika transformasi ini berhasil, pemerintah dapat mengurangi subsidi BBM yang setiap tahunnya mencapai Rp 500 triliun. Dengan berkurangnya impor bahan bakar fosil, neraca perdagangan bisa lebih sehat dan defisit transaksi berjalan dapat ditekan.
Seberapa besar Investasi Ini Menggerakkan Ekonomi? Investasi besar-besaran dalam konversi kendaraan listrik ini dapat menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika total perputaran keuangan Rp 16.356,5 triliun terealisasi dalam 10 tahun ke depan, rata-rata pertumbuhan investasi per tahun adalah Rp 1635 triliun. Dengan rasio investasi terhadap PDB (data desember 2024) sekitar 30,1%, maka proyek ini bisa berkontribusi tambahan 7% terhadap total PDB.
Dengan Index Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sebesar 6,8 yang artinya untuk mendapatkan tambahan 1 persen pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan 6.8% tambahan investasi. Artinya kontribusi transformasi total menjadi kendaraan listrik seluruhnya dapat mendorong tambahan 1% pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun.
Belum lagi perputaran ekonomi yang begitu besar dari tumbuh berkembangnya industry manufaktur, Industri mobil dan motor listrik lokal, hilirisasi mineral dan turunannya, industry baterai, industry jaringan kelistrikan, industry pengolahan waste baterai, pembangkitan tenaga listrik berbasis energi baru, industri jasa perawatan, perbengkelan, Industri perdagangan karbon dan berbagai green jobs lainnya. Industrialisasi ini akan sangat memerlukan tenaga kerja, dimana Indonesia dikenal memiliki bonus demografi yang cukup untuk mendukung hal tersebut.
Kesimpulannya adalah "Layakkah Indonesia Beralih Total ke Kendaraan Listrik?" Beralih ke kendaraan listrik bukanlah keputusan sederhana. Ini adalah pertaruhan besar yang membutuhkan investasi belasan ribu triliun rupiah, infrastruktur kelistrikan yang kuat, serta kesiapan tenaga kerja dalam menghadapi perubahan.
Namun, jika dilakukan dengan perencanaan matang, Indonesia bisa memperoleh berkah manfaat ekonomi yang luar biasa: mulai dari menekan impor BBM, meningkatkan surplus neraca perdagangan, menciptakan industri baterai global, hingga mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Kendaraan listrik bukan sekadar teknologi baru, tetapi juga representasi dari masa depan industri dan ekonomi Indonesia. Tantangan tentu ada, tetapi di balik tantangan ini tersimpan peluang besar. Kini, pertanyaannya bukan "Mungkinkah?", tetapi "Seberapa cepat kita bisa merealisasikannya?"
(miq/miq)