India-Pakistan Saling Tembak, Akankah Krisis Jadi Perang Nuklir?

8 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

India melancarkan serangan ke Pakistan pada Rabu di wilayah Kashmir. Mereka sebut sebagai aksi pembalasan terhadap tewasnya 26 turis India di kota wisata Pahalgam. India mengklaim serangan itu dilakukan dengan motif agama oleh kelompok milisi Kashmir Lashkar-e-Taiba dan Jaish-e-Mohammad yang didukung dan didanai oleh pemerintah Pakistan. Namun tuduhan tersebut telah dibantah oleh Islamabad.

Akibat serangan ini, otoritas Pakistan menyebut 31 warganya tewas, termasuk anak-anak dan remaja. Sedangkan New Delhi mengklaim bahwa 12 warganya di wilayah Kashmir (yang dikuasai India) tewas akibat penembakan oleh pasukan Pakistan dari seberang perbatasan. Di sela-sela itu, Menteri Pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif, mengklaim telah menembak jatuh lima pesawat tempur India, termasuk tiga jet Rafale, jenis pesawat yang menjadi aset militer andalan India yang dibeli dari Prancis dalam beberapa tahun terakhir. Sumber keamanan di Pakistan mengatakan sebanyak 125 pesawat tempur dilaporkan terlibat dalam pertempuran selama lebih dari satu jam, walaupun kedua pihak tidak melintasi wilayah udara satu sama lain.

Pertempuran udara antara jet tempur Pakistan dan India itu pun disebut-sebut sebagai salah satu yang terbesar dan terpanjang dalam sejarah penerbangan modern. Pertanyaannya adalah sejauh mana perang antara India dan Pakistan akan berubah menjadi perang nuklir?

India dan Pakistan, yang sama-sama memiliki senjata nuklir, telah terlibat dalam konflik berkepanjangan dalam isu Kashmir sejak tahun 1947. Menurut Center for Arms Control and Non-Proliferation, India menjadi negara berkekuatan nuklir pada 1974, sementara Pakistan menyusul pada 1998.

Meski kedua negara belum pernah menggunakan senjata nuklir dalam konflik, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa krisis yang terus berlangsung dapat berkembang melampaui penggunaan senjata konvensional.

Tidak ada angka pasti berapa hulu ledak nuklir yang dimiliki oleh dua negara bertetangga ini. Namun, India diperkirakan memiliki sekitar 164 hulu ledak nuklir yang memiliki kemampuan peluncuran dari darat, laut, maupun udara.

Di sisi lain, Pakistan diperkirakan memiliki sekitar 170 hulu ledak nuklir. Jumlah ini melampaui proyeksi Badan Intelijen Pertahanan AS pada 1999 yang memperkirakan Pakistan hanya memiliki 60-80 hulu ledak pada 2020.

Jika tren ini terus berlanjut, Pakistan diperkirakan dapat memiliki antara 220 hingga 250 hulu ledak pada 2025.

Kedua negara pun memiliki kebijakan masing-masing dalam aturan nuklirnya. India mengadopsi doktrin No First Use dalam nuklirnya.

Artinya, negara itu tidak akan menjadi pihak pertama yang menggunakan senjata nuklir dalam konflik. Mereka baru meluncurkan nuklir jika diserang terlebih dahulu.

Namun, pada Agustus 2019, pemerintah India menyampaikan kemungkinan untuk meninjau ulang kebijakan tersebut, menurut Center for Arms Control and Non-Proliferation.

Sebaliknya, Pakistan menolak untuk mengadopsi doktrin No First Use. Islamabad akan meluncurkan senjata nuklir bahkan jika pihak lain tidak menggunakan senjata tersebut terlebih dahulu.

Dalam konteks geopolitik yang lebih luas, China secara umum menganut NFU sejak 1964. Rusia, yang diyakini memiliki 4.000 hulu ledak nuklir, menganut NFU, tapi telah mencabut doktrin itu pada 1993. Terlebih paska perang melawan Ukraina yang didukung negara-negara NATO.

Sementara itu, Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Pakistan, Korea Utara, dan Israel juga tidak menganut konsep NFU.

Namun perlu dicatat. Menurut Professor L. Ali Khan dari Washburn University School of Law AS, kebijakan NFU bukanlah kewajiban hukum, melainkan hanya sikap moral sepihak yang dapat ditinggalkan India kapan saja.

Hal ini terjadi karena India memiliki sengketa perbatasan dengan dua negara berkekuatan nuklir, Pakistan dan China, kebijakan NFU ini lebih melindungi kepentingan India karena mengurangi tekanan bagi China untuk menyerang India.

Sebaliknya, Pakistan tidak mungkin meninggalkan kebijakan First Use karena Islamabad merasa tidak mampu memenangkan perang konvensional dengan India.

India dan Pakistan memiliki perbedaan besar dalam kekuatan militer dan ekonomi. India, sebagai salah satu negara ekonomi terbesar di dunia, punya anggaran militer sekitar $75 miliar per tahun, sedangkan Pakistan hanya $7 miliar.

Menurut catatan Global Firepower, India juga unggul dalam jumlah tentara, pesawat tempur, tank, kapal laut, dan kapal selam. Cadangan devisa India mencapai $627 miliar, jauh di atas Pakistan yang hanya $13 miliar. Jika terjadi perang konvensional, India lebih mampu bertahan lama dibandingkan Pakistan.

Lalu akankah konflik Kashmir ini akan berubah menjadi perang nuklir?

Sebagai catatan, Kashmir, sebuah wilayah Himalaya dengan mayoritas Muslim, dikuasai oleh India dan Pakistan dalam bagian-bagian tertentu dan diklaim oleh keduanya secara keseluruhan. Sebuah bagian kecil dari Kashmir juga dikuasai oleh China.

Sejak keduanya dipisahkan pada tahun 1947, New Delhi dan Islamabad telah berperang tiga kali - pada tahun 1948, 1965, dan 1971 - dua di antaranya terkait dengan Kashmir.

Pada 1999, India dan Pakistan pernah terlibat perang Kargil. Ini merupakan konflik bersenjata antara India dan Pakistan yang terjadi di distrik Kargil, Kashmir, antara Mei dan Juli 1999.

Perang terjadi hanya beberapa bulan setelah Perdana Menteri India saat itu Atal Bihari dan PM Pakistan, Nawaz Sharif, menandatangani perjanjian damai.

Konflik ini terjadi karena infiltrasi pasukan Pakistan dan kelompok Kashmir ke wilayah India di sepanjang Garis Kontrol (Line of Control) - batas de facto yang membagi Kashmir antara wilayah yang dikelola India dan Pakistan.

Namun, mantan Presiden AS Bill Clinton berhasil menekan Nawaz Sharif, untuk menarik pasukan Pakistan, dengan ancaman isolasi internasional.

Perang selama 10 pekan itu telah mengakibatkan hampir 1.000 tentara dan pejuang tewas di kedua sisi. Pada saat itu, mediasi pihak ketiga telah memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan India-Pakistan.

Sejak itu, hubungan India-Pakistan pada pertengahan 2000-an hingga serangan Mumbai 2008 yang menewaskan lebih dari 160 orang dan 300 orang terluka. AS dan India kemudian mengait-ngaitkan serangan kompleks tersebut dengan Lashkar-e-Taiba yang bermarkas di Pakistan.

Hubungan India dan Pakistan kembali panas pasca serangan itu. Namun demikian, ketegangan itu lagi-lagi tidak memunculkan perang antara kedua negara.

Konflik antara kedua negara kembali memanas pada 2019. Setelah serangan milisi di Pulwama yang menewaskan lebih dari 40 tentara India, India melancarkan serangan udara ke Balakot, wilayah Pakistan. Pakistan membalas dengan serangan udara. Ketegangan ini memuncak hampir menjadi perang terbuka, tetapi kedua negara berhasil meredakan ketegangan berkat tekanan internasional dan upaya diplomasi.

Berdasarkan catatan-catatan historis tersebut, tak dipungkiri konflik antara Pakistan dan India terus mewarnai eskalasi di kawasan Asia Selatan.

Meski telah terlibat perang terbuka yang menewaskan pasukan kedua belah pihak, penggunaan senjata nuklir sejauh ini belum menjadi opsi kedua negara mengingat resiko besar yang harus ditanggung, di samping kuatnya tekanan internasional yang dapat meredakan ketegangan.


(sef)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |