loading...
Ada tiga kebijakan kontroversial Presiden AS Donald Trump yang dianggap anti-Palestina, salah satunya proposal mengambil alih Gaza oleh AS. Foto/Qatar State Agency via Palestine Chronicle
JAKARTA - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, pada masa kepresidenan keduanya, memperkenalkan sejumlah kebijakan yang memicu kontroversi dan dianggap merugikan rakyat Palestina.
Pada masa kepresidenan pertama, Trump juga membuat sejumlah kebijakan yang merugikan Palestina. Salah satunya adalah secara sepihak mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal, Palestina menghendaki Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan mereka.
3 Kebijakan Donald Trump yang Dianggap Anti-Palestina
1. Proposal Mengambil Alih Gaza oleh AS
Pada Februari 2025, Presiden Donald Trump mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza dan memindahkan sekitar 2 juta penduduk Palestina ke negara-negara tetangga.
Dia berencana mengembangkan Gaza menjadi "Riviera Timur Tengah", bahkan tidak menutup kemungkinan penggunaan kekuatan militer untuk mencapai tujuan tersebut.
Proposal ini mendapat kecaman luas dari komunitas internasional, termasuk Sekretaris Jenderal PBB António Guterres, yang menyebut rencana tersebut sebagai bentuk "pembersihan etnis" Palestina.
2. Penangkapan Aktivis Palestina di AS
Pada Maret 2025, agen imigrasi AS menangkap Mahmoud Khalil, seorang mahasiswa pascasarjana Palestina di Universitas Columbia yang dikenal aktif dalam protes pro-Palestina.
Penangkapan ini sejalan dengan tindakan keras pemerintahan Trump terhadap aktivis anti-Israel dan memicu kecaman dari kelompok-kelompok hak sipil yang melihatnya sebagai serangan terhadap kebebasan berbicara.
3. Penghentian Bantuan AS untuk Palestina
Selain itu, Trump memutuskan untuk menghentikan bantuan finansial AS kepada Palestina, yang sebelumnya digunakan untuk mendukung program kemanusiaan dan pembangunan.
Kebijakan ini memperburuk kondisi ekonomi dan sosial di wilayah Palestina, meningkatkan ketegangan dan penderitaan rakyat Palestina.
Ketiga kebijakan tersebut menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen Amerika Serikat terhadap proses perdamaian Timur Tengah dan hak-hak rakyat Palestina.
(mas)