RI Menjauh dari Radar Perang Dagang, Aman dari Amukan Trump?

3 days ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia kini tak masuk ke dalam jajaran negara 15 terbesar penyumbang defisit perdagangan bagi Amerika Serikat (AS).

Biro Sensus AS dan Biro Analisis Ekonomi AS mencatat defisit neraca barang dan jasa Amerika Serikat mencapai US$131,4 miliar pada Januari 2025, meningkat US$33,3 miliar dari revisi US$98,1 miliar pada Desember 2024.

Ekspor Januari tercatat US$269,8 miliar, naik US$3,3 miliar dibandingkan Desember. Sementara impor Januari meningkat lebih tajam menjadi US$401,2 miliar, bertambah US$36,6 miliar dari bulan sebelumnya.

Impor melonjak 10% mencapai US$401,2 miliar, mencatatkan angka tertinggi sepanjang masa, yang didorong oleh antisipasi tarif yang akan datang.

Kenaikan impor terutama terlihat pada barang-barang logam bentuk jadi (US$20,5 miliar), persiapan farmasi (US$5,2 miliar), dan komputer (US$3 miliar). Ekspor meningkat lebih lambat sebesar 1,2% menjadi US$269,8 miliar, dipimpin oleh pesawat sipil (US$1,1 miliar) dan persiapan farmasi (US$0,8 miliar). Di sisi lain, penjualan turun untuk kedelai (US$-0,8 miliar).

Defisit perdagangan barang AS dengan beberapa negara meningkat, termasuk China (US$-29,7 miliar dibandingkan US$-25,3 miliar pada Desember 2024), Uni Eropa (US$-25,5 miliar dibandingkan US$-20,4 miliar), Swiss ($-22,8 miliar dibandingkan US$-13 miliar), Meksiko (US$-15,5 miliar dibandingkan US$-15,3 miliar), Vietnam (US$-11,9 miliar dibandingkan US$-11,4 miliar), dan Kanada (US$-11,3 miliar dibandingkan US$-7,9 miliar).

Peningkatan defisit ini mencerminkan lonjakan impor yang jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan ekspor, yang dapat dipengaruhi oleh permintaan domestik yang tinggi, harga energi dan barang impor, serta dinamika perdagangan global.

Melesatnya angka impor AS yang melebar 34% pada Januari 2025 ini merupakan yang tertinggi sejak 1992.

Faktor utama kenaikan impor, yakni barang logam jadi meningkat karena perusahaan berusaha mengamankan pasokan sebelum tarif baja dan aluminium baru berlaku serta barang konsumsi dan barang modal juga mengalami peningkatan signifikan.

Lonjakan impor ini mencerminkan ketidakpastian kebijakan perdagangan dan strategi perusahaan dalam mengantisipasi potensi biaya tambahan akibat tarif impor yang lebih tinggi.

Untuk diketahui, tarif yang telah lama diancamkan oleh Trump terhadap Kanada dan Meksiko mulai berlaku pada Selasa, membuat pasar global gelisah dan memicu pembalasan mahal dari sekutu Amerika Serikat di Amerika Utara.

Mulai tepat lewat tengah malam Selasa, impor dari Kanada dan Meksiko kini dikenakan pajak sebesar 25%, dengan produk energi Kanada dikenai bea masuk sebesar 10%.

Tarif 10% yang sebelumnya diberlakukan Trump terhadap impor dari China pada Februari kini digandakan menjadi 20%, dan Beijing membalas pada Selasa dengan tarif hingga 15% terhadap berbagai ekspor pertanian AS.

Selain itu, China memperluas daftar perusahaan AS yang dikenai kontrol ekspor dan pembatasan lainnya sebanyak sekitar dua lusin.

Kabar terbaru menunjukkan bahwa Trump memutuskan untuk menunda tarif terhadap barang-barang dari Kanada dan Meksiko yang tercakup dalam perjanjian perdagangan Amerika Utara (USMCA) hingga 2 April.

Keputusan ini memberikan keringanan sementara bagi kedua mitra dagang terbesar AS, dengan pengecualian tarif tersebut hanya berlaku untuk barang-barang yang sesuai dengan USMCA. Pada 2 April, Trump diperkirakan akan mulai mengungkapkan rencana tarif timbal balik terhadap negara-negara yang mengenakan pajak impor terhadap barang-barang AS.

Tarif Trump masih akan diterapkan pada sekitar 50% impor Meksiko dan lebih dari 60% barang-barang Kanada.

Pengecualian yang diberikan oleh Presiden hanya berlaku untuk barang-barang yang sesuai dengan Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA), perjanjian yang dinegosiasikan selama masa jabatan pertama Trump yang mengatur perdagangan di Amerika Utara.

Sekitar 50% impor Meksiko dan 38% impor Kanada tercakup dalam perjanjian perdagangan USMCA tersebut.

Pengecualian tarif tidak termasuk yang diberlakukan pada China. China tetap bersikap tegas jika mereka siap untuk melawan "jenis perang apa pun" dengan AS.

Lebih lanjut, dengan semakin parahnya defisit perdagangan AS, maka hal ini berpotensi menekan produk domestik bruto (PDB), karena menunjukkan bahwa AS semakin banyak membeli barang dan jasa dari pemasok luar negeri dibandingkan produsen dalam negeri.

Akibat kenaikan tajam dalam defisit ini, banyak ekonom kini memperkirakan kontraksi ekonomi pada kuartal pertama 2025.

Capital Economics memperkirakan PDB kuartal pertama akan menyusut 2,5% (tahunan).

Meski begitu, firma ini masih yakin ekonomi AS akan terhindar dari resesi dan kembali tumbuh di kuartal kedua.

Posisi Indonesia Mulai Bergeser

Pada 2024, Indonesia menjadi negara dengan yang memberikan defisit nomor 15 terbesar dengan jumlah US$17,9 miliar pada 2024 (hanya perdagangan barang).

Posisi Indonesia ini berada di bawah China, Meksiko, Vietnam, hingga Kanada, yang masing-masing berada diperingkat 1, 2, 3, dan 9.

Sebagai perbandingan, AS mengalami defisit perdagangan jauh lebih besar dengan China (US$295.4 miliar), Meksiko (US$171.8 miliar), dan Vietnam (US$123.5 miliar) disepanjang 2024.

Dengan kata lain, kendati AS mengimpor lebih banyak dari Indonesia dibanding ekspor yang dikirim ke sana, volume perdagangannya masih relatif keci dibandingkan negara-negara dengan hubungan rantai pasokan lebih dalam dengan AS, seperti China dan Meksiko.

Kemudian pada Januari 2025, defisit Perdagangan dengan Indonesia kembali melebar yakni sebesar US$1.815,7 juta.

Posisi Indonesia yang mulai bergeser dari 15 besar ini patut mendapat perhatian karena artinya permintaan barang dari AS terhadap barang-barang Indonesia tidak sekuat permintaan dari negara-negara lain.

Apabila Indonesia tidak mampu berbenah diri dan tak mampu bersaing dengan negara lainnya di pasar internasional, maka bukan tidak mungkin Indonesia semakin ditinggalkan oleh AS dan secara perlahan, surplus neraca dagang dari AS semakin berkurang yang berdampak negatif bagi neraca perdagangan secara keseluruhan.

Namun, di sisi lain, semakin kecilnya defisit ke AS membuat Indonesia menjauh dari radar pengawasan Trump.

Kondisi ini seharusnya dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menggenjot ekspornya ke AS.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(rev/rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |