Jakarta, CNBC Indonesia - Kepercayaan publik terhadap industri asuransi sempat goyah setelah serangkaian kasus gagal bayar mengguncang pasar keuangan nasional. Kini, pemerintah bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan industri berpacu membangun kembali citra asuransi.
Berkaca ke belakang, letusan kasus asuransi terjadi pada medio tahun 2019-2022. Sebut saja, Wanaartha Life yang kerugian nasabahnya ditaksir mencapai Rp15 triliun, AJB Bumiputera 1912 yang menunggak klaim hingga Rp5,3 triliun, hingga gagal bayar Kresna Life yang ditaksir mencapai Rp6,4 triliun.
Salah satu kasus yang telah masuk ke tahap resolusi menyangkut asuransi pelat merah, yaitu Jiwasraya. Menurut catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus mega korupsi tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga Rp16,8 triliun.
Eks nasabah Jiwasraya kini telah menerima kembali sebagian hartanya melalui program restrukturisasi polis yang digagas pemerintah dan diawasi OJK. Kini, salah satu perusahaan keuangan tertua di Indonesia tersebut telah mengalihkan 99,9% polis bermasalahnya ke asuransi IFG Life.
Indah (62) menjadi satu dari ribuan nasabah produk JS Saving Plan Jiwasraya yang mengikuti program restrukturisasi tersebut. Dirinya mendaftarkan diri setelah polisnya sebesar Rp600 juta macet tak terbayarkan pada 2019 lalu.
Indah adalah seorang ibu, Ia sengaja menaruh dana tersebut di asuransi demi bisa membiayai pengobatan anaknya. Meski tak kembali utuh, Indah dijanjikan pembayaran berkala selama lima tahun, dengan nilai pengembalian sebesar Rp360 juta. Usai menanti panjang, kini cicilan pembayaran polisnya sudah masuk tahun keempat.
"Kan harusnya (polis) jatuh temponya 2019 ya. Sampai 2022 baru cair (cicilan) yang pertama," ucap perempuan pengusaha ini saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin, (29/10/2025).
Selain langkah kuratif, OJK juga melaksanakan strategi preventif agar kedepan tidak terjadi kasus serupa. Hal ini sejalan dengan pasal 6 UU No. 21 tahun 2011, dimana tugas utama dari OJK adalah melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap salah satunya kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian.
Transformasi Ekosistem Asuransi
Untuk memperbaiki pondasi industri asuransi yang sempat goyah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Perasuransian Indonesia 2023-2027. Peta jalan ini membawa visi besar: Terwujudnya Industri Asuransi yang Sehat, Efisien, dan Berintegritas, Memperkuat Perlindungan Konsumen dan Masyarakat, Serta Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Melalui Pendalaman Pasar, Peningkatan Inklusi, dan Stabilitas Keuangan.
Dalam peluncurannya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, menyebut peta jalan tersebut sejalan dengan semangat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Tujuannya jelas: memperkuat pengawasan dan regulasi agar industri tak lagi rapuh menghadapi tantangan.
Pada fase pertama yang berlangsung 2023-2024, OJK menargetkan perbaikan dan penguatan pondasi industri. Dari periode itu, lahir beragam aturan baru, mulai dari Peraturan OJK (POJK) hingga Surat Edaran (SE), yang menjadi pijakan awal menata kembali arah perjalanan industri asuransi.
"Dari UU PPSK di tahun 2023 saja, OJK tengah menyiapkan 9 POJK yang terkait asuransi, 4 POJK sudah dikeluarkan 5 sedang disiapkan dan mudah-mudahan selesai sebelum 2023. Dan di tahun 2024 ada POJK turunan," sambut Ogi dalam peluncuran roadmap tersebut di Jakarta, Oktober 2023 silam.
Aturan kerap kali berpijak pada rumusan masalah. Berkaca dari kasus-kasus asuransi, banyak permasalahan lahir dari kurangnya tata kelola yang baik terhadap penempatan investasi. Sebut saja Jiwasraya, perusahaan ini terpaksa gagal bayar karena investasinya 'nyangkut' pada saham tier 3 dan reksa dana yang berkinerja buruk.
Dari segi porsi investasi sendiri, pada tahun 2023 OJK telah membatasi penempatan investasi asuransi melalui POJK no. 5 tahun 2023 tentang kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, dan POJK 6 tahun 2023 untuk asuransi syariah.
Salah satu perubahan mendasar yang diterapkan adalah penyesuaian ketentuan batasan maksimum investasi dengan pihak terkait paling tinggi 10% dari hasil penjumlahan ekuitas dan pinjaman subordinasi, sementara pada pihak yang bukan pihak terkait paling tinggi 25% dari total investasi yang bersumber selain subdana.
Di sisi lain, modal yang kuat juga menjadi pondasi bagi industri untuk bertahan. Untuk itu, OJK meluncurkan POJK no. 23 tahun 2023 yang mewajibkan perusahaan asuransi memiliki ekuitas minimum sebesar Rp250 miliar dan perusahaan asuransi syariah Rp100 miliar. Ekuitas minimum itu harus dipenuhi setiap entitas paling lambat 31 Desember 2026.
"Terkait penegakkan ketentuan pemenuhan ekuitas tahap 1, per Agustus 2025, telah terdapat 109 perusahaan asuransi dan reasuransi dari 144 perusahaan yang telah memenuhi jumlah minimum ekuitas 2026. Hal ini setara 75,96% dari total jumlah perusahaan," kata Ogi dalam Konferensi Pers Hasil RDKB, Kamis, (9/10/2025).
Nantinya, kebijakan ekuitas asuransi minimum tersebut akan diteruskan bertahap hingga akhir tahun 2028. Pada tahun 2028, akan dilakukan klasifikasi perusahaan asuransi menjadi KPPE Ekuitas 1 dan KPPE Ekuitas 2.
Peta jalan tersebut juga mengamanatkan OJK untuk membentuk sistem yang bisa mendeteksi pelaku kejahatan keuangan melalui fraud database. Inisiatif ini pun direalisasikan melalui peluncuran POJK No. 28 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Informasi Rekam Jejak Pelaku Melalui Sistem Informasi Pelaku di Sektor Jasa Keuangan (POJK SIPELAKU).
Saat peluncuran, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menjelaskan, fraud database tersebut berbasis situs web. Perusahaan asuransi bisa mengakses seluruh informasi mengenai profil pelaku, riwayat pekerjaan, hingga riwayat fraud untuk mencegah terjadinya fraud oleh oknum tak bertanggung jawab.
"Tujuan diluncurkannya SIPELAKU, yaitu untuk mencegah terjadinya fraud dan kejahatan keuangan di SJK dengan meminimalisir kerugian dari fraud itu sendiri," tegas Mahendra dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/2/2025).
Tak sampai di situ, OJK juga menata aturan terkait asuransi unitlink. Sebelumnya, produk ini sempat menuai kontroversi lantaran banyak masyarakat yang merasa uangnya 'raib' di asuransi. Padahal, tanpa sepengetahuan mereka, polisnya tercatat sebagai Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi (PAYDI). Sehingga, ketika instrumen investasinya turun, nilai manfaat yang diterima juga terkikis.
Berangkat dari kesalahpahaman tersebut, OJK merancang Surat Edaran (SE) OJK nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang PAYDI sebagai langkah perlindungan konsumen. Regulasi ini memperketat Standar Operasional Prosedur (SOP) agar agen asuransi memastikan konsumen paham betul tentang manfaat dan risiko atas produk unitlink yang mereka beli.
Selain aturan di atas, masih banyak regulasi yang membersamai proses transformasi industri asuransi tanah air. Begitu pula dengan sejumlah rancangan aturan yang menandakan bahwa semangat perbaikan belum padam. Industri pun mulai berbenah demi memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat Indonesia.
Pulih Perlahan
Gayung bersambut, sinergi antara regulator dan industri mulai menampakkan hasil. Ketua Dewan Asuransi Indonesia (DAI) Yulius Bhayangkara menilai, kebijakan OJK perlahan mendorong peningkatan tata kelola dan penguatan manajemen risiko di tubuh pelaku industri.
"Dengan ketentuan modal minimum dan tata kelola produk yang lebih prudent, potensi terulangnya kasus seperti kasus Jiwasraya atau Asabri dapat diminimalkan secara sistematis. Kasus-kasus di masa lalu menjadi pembelajaran berharga bahwa ketahanan permodalan, integritas pengelolaan investasi, dan transparansi kepada nasabah merupakan kunci keberlanjutan industri," kata Yulius kepada CNBC Indonesia, Kamis, (23/10/2025).
Meski demikian, Yulius mengakui, langkah ini memang membutuhkan waktu dan penyesuaian strategis, khususnya bagi perusahaan dengan kapasitas modal terbatas. Untuk itu, DAI sebagai wadah asosiasi-asosiasi asuransi, melakukan kolaborasi erat dengan OJK untuk memastikan transisi regulasi berjalan seimbang antara kepentingan konsumen dan keberlangsungan usaha.
Selain itu, DAI juga menilai peran aktif OJK dalam melakukan pengawasan khusus dan membangun sistem peringatan dini (early warning system) sangat penting. Dengan pendekatan pengawasan berbasis risiko dan teknologi, potensi permasalahan di industri dapat terdeteksi lebih awal, sehingga langkah mitigasi dapat dilakukan sebelum berkembang menjadi krisis sistemik.
"DAI optimistis bahwa arah kebijakan OJK sebagaimana tertuang dalam Roadmap Industri Asuransi 2023-2027 akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi nasional, serta membangun ekosistem yang lebih transparan, resilien, dan berdaya saing global," pungkas Yulius.
Seiring dengan dukungan berbagai pihak, kepercayaan masyarakat pun mulai pulih perlahan. Hal ini bisa terlihat dari peningkatan penetrasi dan densitas asuransi kuartal ketiga 2024.
Menurut data OJK, tingkat densitas asuransi per September 2024 tercatat sebesar Rp2,08 juta dan penetrasi asuransi berada di kisaran 2,8%. Angka tersebut lebih baik dibanding akhir 2023 yakni densitas sebesar Rp1,94 juta dan penetrasi sebesar 2,59%.
Ke depan, OJK menargetkan penetrasi asuransi bisa mencapai 3,2% di tahun 2027 mendatang. Sementara densitas asuransi diharapkan dapat menyentuh angka Rp2,4 juta di periode yang sama. Dengan demikian, asuransi tak hanya berfungsi menjadi jaring pengaman risiko masyarakat, namun juga berkontribusi aktif dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
(Mentari Puspadini/fsd)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3
















































