Trump dan Ekonomi-Politik (Transisi) Energi

1 day ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Bagi Amerika Serikat (AS), siapa pun yang menjadi presidennya, energi selalu ditempatkan dan diperlakukan secara nyata dan sungguh-sungguh sebagai salah satu sektor-isu terpenting dan prioritas. Sejak secara resmi diambil sumpah sebagai Presiden AS ke-47 pada Januari 2025 lalu, Trump tercatat telah mengambil langkah-kebijakan di sektor energi yang bagi (sebagian) kita cenderung melihatnya sebagai kontroversial dan negatif.

Atas nama national energy emergency, Trump menyatakan AS menarik diri-keluar dari kesepakatan Paris tentang perubahan iklim, yang disebutnya sepihak dan tidak adil. Trump secara lantang menyerukan "drill, baby, drill", merujuk pada pilihan strategi kebijakan energi AS di bawah kepemimpinannya yang akan terus meningkatkan produksi energi fosil, khususnya minyak dan gas (migas), secara lebih masif.

Dalam hal ini, apakah AS memang benar-benar tidak pro terhadap transisi energi-pengembangan energi terbarukan dan tak peduli perubahan iklim-lingkungan hidup? Atau, ada hal lain yang mendasarinya, yang mungkin berkaitan dengan langkah Trump belakangan ini, yang seperti melakukan tarik-ulur penerapan kebijakan tarif impor?

Argumentasi dan rasional ekonomi-politik apa sejatinya yang (mungkin) menjadi basis pijakan Trump di dalam menerapkan kebijakan ekonomi-energinya sehingga pada tingkatan tertentu menyebabkan terjadinya keadaan chaotic seperti yang kita lihat sekarang ini? Dalam konteks ini, ada beberapa data dan hal terkait energi-ekonomi dan khususnya transisi energi yang dapat kita cermati.

Teknologi-Industri Energi Terbarukan: Dominasi China
Dalam hal produksi energi terbarukan, merujuk data International Energy Agency-IEA 2024, AS hingga akhir 2023 menghasilkan 1.493 Trillion Watt-hour (TWh) dari energi terbarukan. Angka ini kurang lebih sama dengan produksi energi terbarukan seluruh negara Eropa (1.492 TWh) dan dua kali lipat lebih besar dari produksi energi terbarukan Uni Eropa (692 TWh) yang selama ini di tingkat global lebih kita kenal sebagai pendukung utama transisi energi-pengembangan energi terbarukan.

Di dunia, produksi energi terbarukan AS hanya kalah dari China, yang menghasilkan 3.749 TWh. Untuk investasinya, merujuk data Rystad Energy, pada 2024 lalu AS tercatat membelanjakan modal untuk pengembangan jaringan listrik energi terbarukan sebesar 73,17 miliar dolar AS; sedikit lebih besar dibandingkan Uni Eropa (71,47 miliar dolar AS), tetapi di bawah China (101,84 miliar dolar AS).

Jadi, AS sebenarnya termasuk salah satu pemain utama di dunia untuk pengembangan energi terbarukan. Hanya, dibandingkan China, AS kalah dominan.

Dalam mata rantai penyediaannya, China saat ini menguasai lebih dari 80% manufaktur produksi listrik tenaga surya global dan lebih dari 60% untuk manufaktur listrik tenaga angin (Bloomberg-ING Research, 2024). China juga menguasai lebih dari 80% kapasitas pemrosesan lithium - ion battery yang diperlukan untuk industri dan ekosistem kendaraan listrik global (Benchmark Mineral Intelligence, 2025).

China menguasai sekitar 80% pertambangan graphite global dan lebih dari 60% pertambangan mineral jarang dan mendominasi lebih dari 90% industri hilir pengolahan untuk keduanya. China juga mendominasi 40-80 % industri hilir pengolahan untuk jenis mineral kritis lainnya seperti tembaga, lithium dan cobalt (IEA, 2024).

Sebagaimana diketahui, logam dan mineral kritis-jarang tersebut adalah bahan baku untuk industri energi terbarukan maupun industri maju lainnya seperti otomotif dan teknologi komunikasi-informasi.

Pilar Kekuatan Energi AS: Migas
Dalam hal produksi energi fosil, berdasarkan World Statistical Energy (2024), China adalah produsen batubara terbesar dunia dengan tingkat produksi mencapai 4,7 miliar juta ton per tahun (51,8% produksi dunia). Produksi batubara AS mencapai 526,5 juta ton per tahun, peringkat ketiga terbesar (5,9%), di bawah India yang produksinya mencapai 1,01 miliar ton (11,1%).

Indonesia adalah peringkat ketiga produsen batubara terbesar dunia (8,5%) dengan produksi mencapai 775,2 juta ton lebih. Beberapa negara maju dengan tingkat produksi batubara yang tergolong besar (dalam juta ton) diantaranya adalah Australia (445,8), Rusia (432,5), dan Jerman (102,3).

Untuk minyak bumi (crude oil), AS adalah produsen terbesar dunia dengan produksi mencapai 12,9 juta barel per hari (bph), mengalahkan Rusia (10,5 juta bph), Arab Saudi (9,6 juta bph), Kanada (4,9 juta bph) dan China (4,2 juta bph).

Untuk gas alam, dalam miliar meter kubik, AS dengan produksi sebesar 1.035,3 adalah produsen terbesar dunia (25,5%), disusul Rusia dengan 586,4 (14,4%), China 234,3 (5,8%), Kanada 190,3 (4,7%) dan Qatar 181,0 (4,5%). Saat ini AS adalah eksportir Liquified Natural Gas (LNG) terbesar dunia (20,8%), disusul Qatar (19,%), Australia (19,6%) dan Rusia (7,8%).

Revolusi teknologi pengembangan migas non-konvensional yang terutama dimotori AS, salah satunya melalui perekahan (fracking) batuan shale dan pemboran deep-ultra deep water telah menjadikan pasokan migas AS dan juga dunia secara teknikal menjadi relatif lebih "berkelanjutan" (jika tak bisa disebut sebagai dapat diperbarui).

Dalam hal sumber daya energi fosil, berdasarkan data Global Fire Power (2025), lima besar negara dengan cadangan terbukti batubara terbesar (dalam miliar metrik ton) beserta porsinya terhadap global adalah AS (248,9; 30,5%), Rusia (162,2; 19,9%), Australia (150,2; 18,4%), China (143,2; 17,6%) dan India (111,1; 13,6%).

Berdasarkan data World Atlas (2025), AS memiliki cadangan terbukti minyak sebesar 55,25 miliar barel, peringkat ke-9 terbesar dunia, hanya di bawah negara-negara kaya minyak - mayoritas negara Timur Tengah -, Venezuela, Kanada dan Rusia. Untuk pembanding, China tercatat memiliki sekitar 27 miliar barel cadangan terbukti minyak, Norwegia 7,6 miliar barel, Malaysia 3,6 miliar barel, Indonesia 2,3 miliar barel, Inggris 1,8 miliar barel, dan Denmark 340 juta barel.

Untuk gas alam, AS memiliki cadangan terbukti sekitar 322,2 triliun cubic feet (TCF), sekitar 4,6% dari total cadangan gas dunia dan merupakan peringkat ke-4 yang terbesar. Untuk cadangan gas alam ini, (dalam satuan TCF), AS hanya kalah dibandingan Rusia (1.688), Iran (1.183) dan Qatar (858), tetapi lebih besar dibandingkan Arab Saudi (303,2), China (184,4), Indonesia (98), dan beberapa negara maju Eropa seperti yang banyak mengandalkan gas alam seperti Norwegia (65,5) dan Belanda (27,8).

Dengan kemampuan produksi yang saat ini terbesar di dunia dan dengan penguasaan teknologi serta akses sumberdaya-cadangan migas yang juga tergolong kuat dan signifikan di tingkatan global, AS secara relatif jelas lebih berpeluang (dibandingkan China) untuk menjadi kekuatan superpower di pengembangan energi migas.

Pengurangan Emisi: Normatif-Keunggulan Komparatif
Dalam hal emisi, merujuk publikasi European Commision 2024 tentang Green House Gas (GHG) Emissions, emisi GHG AS adalah sebesar 5,96 Giga ton setara CO2. Secara nominal, itu lebih besar daripada Rusia (2,67) Uni Eropa (3,22), dan India (4,13), tetapi jauh lebih kecil dibandingkan China (15,94).

Secara prosentase, emisi GHG AS itu kurang lebih 11,3% dari porsi emisi global, sementara porsi China (30,1%), India (7,8%), Uni Eropa (6,1%) dan Rusia (5%). Angka ini kurang lebih sejalan dengan porsi emisi COs yang khusus berkaitan dengan aktivitas energi, di mana China adalah penyumbang emisi yang terbesar dengan 31,9%, disusul AS dengan 13,2%, India 8%, dan kawasan Eropa secara keseluruhan (minus Rusia dan bekas wilayah persemakmurannya) di kisaran 10,1%.

Hal ini tak lepas dari kondisi dimana sekitar lebih dari 55% konsumsi energi primer China dipenuhi dari batubara, 19% dari minyak, 9% dari gas bumi, 10% dari energi terbarukan. Untuk konsumsi energi AS, sekitar 38% dipenuhi dari minyak, 36% gas, 9% batubara, 9% nuklir dan 9% energi terbarukan.

AS mengonsumsi minyak bumi rata-rata hingga 18,9 juta bph (19,6% dari konsumsi total dunia, terbesar), disusul China dengan 16,6 juta bph (16,5%). AS juga adalah konsumen gas alam terbesar dunia (22,1%), lebih besar daripada seluruh kawasan Eropa (11,6%), Rusia (11,3%) dan China (10,1%).

Ekonomi-Politik dan Geopolitik (Transisi) Energi
Fakta bahwa di satu sisi China (dan Uni Eropa) terlihat seperti memimpin berlangsungnya transisi energi dengan mendorong pengembangan energi terbarukan, sementara di sisi lain China juga masih menjadi penyumbang emisi GHG dan CO2 energi terbesar dunia (Eropa juga termasuk besar), dan bahwa ketersediaan sumber dayanya (pengetahuan, teknologi, bahan baku) memang mereka miliki dan kuasai, menunjukkan secara cukup jelas aspek ekonomi-politik dan kecenderungan arah dari gerakan transisi energi yang selama ini berjalan.

Pengurangan emisi, meskipun di satu sisi secara teknokratis tak dapat dibantah bahwa hal itu penting dan harus dilakukan, tetap saja di sisi lain menunjukkan dimensi normatif dan politiknya bahwa hal itu hanya (akan) berjalan atau dijalankan jika sesuai dengan kepentingan dari para aktor utamanya yang memiliki kekuatan atau keunggulan komparatif untuk membuat hal itu berjalan.

Dalam hal ini, dari data dan informasi di atas, dimensi politik yang terlihat dari pola transisi energi yang berjalan selama ini adalah bahwa hal itu (juga) dilandaskan atas dasar kepentingan ekonomi para pendukung utamanya. Dari perspektif ekonomi-politik, faktor yang menjembatani ekonomi dan politik memang adalah kepentingan penguasaan atas sumber daya ekonomi berikut akses pendayagunaannya (Acemoglu, 2009).

Demikian juga halnya dengan mengapa Trump untuk saat ini memilih menarik mundur AS dari Perjanjian Ikilm Paris dengan menarasikannya sebagai sepihak-tidak adil, dan kemudian secara frontal seperti menantang arus utama transisi energi global dengan memilih untuk terus melakukan pengembangan-produksi migas secara masif, sambil dibarengi dengan melakukan tarik-ulur penerapan tarif impor. Dalam hal ini, tidak hanya dimensi ekonomi-politiknya yang didasarkan atas keunggulan komparatifnya di sektor migas yang terlihat, tetapi juga dimensi geopolitiknya.

AS sejatinya masih tetap "konsisten" dengan paradigma bakunya di dalam kebijakan hubungan internasional, dengan mengedepankan sisi normatif dari doktrin liberal internasionalism yang biasanya ditunjukannya di panggung depan, sementara di panggung belakang yang dijalankan sebenarnya adalah terus berupaya memainkan perannya sebagai "polisi dunia" yang mengatur-mendominasi.

Trump, hanya saja, sepertinya melakukannya dengan gayanya sendiri. Mungkin, dalam kalkulasinya, itu harus dilakukan dan sejatinya hanya merupakan instrumen negosiasi, karena saat ini secara relatif posisi AS terhadap China dalam berbagai bidang, termasuk di dalam transisi energi ini, sebenarnya relatif terdesak.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |