Belajar dari Krisis Nepal, Demo Menggila-Anak Muda Susah Cari Kerja

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Nepal tengah dilanda gejolak politik dan ekonomi yang berujung pada demonstrasi besar-besaran.

Pemicu awalnya adalah kebijakan pemerintah yang memblokir puluhan platform media sosial, mulai dari Facebook, Youtube, Instagram, WhatsApp, hingga X. Namun, Akar masalahnya jauh lebih mendalam, generasi muda Nepal kecewa karena sempitnya peluang kerja, ekonomi yang stagnan, dan praktik korupsi yang merajalela.

Protes yang berlangsung sejak awal September 2025 itu berujung bentrokan dengan aparat. Sedikitnya 19 orang harus kehilangan nyawa nya dan lebih dari 300 orang mengalami luka-luka. Dibawah Tekanan publik, pemerintahan Nepal pun mencabut larangan blokir media sosial, namun krisis legitimasi sudah terlanjur pecah.

Hingga Perdana Menteri KP Sharma Oli akhrinya mengundurkan diri, meninggalkan Nepal dalam ketidakpastian politik.

Dibalik demonstrasi besar ini, ada frustasi mendalam pada generasi muda Nepal yang merasa depannya suram. Minimnya peluang kerja di dalam negeri, produktivitas yang rendah, serta gagalnya pemerintah Nepal dalam menciptakan lapangan kerja yang berkualitas membuat banyak warga tak memiliki pilihan selain bekerja di sektor informal atau merantau ke luar negeri.

Dominasi Pekerjaan Informal karena Rendahnya Tingkat Pendidikan

Di Nepal, mayoritas tenaga kerja masih terserap di sektor informal demgan ebih dari 82% pekerja berada di sektor ini, menjadikannya salah satu yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.

Kondisi tersebut berimplikasi langsung pada rendahnya kualitas sumber daya manusia. Anak-anak yang lahir di Nepal saat ini diperkirakan hanya mampu mencapai sekitar 50% dari potensi produktivitasnya, akibat keterbatasan pendidikan, nutrisi, serta keterampilan kerja.

Meski pendidikan dasar di Nepal menunjukkan perkembangan positif, tantangan besar masih terlihat pada jenjang menengah. Berdasarkan data dari Nepal Education Fact Sheet 2022 yang diterbitkan oleh UNICEF, memperlihatkan tingkat penyelesaian pendidikan yang menurun di setiap jenjang.

Pada Sekolah Dasar (SD), sebagian besar anak berhasil menyelesaikan pendidikannya. Sebanyak 82% anak lulus, atau sekitar 1,45 juta anak, meskipun masih ada sekitar 319 ribu anak yang tidak menuntaskan jenjang ini.

Namun, ketika memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) angka penyelesaian menurun menjadi 73%, setara dengan 1,37 juta anak, dengan lebih dari 507 ribu anak tidak menyelesaikan pendidikan. Situasi ini menunjukkan tantangan besar dalam transisi dari pendidikan dasar ke menengah pertama.

Kondisi semakin memprihatinkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya 27% anak yang berhasil lulus, atau sekitar 532 ribu anak, sementara lebih dari 1,44 juta anak tidak menuntaskan pendidikan di jenjang ini. Hal ini menandakan adanya kesenjangan serius dalam keberlanjutan pendidikan, yang dipengaruhi faktor ekonomi, sosial, dan geografis.

Secara keseluruhan, meskipun capaian pendidikan dasar cukup tinggi, keberlanjutan hingga pendidikan menengah masih menjadi persoalan besar di Nepal. Tantangan utama terletak pada bagaimana menjaga anak-anak agar tetap bersekolah hingga tingkat menengah, sekaligus mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi yang memperparah masalah putus sekolah dan memperlebar dominasi pekerjaan informal.

Minimnya Penciptaan Lapangan Kerja

Padahal, Nepal memiliki bonus demografi besar dengan populasi muda yang akan mencapai 22 juta orang pada 2030 mendatang. Sayangnya, penciptaan lapangan kerja masih sangat terbatas.

Industri manufaktur dalam negeri yang menyusut, sektor pariwisata yang belum berkembang maksimal hingga energi hydropower yang digadang-gadang sebagai motor pertumbuhan, gagal dalam memberikan dampak bagi penciptaan lapangan kerja.

Ledakan Remintansi, Buktikan Masalah Struktural

Keterbatasan lapangan pekerjaan di dalam negeri, akhirnya mendorong masyarakat Nepal untuk harus bekerja di luar negeri.

Jumlah nya pun tak main-main, data Departemen Ketenagakerjaan Nepal mencatat lebih dari 893.000 izin kerja luar negeri di keluarkan pada tahun fiskal 2024/2025 yang merupakaan angka yang sangat besar untuk negara yang jumlah populasi nya hanya sekitar 30 juta jiwa.

Tak heran, remintansi kini menjadi penopang utama ekonomi Nepal, dengan menyumbang sekitar 33% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024, rasio ini sekaligus menjadi salah satu yang tertinggi di dunia.

Indonesia Mesti Hati-Hati

Kondisi pasar tenaga kerja Indonesia menunjukkan tren yang patut diwaspadai. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat proporsi pekerja informal meningkat dari 59,17% menjadi 59,40% pada Februari 2025, setara dengan 86,58 juta orang. Sebaliknya, proporsi pekerja formal justru menurun menjadi 40,60% atau hanya 59,19 juta orang.

Dari sisi kualitas kerja, sekitar 33,81% penduduk bekerja kurang dari 35 jam per minggu, menandakan tingginya pekerja paruh waktu, terutama perempuan. Tingkat setengah pengangguran tercatat 8%, mencerminkan masih adanya ruang besar untuk optimalisasi penyerapan tenaga kerja.

Menurut laporan Market Brief LPEM FEB UI (Mei 2025) yang ditulis Muhammad Hanri dan Nia Kurnia, lonjakan pekerja informal didorong oleh gelombang PHK yang melanda berbagai sektor. Banyak korban PHK mencari penghidupan di sektor informal atau gig economy. Platform digital seperti Gojek, Grab, ShopeeFood, hingga TikTok Shop menjadi pelarian cepat bagi mereka untuk tetap memperoleh pendapatan.

Namun, LPEM menekankan sisi ambivalen dari fenomena ini. "Di satu sisi, platform digital memberi ruang fleksibilitas dan serapan tenaga kerja pasca PHK. Namun di sisi lain, status kerja yang tidak terlindungi, jam kerja panjang, serta pendapatan fluktuatif menjadikan gig economy sebagai solusi yang sementara tapi rapuh," tulis LPEM dalam laporannya.

Lebih jauh, banyak pekerja gig tidak tercatat dalam sistem jaminan sosial dan tidak terlindungi ketika kehilangan penghasilan atau mengalami kecelakaan kerja. LPEM memperingatkan, "Jika tidak, risiko terjebaknya jutaan pekerja dalam kondisi kerja yang rentan akan terus meningkat, dan pemulihan ketenagakerjaan hanya terjadi di permukaan angka-angka."

Peringatan juga datang dari ekonom senior Raden Pardede, pendiri CReco Research Institute. Ia menegaskan, "Persoalan informality ini PR besar. Kita enggak boleh teruskan informality ini ke depan, karena dampaknya ke mana-mana." Menurutnya, pekerja informal sulit mendapat akses keuangan yang memadai, mulai dari stabilitas pendapatan hingga akses kredit formal. "Kalau informal dia umumnya aksesnya ke bank juga enggak ada, bagaimana dia mau dapat kredit yang baik? Biasanya malah dapat kredit ilegal yang bisa memeras," ujarnya.

Lebih parah lagi, menjamurnya pekerja informal berdampak pada penerimaan negara. Pekerja informal yang tidak tercatat otomatis tidak masuk dalam basis data perpajakan. "Kalau informal banyak, dampaknya juga ke penerimaan pemerintah. Pajak tidak terdata, bagaimana mau bayar pajak," tegas Raden.

Dengan tren ini, Indonesia perlu belajar dari kasus Nepal. Ketergantungan pada sektor informal bisa menjadi bom waktu sosial dan ekonomi. Tanpa regulasi ketenagakerjaan yang kokoh, penciptaan lapangan kerja formal, dan perlindungan sosial bagi pekerja gig, bonus demografi justru bisa berubah menjadi petaka.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

[email protected]

(evw/evw)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |