Airlangga Tegaskan RI Terbuka Buat Visa dan Mastercard, Tak Ada Masalah!

7 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia mengaku sudah memberikan penjelasan kepada Amerika Serikat (AS) perihal sistem Quick Response Indonesia Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Layanan sistem pembayaran itu dianggap AS sebagai bagian dari penghambat perdagangannya secara global dan ini masalah ini disorot dalam laporan USTR pada awal April lalu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pemerintah telah menegaskan bahwa sistem layanan pembayaran Indonesia terbuka dengan berbagai pihak untuk dikerjasamakan. Termasuk dengan operator sistem pembayaran kebanggaan AS, yakni Visa dan Mastercard.

"Indonesia sebetulnya terbuka untuk para operator luar negeri, termasuk Master ataupun Visa," tegas Airlangga saat konferensi pers perkembangan negosiasi tarif dengan AS, Jumat (25/4/2025).

Visa dan Mastercard, menurut Airlangga, sebetulnya bisa kerja sama dengan layanan QRIS atau GPN mulai dari layanan front-end ataupun sebatas sebagai partisipan. Oleh sebab itu, layanan sistem pembayaran itu kini sudah tidak menjadi permasalahan antar kedua negara.

"Jadi untuk sektor gateway ini, mereka terbuka untuk masuk di dalam front-end maupun berpartisipasi. Dan itu level playing field dengan yang lain. Jadi ini sebetulnya masalahnya hanya penjelasan," ungkapnya.

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) juga telah buka suara ihwal sistem pembayaran QRIS dan GPN yang dianggap pemerintah Amerika Serikat sebagai salah satu hambatan perdagangan.

Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti enggan secara spesifik mengomentari kritikan AS terhadap sistem pembayaran itu, sebagaimana tertuang dalam dokumen Foreign Trade Barriers yang dikeluarkan United States Trade Representative (USTR).

Ia hanya menegaskan bahwa sistem pembayaran tersebut selalu diterapkan pemerintah Indonesia melalui kerja sama yang setara dengan negara lain, asal sistem pembayaran masing-masing negara siap untuk terkoneksi bersama.

"Intinya, QRIS ataupun fast payment lainnya, kerjasama kita dengan negara lain itu memang sangat tergantung dari kesiapan masing-masing negara," kata Destry saat ditemui di kawasan Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (21/4/2025).

"Jadi kita tidak membeda-bedakan. Kalau Amerika siap, kita siap, kenapa enggak, gitu kan," tegasnya.

Menurut Destry, layanan sistem pembayaran asal AS juga tak ada masalah bisnis hingga saat ini di Indonesia. Kinerja Mastercard dan Visa menurutnya selalu yang tertinggi di Indonesia, meskipun Indonesia sudah punya produk GPN.

"Dan sekarang pun kartu kredit yang selalu direbutin Visa dan Mastercard kan masih juga dominan. Jadi itu enggak ada masalah sebenarnya," ungkap Destry.

Sebagaimana diketahui, dalam dokumen USTR 2025 yang keluar pada akhir Februari lalu, pemerintah AS menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.

"Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik," tulis USTR, Senin (21/4/2025).

Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing menjalin kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang berlisensi untuk melakukan pemrosesan transaksi ritel domestik melalui GPN.

Menurut USTR, BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.

Kemudian, AS juga menekankan perihal Peraturan BI No. 21/2019, Indonesia menetapkan standar nasional QR Code, disebut QRIS, atau Quick Response Indonesia Standard untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.

"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat perubahan potensial tersebut maupun diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada," papar AS dalam dokumen USTR.


(arj/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Literasi Masih Kurang, Tantangan Ekspansi Pembayaran QRIS Tap

Next Article Bukti Kelas Menengah RI Makin Susah, Terlihat dari QRIS

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |