Jakarta, CNBC Indonesia - Kematian Hisashi Ouchi menjadi salah satu kisah paling tragis dan mengerikan dalam sejarah kecelakaan nuklir. Insiden yang menimpanya bukanlah sebuah kecelakaan besar yang merenggut nyawa banyak orang, melainkan penderitaan pribadi yang tak terbayangkan akibat paparan radiasi yang mematikan.
Pada 30 September 1999, Hisashi Ouchi, seorang teknisi di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Tokaimura, Jepang, sedang menjalani tugas rutin yang seharusnya tidak berisiko tinggi. Bersama dua rekannya, ia bertugas untuk memurnikan uranium oksida.
Namun, sebuah kesalahan prosedural yang fatal mengubah hari itu menjadi sebuah malapetaka. Mereka tidak mengikuti protokol yang telah ditetapkan dan menambahkan terlalu banyak uranium ke dalam sebuah tangki.
Kesalahan kecil ini memicu reaksi berantai nuklir yang tidak terkendali. Campuran uranium tersebut mencapai titik kritis, dan secara instan, pancaran radiasi neutron serta sinar gamma yang sangat kuat menyebar ke seluruh ruangan.
Meskipun 119 staf lainnya terkena paparan radiasi berbahaya, Hisashi Ouchi menjadi korban utama yang menanggung dampak paling parah. Ia berada paling dekat dengan sumber ledakan radiasi, dan tubuhnya menyerap dosis yang luar biasa.
Paparan radiasi yang diterima oleh Ouchi diperkirakan mencapai 17 Sievert (Sv). Dosis ini jauh melampaui batas toleransi tubuh manusia. Sebagai perbandingan, dosis paparan radiasi 5 Sievert sudah dianggap fatal. Radiasi yang diserapnya begitu intensif sehingga berdampak langsung pada tubuhnya, memulai proses kehancuran seluler yang tak terhindarkan.
Segera setelah insiden itu, Ouchi dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya langsung menjadi perhatian utama para dokter. Radiasi telah merusak sel-sel tubuhnya secara masif, bahkan menghancurkan kromosom-kromosomnya. Secara fisik, kulitnya mulai meleleh, sebuah gambaran mengerikan yang menunjukkan seberapa parahnya kerusakan yang ia alami. Namun, penderitaannya tidak berhenti di situ.
Meskipun Ouchi secara fisik masih hidup, ia mengalami penderitaan yang luar biasa. Selama dirawat di rumah sakit, ia berjuang melawan rasa sakit yang tak terlukiskan. Sel-sel tubuhnya terus mati, dan para dokter berupaya keras untuk mempertahankan hidupnya.
Hisashi Ouchi bahkan sempat memohon kepada para dokter untuk membiarkannya pergi, mengakhiri penderitaannya yang tak ada habisnya. Namun, permohonannya tidak dikabulkan.
Keputusan untuk mempertahankan hidup Ouchi diambil oleh para dokter dan peneliti. Mereka melihat kasus Ouchi sebagai kesempatan yang langka, meski kejam, untuk mempelajari efek radiasi nuklir pada tubuh manusia secara langsung. Selama 83 hari, Ouchi menjadi subjek penelitian, di mana para dokter melakukan berbagai upaya untuk menjaga organ-organnya tetap berfungsi, meskipun tubuhnya sendiri telah menyerah.
Upaya-upaya medis tersebut, yang melibatkan transfusi darah berulang dan perawatan intensif, hanya memperpanjang penderitaannya. Tubuhnya terus mengalami kegagalan fungsi.
Meskipun para dokter berhasil membuatnya bertahan hidup lebih lama dari yang seharusnya, tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk mengembalikan kondisi tubuhnya yang telah hancur total. Setelah 83 hari menjalani penderitaan yang tak berkesudahan, Hisashi Ouchi akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Ia meninggal pada tanggal 21 Desember 1999, akibat kegagalan multi-organ.
Kisah Hisashi Ouchi tidak hanya menjadi catatan hitam dalam sejarah kecelakaan nuklir, tetapi juga menjadi pengingat etis yang penting bagi dunia medis dan ilmu pengetahuan. Penderitaannya yang digunakan sebagai subjek penelitian tanpa persetujuannya menimbulkan pertanyaan moral tentang batas-batas ilmu pengetahuan dan hak asasi manusia.
Kisahnya menegaskan betapa pentingnya protokol keselamatan dan bagaimana sebuah kesalahan kecil dalam penanganan material berbahaya dapat berujung pada konsekuensi yang paling mengerikan.
(tps/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Serangan Susulan Muncul Usai Ledakan di Pelabuhan Terbesar