Jakarta, CNBC Indonesia - Isu gender pay gap atau kesenjangan upah berbasis gender kerap dihiraukan. Padahal, kesenjangan tersebut nyata adanya.
Laporan The Economist mengungkap bahwa di antara negara-negara OECD, klub yang sebagian besar beranggotakan negara-negara kaya, kesenjangan upah median berbasis gender masih tertahan di angka 11,4%. Angka tersebut naik dari angka terendah 11,1% pada 2020.
Ini artinya, rata-rata pekerja perempuan menerima gaji 11,4% lebih rendah dibanding pekerja laki-laki.
Sejumlah negara telah menerbitkan peraturan demi menghapuskan diskriminasi tersebut, meski demikian kesenjangan upah tetap ada, bahkan di sejumlah negara, seperti Jepang dan Australia, kondisinya makin buruk.
Salah satu alasan yang membuat kesenjangan upah berbasis gender memburuk adalah pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu. Pekerja perempuan lebih rentan jadi korban PHK atau resign secara sukarela untuk mengurus anak-anak mereka.
Sebuah buku baru-baru ini berpendapat bahwa perempuan terus tersingkir dari sektor yang menawarkan gaji tinggi seperti teknologi.
Tiga profesor hukum Amerika, Naomi Cahn, June Carbone dan Nancy Levit, dalam bukunya "Fair Shake" mengatakan jam kerja yang berlebihan membuat wanita enggan memasuki bidang tertentu dan menekan mereka yang melakukannya.
Di banyak firma, budaya "turnamen" di mana para pekerja berjuang untuk mendapatkan bonus lebih menguntungkan pria.
Sebagai contoh, proporsi wanita dengan gelar ilmu komputer mencapai puncaknya pada 1986; namun saat ini wanita dua kali lebih mungkin meninggalkan industri teknologi daripada pria. Kejantanan di Sillicon Valley sama sekali tidak dapat dihindari.
Studi juga menemukan bahwa ketika wanita memasuki bidang yang didominasi pria, upah cenderung turun. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja mereka secara sistematis diremehkan.
Pelecehan seksual juga masih marak di sektor yang didominasi pria. Tak heran ada laporan yang menyebut bahwa perempuan lebih mungkin beralih ke pekerjaan bergaji rendah.
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini: