Bersiap! BI Ambil Keputusan Genting Pekan Ini di Tengah Badai dari AS

6 hours ago 1
  • Pasar keuangan RI pekan lalu kompak terjerembab di zona merah, IHSG anjlok nyaris 2%, rupiah koreksi, sementara obligasi dilego investor.
  • Bursa saham AS atau Wall Street mencatat koreksi sepanjang pekan lalu, meskipun ada rebound pada Jumat.
  • Pekan ini akan ada banyak sentimen yang dinanti pasar, mulai dari SULNI, neraca dagang RI, RDG BI, sampai suku bunga the Fed.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan RI sepanjang pekan lalu kompak terjerembab di zona merah. Pasar keuangan Indonesia pekan ini diperkirakan masih akan volatile karena banyaknya data ekonomi yang akan keluar, termasuk keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).

Proyeksi sentimen penggerak pasar hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Jumat kemarin (14/3/2025) ditutup anjlok 1,98% ke posisi 6.515,63.

Pelemahan harian itu membuat pergerakan sepanjang pekan lalu kembali ke zona merah sebesar 1,81%. Berbanding terbalik dengan penguatan signifikan pekan sebelumnya sebesar 5,83%.

Nilai transaksi mencapai Rp 9,11 triliun yang melibatkan 15,65 miliar saham yang berpindah tangan 1,03 juta kali. Sebanyak 205 saham menguat, 384 melemah, dan 218 stagnan

Hampir seluruh sektor berada di zona merah. Hanya konsumer primer yang hijau dengan kenaikan 0,18%. Adapun sektor teknologi ambruk paling dalam atau 7,73%.

Hal itu seiring dengan saham DCI Indonesia (DCII) yang ambruk 20% ke level 180.925. DCII menjadi laggard utama IHSG pada akhir pekan lalu yang berkontribusi atas penurunan 59.71 indeks poin.

Selain itu, saham perbankan juga masih menjadi pemberat IHSG. PT Bank Central Asia BBCA turun 2,51% menjadi 8.750 dan berkontribusi 14,64 indeks poin terhadap penurunan IHSG.

Seiring dengan penurunan IHSG, asing juga masih terpantau net sell selama seminggu terakhir mencapai Rp2,72 triliun.

Anjloknya IHSG juga terjadi setelah pemerintah mengumumkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir Februari 2025 tercatat defisit Rp31,2 triliun atau 0,13% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit per Februari ini adalah yang pertama dalam empat tahun terakhir.

Pendapatan negara hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp316,9 triliun. Komponen terbesar adalah pajak yang mencapai Rp187,8 triliun dan bea cukai Rp52,6 triliun.

Sementara itu, belanja negara dalam dua bulan pertama adalah Rp348,1 triliun atau 9,6% dari target APBN. Pemerintah pusat menghabiskan Rp211,5 triliun dan transfer daerah Rp136,6 triliun.

Defisit APBN per Februari tahun ini berbanding terbalik dengan tiga tahun sebelumnya di mana pada periode tersebut masih mencatat surplus.

Beralih ke pasar mata uang, rupiah terpantau masih melemah dalam sepekan.

Melansir Refinitiv, secara harian pada akhir pekan lalu, rupiah ditutup menguat 0,46%. Penguatan itu selaras dengan penutupan perdagangan sehari sebelumnya yang terapresiasi sebesar 0,12%.

Sayangnya, apresiasi itu belum bisa menutup zona merah selama sepakan yang kontraksi 0,34%.

Salah satu faktor pelemahan rupiah ditengarai ketidakpastian pasar akibat efek tarif Presiden AS Donald Trump.

Terbaru, Trump memberikan ancaman akan memberlakukan tarif 200% pada anggur, cognac, dan impor alkohol lainnya dari Eropa. Hal tersebut mengakibatkan pasar terguncang karena meningkatnya ketegangan perdagangan global dan adanya risiko perlambatan ekonomi yang tajam.

Di saat yang sama, Uni Eropa juga mempersiapkan rencana untuk mengenakan bea masuk terhadap wiski Amerika dan produk lainnya di bulan depan, yang dapat dianggap menjadi respon balik terhadap tarif 25% Trump pada impor baja dan aluminium yang mulai berlaku awal pekan ini.

Di sisi lain, harapan akan gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia juga semakin memudar. Moskow menyatakan mendukung proposal AS, tetapi menegaskan bahwa rancangan tersebut membutuhkan banyak revisi sebelum dapat disepakati.

Lebih lanjut, terdapat potensi resesi di AS yang semakin nyata. Alarm baru perlambatan kini muncul, bahkan peluangnya bisa 50%.

Kebijakan perdagangan Trump akan semakin merusak pertumbuhan ekonomi AS. Bahkan, langkah-langkahnya bisa meningkatkan risiko resesi tahun ini.

Beralih lagi ke pasar obligasi, selama sepekan ini terpantau semakin di lego investor.

Merujuk data Refinitiv, selama seminggu terakhir yield obligasi tenor 10 tahun mengalami kenaikan 11,2 basis poin (bps) atau 1,63% ke posisi 6,98%.

Sebagai catatan, pergerakan yield dan harga itu berbanding terbalik pada pasar obligasi. Jadi, dengan yield yang semakin naik menunjukkan harga semakin turun atau sedang di jual oleh investor.

Kami lihat penurunan harga itu seiring dengan sentimen dari Goldman Sachs yang menurunkan peringkat obligasi negara tenor 10 dan 20 tahun menjadi netral.

Pages

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |