Bumi Panas Mendidih-RI di Titik Kritis, Kepala BMKG Minta Lakukan Ini

8 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Kepala Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan, Indonesia kini berada di titik kritis dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Perubahan iklim yang semakin ekstrem, kata dia, memicu krisis air dan ketahanan pangan di Indonesia.

Hal itu disampaikannya dalam Talkshow Kongres Gerakan Restorasi Sungai Indonesia (GRSI) dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia (GMHI) 2025, Rabu (7/5/2025).

Dwikorita memaparkan bagaimana suhu bumi terus mengalami peningkatan. Bahkan, dalam kesempatan lain, Dwikorita mengatakan, tahun 2024 resmi menjadi tahun terpanas dalam sejarah pencatatan instrumental.

Suhu rata-rata global mencapai 1,55°C di atas tingkat pra-industri, melampaui batas ambang Perjanjian Paris yang telah disepakati secara global untuk mencegah krisis iklim.

"Kenaikan suhu rata-rata yang tercatat pada 2024 sebesar 27,52°C, dengan anomali suhu tahunan mencapai +0,81°C dibandingkan periode normal, menunjukkan adanya tren pemanasan global yang mengkhawatirkan," katanya dalam keterangan di situs resmi, dikutip Jumat (9/5/2025).

Indonesia, sambungnya, juga mengalami peningkatan suhu udara. Di mana, sebagian besar wilayah di RI mengalami suhu yang hampir selalu berada di atas persentil ke-95 sepanjang tahun. Artinya, suhu lebih tinggi dari 95% hari lainnya sepanjang tahun.

"Kenaikan suhu ini tidak hanya terjadi di satu wilayah, tetapi merata di seluruh Indonesia, dan berdampak besar terhadap ketersediaan air permukaan maupun air tanah," ujar Dwikorita.

Tren ini, menurut Dwikorita, berpotensi memperburuk dampak perubahan iklim, yang akan semakin terlihat dalam bentuk cuaca ekstrem, baik berupa banjir maupun kekeringan.

"Perubahan suhu yang semakin tinggi dan cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan kekeringan, mempengaruhi berbagai sektor, termasuk ketahanan air dan pangan," tambahnya.

"Masalah besar yang kita hadapi adalah ketimpangan antara pasokan air yang berlimpah saat musim hujan, namun langka ketika dibutuhkan di musim kemarau," ucap Dwikorita.

2 Solusi BMKG Hadapi Petaka Perubahan Iklim Ekstrem

Lantas, apa yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi malapetaka yang ditimbulkan kondisi tersebut?

Kata Dwikorita, ada dua solusi utama sebagai respons terhadap krisis air yang semakin memburuk. Yaitu, restorasi sungai dan pemanenan air hujan.

"Kedua solusi ini harus dilaksanakan secara terkoordinasi dan berbasis pada data ilmiah yang akurat. Tanpa adanya upaya yang serius dan terencana dalam mengelola sumber daya air, dampak perubahan iklim akan semakin dirasakan oleh masyarakat. Terutama mereka yang tinggal di wilayah-wilayah yang sudah mengalami kekurangan air bersih," tegasnya mengingatkan.

"Restorasi sungai dapat memperbaiki ekosistem sungai yang rusak, yang pada gilirannya akan meningkatkan kapasitas sungai untuk menampung dan mengalirkan air dengan lebih baik. Sementara, pemanenan air hujan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengatasi krisis air, terutama di daerah-daerah yang rawan kekeringan. Dengan pemanenan air hujan, kita dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya air permukaan yang semakin terbatas akibat perubahan iklim," tambah Dwikorita menjelaskan.

Dalam hal ini, ujarnya, BMKG berperan menyediakan informasi iklim yang akurat serta prediksi curah hujan untuk mendukung perencanaan restorasi sungai dan pemanenan air hujan yang lebih efektif.

"BMKG terus bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah dan sektor swasta, untuk menyediakan data yang dapat digunakan dalam merencanakan dan melaksanakan program-program ketahanan air," ucapnya.

"BMKG juga aktif menyediakan sistem peringatan dini terkait perubahan iklim ekstrem, seperti kekeringan dan curah hujan yang tinggi. Dengan informasi yang tepat waktu, masyarakat dan pemerintah diharapkan dapat lebih siap menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang berpotensi merusak infrastruktur, pertanian, dan ekosistem sungai," paparnya.

Salah satunya, pengembangan Sistem Informasi Hidrologi dan Hidroklimatologi untuk Wilayah Sungai (SIH3), yang dirancang untuk memberikan data dan informasi yang lebih luas mengenai kondisi iklim dan hidrologi di seluruh wilayah sungai Indonesia.

"Melalui SIH3, kami dapat memberikan peringatan dini terkait potensi kekeringan, serta memberikan informasi terkait waktu yang tepat untuk melakukan restorasi sungai dan panen air hujan," katanya.

"Perubahan iklim bukan hanya masalah jangka pendek, melainkan tantangan besar yang harus dihadapi dengan pendekatan jangka panjang," ujar Dwikorita.

Karena itu, sebutnya, perlu strategi pengelolaan air yang lebih cerdas dan adaptif, yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Menurutnya, Gerakan Restorasi Sungai Indonesia dan Gerakan Pemanenan Air Hujan Indonesia adalah dua langkah konkret yang harus segera diterapkan untuk memastikan ketersediaan air di masa depan, baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk mendukung ketahanan pangan.

Sebelumnya, Dwikorita mengingatkan, perubahan suhu yang terjadi saat ini jauh lebih cepat dibanding perubahan iklim yang pernah menyebabkan kepunahan massal jutaan tahun lalu.

"Percepatan ini menjadi indikator serius akan krisis iklim yang tengah berlangsung. Tanpa upaya mitigasi yang kuat dan kolaboratif, perubahan suhu yang ekstrem ini berpotensi membawa dampak besar terhadap stabilitas ekosistem, ketahanan pangan, serta keselamatan umat manusia di berbagai belahan dunia," serunya.

"Ini bukan hanya soal cuaca panas. Ini adalah tanda bahwa kita sedang bergerak menuju titik kritis yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia," kata Dwikorita.


(dce/dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: India Putus Aliran Air Pakistan - Duniatex Bangkit Dari Kubur

Next Article Video: Alasan Warga RI Disebut "Kurang" Sadar Ancaman Cuaca Ekstrem

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |