Suram! Wall Street Ambruk, Fed Beri Kabar Buruk dan Perang Tarif Memanas

2 days ago 7
  • Pasar keuangan Indonesia kompak melemah baik IHSG dan rupiah berakhir di zona merah
  • Wall Street babak belur karena memanasnya perang dagang
  • Sentimen perang dagang, pidato Powell dan tarif royalti akan mempengaruhi pergerakan IHSG, rupiah, dan obligasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan pasar keuangan pada perdagangan kemarin bergerak senada dengan berakhir di zona pelemahan. Jelang libur panjang, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) maupun rupiah diperkirakan akan kembali merana efek aksi taking profit hingga dorongan keras dari pergerakan pasar Wall Street yang hancur cukup dalam pada penutupan perdagangan dini hari.

Pergerakan IHSG dan rupiah diperkirakan akan cenderung melemah mengingat hari ini adalah hari terakhir perdagangan pada empat hari perdagangan pasar keuangan. Meskipun hanya empat hari perdagangan, masih terdapat beberapa sentiment yang dapat menjadi dorongan bagi pasar keuangan.

Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman 4.

IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (16/4/2025) ditutup melemah  41,63 poin atau 0,65% ke level 6.387,23. Penurunan IHSG mematahkan tren penguatan perdagangan selama empat hari beruntun sebelumnya.

Sebanyak 250 saham naik, 331 saham turun, dan 220 tidak bergerak.

Nilai transaksi perdagangan kemarin terbilang tinggi, yakni Rp 20,78 triliun yang melibatkan 28,75 miliar saham dalam 1,15 juta kali transaksi. Kapitalisasi pasar pada penutupan perdagangan kemarin mencapai Rp 11.059,04 triliun.

Investor asing mencatat net sell sebesar Rp 8,21 triliun di semua market pada perdagangan kemarin. Sementara itu, net foreign sell dalam sepekan terakhir mencapai Rp 6,86 triliun. Pada perdagangan sebelumnya Selasa (15/4/2025), asing mencatat net sell senilai Rp 2,48 triliun.

Mengutip Refinitiv, sektor utilitas, finansial, dan konsumer primer menjadi penyebab IHSG jatuh pada perdagangan kemarin. Utilitas turun 3,95%, sedangkan finansial -1,33% dan konsumer primer -1,24%.

Utamanya, IHSG pada penutupan perdagangan kemarin diseret ke bawah oleh saham konglomerat Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI yang turun 5,08%. BREN berkontribusi 11,41 indeks poin terhadap penurunan IHSG.

Selain itu, keempat saham bank jumbo juga kompak menjadi pemberat IHSG. BMRI menyumbang -7,05 indeks poin, PT Bank Central Asia (BBCA) -6,82 indeks poin, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) -6,49 indeks poin, dan PT Bank Rakyat Indonesia (BBRI) -6,12 indeks poin.

Saham yang menjaga pergerakan IHSG ini jatuh lebih dalam adalah PT Telkom Indonesia (TLKM) yang menyumbang 3,43 indeks poin. Lalu PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) 3,38 indeks poin, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) 2,74 indeks poin, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) 2,17 indeks poin, dan PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) 2,12 indeks poin.

Adapun IHSG sebelumnya telah menguat dalam perdagangan empat hari terakhir. Dengan demikian bila dihitung dari posisi 5.900 pada pekan lalu, IHSG sudah naik lebih dari 7%.

Senior Technical Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta mengatakan kendati dalam tren positif, IHSG masih diselimuti sentimen negatif. Oleh karena itu penguatan IHSG belum didukung oleh dana investor asing yang kembali masuk ke pasar modal.

Menurutnya saat ini investor asing masih melakukan pembelian secara bertahap, belum akumulasi besar-besaran. "Step by step, karena kan investor juga mencermati token dengan kondisi global juga," ujarnya saat dihubungi oleh CNBC Indonesia, Rabu (16/4/2025).

Ia memaparkan, saat ini ketidakpastian global masih menjadi tantangan dan masih menjadi sentimen yang disorot oleh para investor, khususnya perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Sementara dari faktor domestik, para investor sebenarnya masih yakin bahwa perekonomian Indonesia masih memiliki fundamental yang baik.

Beralih ke rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu (16/4/2025) ditutup pada posisi Rp16.820/US$, rupiah atau melemah 0,06%. Posisi ini senada dengan penutupan perdagangan sebelumnya Selasa (15/4/2025) yang ditutup pada level Rp16.810/US$ atau melemah 0,24%.

Pelemahan rupiah terjadi saat indeks dolar AS justru melemah. Indeks dolar AS (DXY) pada pukul 14:59 WIB turun 0,81% di angka 99,4. Angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan kemarin yang berada di angka 100,22.

Secara teori, saat indeks dolar melemah seharusnya mata uang rupiah menguat. Indeks dolar yang turun menandai adanya penjualan dolar AS secara besar-besaran.

Investor atau trader akan mengalihkan investasi yang dulunya dalam denominasi dolar ke instrumen lain.

Biasanya, instrumen di Emerging Markets seperti Indonesia menjadi pilihan karena menarik. Rupiah menjadi alternatif bagi investor yang menjual dolar dan berinvestasi ke tempat lain.

Sayangnya, teori ini tidak berjalan sekarang. Rupiah justru ambruk parah di tengah melemahnya dolar AS. Kondisi ini mencerminkan jika dana investor tidak digunakan untuk membeli rupiah.

Ada sejumlah alasan mengapa teori indeks dolar AS dan rupiah tidak berlaku saat ini. Di antaranya adalah gejolak eksternal yang besar serta kondisi dalam negeri yang kurang mendukung. Dari eksternal, tekanan datang dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump sementara dari internal berupa pelemahan indikator ekonomi hingga jebloknya pendapatan negara.

Kebijakan tarif perdagangan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memberlakukan tarif bea impor dengan tarif dasar 10% pada semua impor ke AS dan bea masuk yang lebih tinggi pada puluhan negara lain.

Ketidakpastian global dan ketidakjelasan dampak perang dagang membuat investor asing kabur dari pasar keuangan Indonesia dan ini membuat mata uang rupiah tertekan.

Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Rabu (16/4/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun terpantau anjlok 1,46% di level 6,935%. Imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN).

Pages

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |