Jakarta,CNBC Indonesia - Di tengah ambisi Indonesia untuk memperkuat ketahanan energi melalui pembangunan dan modernisasi kilang minyak seperti proyek RDMP Balikpapan, tren kilang minyak global justru menunjukkan sebuah pergeseran tektonik yang membentuk ulang peta energi dunia.
Terjadi sebuah divergensi besar. Di satu sisi, perusahaan-perusahaan energi raksasa di Eropa dan Amerika Utara secara sistematis melepas (divestasi) aset kilang mereka. Di sisi lain, gelombang investasi masif justru mengalir deras untuk membangun mega-kilang di Asia dan Timur Tengah.
Fenomena ini bukan sekadar siklus bisnis biasa, melainkan sebuah perubahan struktural yang didorong oleh tekanan transisi energi, pergeseran pusat permintaan global, dan strategi korporat yang saling bertolak belakang. Analisis ini akan membedah lima aspek kunci dari transformasi besar ini.
Foto: Kunjungan Kerja Menteri ESDM Arifin Tasrif ke Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Kalimantan Timur, Didampingi oleh Direktur Utama PT KPI Taufik Adityawarman, Minggu (11/8/2024). (Doc: Kementerian ESDM)
Kunjungan Kerja Menteri ESDM Arifin Tasrif ke Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Kalimantan Timur, Didampingi oleh Direktur Utama PT KPI Taufik Adityawarman, Minggu (11/8/2024). (Doc: Kementerian ESDM)
Era Divestasi di Amerika dan Eropa
Perusahaan minyak internasional (IOCs) yang berbasis di Barat, seperti Shell, BP, dan ExxonMobil, sedang gencar merampingkan portofolio mereka. Aset kilang minyak tradisional, terutama yang berlokasi di Eropa dan Amerika Utara, menjadi target utama divestasi. Shell, misalnya, memimpin tren ini dengan total penjualan aset mencapai US$71 miliar antara tahun 2015 hingga 2023.
Penyebab utama di balik gelombang divestasi ini dikarenakan oleh beberapa faktor:
-
Tekanan Iklim dan ESG
Investor dan regulator di negara-negara maju semakin menuntut perusahaan untuk mengurangi jejak karbon. Menjual aset kilang yang padat emisi adalah cara cepat untuk "menghijaukan" portofolio dan memenuhi target lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). -
Kebijakan Karbon yang Mahal
Kebijakan seperti EU Emissions Trading System (ETS) di Eropa membuat biaya operasional kilang semakin mahal. Perusahaan harus membayar untuk setiap ton karbon yang mereka emisikan, yang secara langsung menggerus margin keuntungan. -
Permintaan yang Stagnan
Permintaan bahan bakar transportasi di pasar negara maju cenderung stagnan bahkan menurun akibat peningkatan efisiensi kendaraan dan adopsi kendaraan listrik (EV). -
Fokus pada Bisnis Baru
IOCs mengalihkan modal mereka ke sektor yang dianggap memiliki pertumbuhan lebih tinggi dan margin lebih baik, seperti gas alam cair (LNG), petrokimia canggih, dan energi terbarukan.
Akibatnya, banyak kilang di Barat yang ditutup, seperti kilang Grangemouth di Skotlandia dan unit minyak mentah di Wesseling, Jerman. Sebagian lainnya dikonversi menjadi biorefinery yang memproduksi bahan bakar terbarukan, seperti yang dilakukan ENI di Livorno, Italia, dan Marathon di Martinez, California.
Siapa Pembeli Aset Warisan Barat?
Ketika IOCs menjual aset kilang mereka, pembelinya bukanlah perusahaan sejenis. Sebaliknya, aset-aset ini jatuh ke tangan kelompok pemain yang berbeda dengan motivasi yang juga berbeda. Para pembeli utama dapat dikategorikan sebagai berikut:
-
Perusahaan Energi yang Lebih Kecil atau Swasta
Banyak aset diakuisisi oleh pemain industri yang lebih kecil atau private equity. Mereka melihat peluang untuk mengoperasikan kilang dengan lebih efisien atau dengan fokus pada ceruk pasar yang tidak lagi menjadi prioritas bagi raksasa energi. -
Entitas Non-Barat
Sebagian besar portofolio yang terdivestasi, terutama di Eropa, dibeli oleh perusahaan-perusahaan yang berbasis di luar Uni Eropa. Ini termasuk national oil companies dari negara-negara produsen atau perusahaan dari pasar berkembang. -
Motivasi Pembeli
Para pembeli ini sering kali tidak tunduk pada tekanan regulasi iklim dan investor yang sama ketatnya dengan yang dihadapi IOCs.
Mereka melihat nilai komersial dalam mengoperasikan aset yang dianggap berisiko atau beremisi tinggi oleh penjualnya, sering kali dengan harga diskon. Ini menciptakan fenomena "transfer aset karbon", di mana kepemilikan aset beremisi tinggi berpindah tangan, bukan dihentikan operasinya.
Episentrum Pertumbuhan Baru di Asia
Berbanding terbalik dengan tren di Barat, Asia, Timur Tengah, dan Afrika menjadi pusat gravitasi baru bagi industri kilang global. Diperkirakan lebih dari 90% dari total kapasitas kilang baru hingga tahun 2030 akan berlokasi di kawasan ini.
Penyebab utama ledakan investasi ini adalah:
-
Pertumbuhan Permintaan Energi
Pertumbuhan populasi, urbanisasi, dan ekspansi ekonomi di negara-negara seperti China, India, dan Indonesia mendorong permintaan energi yang kuat. -
Ketahanan Energi
Banyak negara membangun kilang untuk mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar jadi, yang harganya fluktuatif. Ini adalah strategi keamanan nasional untuk menjamin pasokan energi domestik. -
Kebangkitan Petrokimia
Permintaan minyak di masa depan tidak lagi didominasi oleh bensin, melainkan oleh petrokimia-bahan baku untuk plastik, tekstil, dan berbagai produk manufaktur lainnya. Kilang-kilang baru di Asia dirancang sebagai kompleks terintegrasi yang sangat efisien untuk mengubah minyak mentah langsung menjadi bah
an kimia bernilai tinggi.
Negara-negara yang menjadi pusat pembangunan kilang baru antara lain:
-
China
Proyek-proyek raksasa seperti kilang Yulong (400.000 bph) dan berbagai ekspansi oleh Sinopec difokuskan untuk memenuhi permintaan petrokimia domestik yang sangatlah masif. -
India
Proyek ambisius seperti kompleks kilang Ratnagiri (1,2 juta bph) dibangun untuk memenuhi permintaan bahan bakar transportasi yang masih terus tumbuh. -
Timur Tengah & Afrika
Proyek seperti kilang Al-Zour di Kuwait (615.000 bph) dan kilang Dangote di Nigeria (650.000 bph) dibangun untuk memproses minyak mentah lokal menjadi produk bernilai tambah untuk pasar ekspor dan domestik. -
Indonesia
Proyek strategis seperti RDMP Balikpapan bertujuan meningkatkan kapasitas dan kompleksitas kilang untuk mengurangi impor BBM dan LPG.
Para Raksasa di Arena Investasi Asia
Ledakan investasi di Asia didalangi oleh beberapa kategori pemain besar dengan motivasi yang berbeda:
-
NOCs Produsen
Dipimpin oleh Saudi Aramco dan ADNOC (Abu Dhabi), para raksasa dari Timur Tengah ini berinvestasi secara agresif di Asia untuk "mengamankan permintaan" jangka panjang bagi minyak mentah mereka. Aramco sangat aktif di China, menanamkan miliaran dolar pada Rongsheng Petrochemical dan Hengli Group untuk mengunci kontrak pasokan. -
NOCs Konsumen
Perusahaan China seperti Sinopec berinvestasi secara masif untuk memenuhi permintaan domestik yang sangat besar akan petrokimia. Mereka terus memperluas kompleks kilang-petrokimia terintegrasi seperti di Zhenhai dan Tahe untuk memproduksi bahan kimia bernilai tinggi bagi pasar internal China. -
IOCs
Perusahaan seperti ExxonMobil tidak membangun kilang bahan bakar baru, melainkan berinvestasi secara tertarget pada proyek bernilai tinggi yang terintegrasi, dengan fokus pada petrokimia canggih. Contohnya adalah proyek di Singapura untuk memproduksi pelumas dasar dan kompleks petrokimia di Huizhou, China. -
Perusahaan Regional: Pemain seperti Pertamina (Indonesia) dan PTT (Thailand) berinvestasi dengan motivasi utama ketahanan energi nasional. Pertamina, melalui program RDMP di Balikpapan, fokus memenuhi permintaan domestik dan mengurangi impor.
Secara keseluruhan, peta energi global sedang digambar ulang. Pusat kekuatan industri kilang minyak secara definitif bergeser dari Barat ke Timur, sebuah transformasi yang akan memiliki implikasi ekonomi dan geopolitik yang mendalam untuk dekade-dekade mendatang.
-
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)