Jakarta, CNBC Indonesia - Belakangan, banyak kreator konten yang mulai berpindah haluan dari YouTube ke platform video pendek seperti TikTok dan Instagram Reels. Format video pendek dinilai lebih mudah dibuat, lebih mudah viral, dan lebih menarik perhatian audiens.
Melihat fenomena ini, Romi, Co-Founder DroidLime, kanal Youtuber di segmen gadget, mengakui bahwa TikTok dan Reels memberikan peluang besar bagi kreator baru. Menurutnya, format video pendek kini jauh lebih diminati karena lebih cepat dikonsumsi dan tidak membutuhkan waktu khusus bagi penonton.
"Video pendek itu simpel dan cepat. Penontonnya juga banyak karena orang nggak perlu waktu khusus untuk nonton. Lagi bengong aja bisa scroll-scroll TikTok," kata Romi dalam sambungan telepon dengan CNBC Indonesia.
Secara algoritma, TikTok dinilai lebih ramah terhadap kreator pemula dibanding YouTube. Platform asal China itu disebut lebih agresif dalam mendorong distribusi video dari akun-akun baru, selama kontennya konsisten dan tidak melanggar aturan.
"TikTok ini algoritmanya memang di-set untuk bisa 'merangkul' konten-konten kreator pemula," ujar dia.
Romi menuturkan bahwa pertumbuhan penonton di TikTok terbilang jauh lebih cepat. Menurutnya, jika kreator sudah menemukan niche atau tema konten yang tepat, jumlah penonton bisa dengan mudah menembus ribuan hingga puluhan ribu secara stabil, sesuatu yang menurutnya lebih mudah dicapai bagi kreator pemula.
"Kalau di TikTok, cepat banget nyaut (penonton), bisa 3 ribu, bisa 5 ribu, bisa 10 ribu, ada yang 20 ribu gitu, yang penting sudah ketemu niche-nya sih. Dapat viewers nya juga stabil, itu yang aku pelajari sih di TikTok, akan lebih mudah untuk pemula," jelasnya.
Kendati demikian, DroidLime tetap konsisten membuat konten format panjang di YouTube. DroidLime juga turut mengunggah konten pendek di Instagram Reels dan TikTok agar relevan dengan perkembangan tren terkini.
Sementara itu, YouTuber otomotif Fitra Eri menilai perubahan tren ini sangat bergantung pada jenis konten yang digarap dan perilaku audiens di masing-masing platform.
"Tergantung. Jadi konten kreator itu kan macam-macam. Ada yang konten kreator itu kontennya lebih pas untuk video pendek. Nah, itu mungkin tidak tepat lagi bermain di Youtube. Mungkin lebih tepat bermain di Instagram atau TikTok," kata Fitra.
Menurutnya, ketika seseorang ingin membeli mobil, mereka cenderung mencari ulasan yang komprehensif, bukan sekadar potongan video 30 detik. Karena itu, YouTube masih menjadi kanal utama bagi konten otomotif.
"Kalau saya kan review mobil. Review mobil tidak bisa dibuat singkat. Karena orang ketika mau membeli mobil, mereka cenderung akan melihat review yang komprehensif, yang lengkap. Dan itu biasanya di Youtube," ujarnya.
Meski begitu, Fitra mengakui bahwa pola penonton kini memang berubah. Penonton atau viewers YouTube tidak menurun secara drastis, namun kini tersebar di berbagai platform.
"Kalau saya lihat, dulu waktu 2017 saya bisa punya 10 juta view per bulan. Saat covid sempat naik dua kali lipat jadi 20 juta, lalu setelah pandemi turun lagi ke 10 juta. Tapi sekarang bukan turun, lebih terbagi," ungkap Fitra.
Fitra mencontohkan, jika dulu 90% penontonnya berasal dari YouTube, kini sebagian pindah ke platform lain.
"Sekarang mungkin YouTube tinggal 6 juta, tapi ada 2 juta dari Instagram dan 2 juta dari TikTok. Jadi lebih terbagi platformnya aja kalau di case saya ya," jelasnya.
Ledakan Konten AI di TikTok Cs
Konten berbasis kecerdasan buatan (AI) kini membanjiri platform digital seperti TikTok, YouTube, dan Instagram. Dari video AI realistis yang meniru wajah manusia, hingga narasi otomatis yang dibuat dalam hitungan detik, teknologi ini kini mulai membanjiri lini masa pengguna.
Namun ternyata, dari kacamata konten kreator, AI juga bisa dipandang sebagai alat bantu untuk mempercepat kerja kreatif.
Romi menilai AI tidak akan menggantikan manusia sepenuhnya, selama digunakan secara etis dan proporsional.
"Untuk ancaman itu pasti ada, cuma persentasenya nggak besar. Di awal sempat khawatir, tapi setelah tahu cara pakainya, justru makin PD. AI ini bisa dijadikan alat bantu untuk berkarya," ujar Romi.
Romi mengakui bahwa saat ini, semakin banyak konten AI yang berseliweran di media sosial, terutama di TikTok dan YouTube. Mulai dari video dengan pengisi suara otomatis hingga karakter virtual yang tampak hidup. Namun, sebagian besar platform besar kini memperketat aturan terhadap konten yang sepenuhnya dibuat mesin.
"Google sendiri membatasi orang-orang untuk bisa konten cuma dengan AI, jadi kayak mereka kan punya bot yang bisa mendeteksi, jadi kalau misalkan video-videonya itu full AI, yang istilahnya effortless, nah itu tidak akan bisa ditayangin, tidak akan bisa dimonetize, begitu juga di TikTok, begitu juga di platform yang lain, termasuk YouTube," terangnya.
Sementara itu, YouTuber otomotif Fitra Eri juga menilai kehadiran AI sebagai fenomena dua sisi, sebagai ancaman dan peluang bagi ekosistem kreator digital.
"AI ini ancaman dan peluang. Buat kreator yang mungkin malu tampil di depan kamera, sekarang bisa lebih berkreasi. Mereka bisa menciptakan karakter sendiri, bisa ngomong lancar lewat AI," ujarnya.
Namun, di sisi lain, Fitra mengingatkan bahwa membanjirnya konten AI di berbagai platform membuat publik kian sulit membedakan mana informasi yang asli dan mana yang palsu.
"Ini yang ancaman untuk audiens. Karena audiens itu sekarang banyak sekali mudah termakan isu palsu dari AI. Apalagi AI sekarang sudah sangat realistis," kata Fitra.
Untuk itu, seharusnya platform seperti YouTube dan TikTok dapat memberi label.
"Kan mereka bisa mendeteksi. Kalau kita mungkin mata manusia mungkin tidak begitu bisa mendeteksi," pungkasnya.
(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Raja Aplikasi Terbaru di RI 2025, Bukan Instagram-YouTube-Facebook

13 hours ago
2
















































