Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sebuah entitas korporasi nasional yang dikelola oleh dewan pejabat tinggi negara; mengelola aset bernilai triliunan dolar di dalam negeri; mengawasi seluruh kepulauan dan masyarakatnya; melakukan merger atas perintah negara; dan memegang monopoli tidak resmi di berbagai sektor penting.
Entitas yang dimaksud ini adalah kekuatan kolonial Belanda, VOC. Perusahaan Hindia Timur Belanda mungkin telah runtuh puluhan tahun lalu, namun
warisannya masih membekas di masyarakat Indonesia sebagai penjajah kekayaan bangsa dan pelaku kebijakan perburuhan yang tidak adil (bahkan perbudakan).
Pada masa awal VOC, setiap muatan rempah-rempah dan komoditas lain dijual untuk mendanai pelayaran berikutnya. Namun, dengan meningkatnya persaingan-baik dari sisi perdagangan maupun militer-dengan kapal dagang Portugis, Belanda akhirnya menyetujui intervensi militer untuk melindungi kapal dagangnya.
Kebijakan ini berkembang menjadi strategi "perdagangan dengan senjata" pada tahun 1617, di mana pemerintah Belanda menanggung semua biaya militer VOC-memberi cek kosong kepada Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen. Inilah awal dari persaingan militer yang disponsori negara yang mengubah perusahaan dagang damai menjadi kendaraan penaklukan. Perusahaan dagang yang semula merupakan usaha komersial damai demi keuntungan berubah arah.
Ketika permintaan rempah-rempah menurun pada akhir 1700-an, VOC secara resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Jika kita kembali ke prinsip dasar, jantung dari sebuah perusahaan/organisasi adalah profitabilitas. Ketika sebuah perusahaan tidak lagi menghasilkan keuntungan (jantungnya berhenti berdetak), maka seluruh tubuh akan mulai membusuk.
Karena VOC didanai oleh negara, korupsi merajalela demi mendapatkan bagian dari dana militer untuk kolonisasi Indonesia. Banyak pejabat VOC bersumpah kepada Kerajaan Belanda bahwa laba besar akan segera datang.
Namun, modal yang terus disuntikkan untuk kepentingan militer ditambah menurunnya permintaan rempah-rempah membuat usaha yang dulu menguntungkan
menjadi beban. Pada fase-fase akhir perusahaan ini, para pejabat tinggi mulai menyadari nasibnya dan memilih memanfaatkan dana militer negara.
Setelah VOC dibubarkan, pemerintah Belanda tak lagi melihatnya sebagai pusat laba, melainkan sebagai simbol kebanggaan dan kekuasaan atas kepulauan-suatu liabilitas, bukan aset. Maka bahkan sebelum zaman modern, Hindia Belanda telah berubah dari "permata mahkota" menjadi luka sejarah yang membekas.
Sejarah menunjukkan bahwa para pedagang kapitalis bukanlah pihak yang mendorong kekerasan dan kolonialisme (yang terbukti tidak menguntungkan dan justru memperbesar pengeluaran). Justru kronisme dan korupsi yang disponsori negara adalah bentuk "usaha negara" yang paling menguntungkan di wilayah Nusantara.
Sejarah tidak perlu ditulis ulang, tetapi dibiarkan utuh dan dipelajari agar bangsa ini tidak terjebak pada kesalahan yang sama. Di Indonesia masa kini, kita mungkin sedang berada di ambang penciptaan entitas serupa tanpa tahap awal niat kapitalis yang murni untuk mengejar keuntungan.
Jika dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) yang dikendalikan oleh kepentingan politik mulai mengakuisisi seluruh BUMN dan aset negara, maka para pejabat yang memiliki kepentingan politik akan mempercepat kehancuran institusi tersebut. Mungkin tidak perlu waktu ratusan tahun seperti VOC-cukup beberapa dekade, terutama jika negara berhenti mensubsidi aktivitas mereka atau sumber pendapatan utama mulai mengering.
Pada akhirnya, semua subsidi dan bailout terhadap perusahaan-perusahaan negara ini berasal dari pajak rakyat. Secara alamiah, BUMN adalah entitas vampir yang menyedot uang negara untuk dibagikan kepada pejabatnya (baik rendah maupun tinggi).
Kompetisi? Inovasi? Keuntungan? Untuk apa? Tidak ada KPI atau target karena "Big Brother" tidak ingin statistik pengangguran naik-tidak peduli seberapa
meruginya BUMN dan anak-anak perusahaannya (yang beberapa bahkan tidak aktif lagi). Yang penting bukan tujuannya, tapi belain narasinya.
Ketika Indonesia sedang menulis ulang sejarah untuk mengakomodasi rezim yang berkuasa, sudah saatnya kita memiliki interpretasi yang lebih akurat terhadap VOC: bahwa perusahaan ini awalnya adalah entitas dagang swasta yang damai, yang kemudian dilebur dan diperintahkan menjadi kendaraan negara untuk penaklukan-dan tidak lagi tertarik pada keuntungan dari perdagangan rempah-rempah yang menjadi tujuan awalnya.
Tragedi yang dilakukan VOC bukan demi keuntungan kapitalis, melainkan demi pengendalian negara, terutama di masa-masa akhirnya. Ketika sebuah perusahaan swasta hampir gagal, ia harus beradaptasi dan berputar arah agar tidak benar-benar gagal.
Namun ketika BUMN (atau perusahaan yang berafiliasi erat dengan kekuasaan politik) hampir gagal, maka beban ditimpakan ke pundak rakyat melalui pajak-masalah yang umumnya timbul dari keputusan manajerial yang buruk. Sebuah perusahaan harus berdiri di atas kaki sendiri dan menimbang pengeluarannya. Diberi cek kosong memiliki efek psikologis yang sama seperti menang lotre.
Ketika setiap perusahaan dalam suatu perekonomian disangga secara artifisial, maka tidak ada koreksi terhadap permintaan dan penawaran riil di pasar. Ekonom Austria, Joseph Schumpeter, pernah mengemukakan teori tentang "Creative Destruction" dalam ekonomi-proses abadi membersihkan perusahaan yang tidak efisien dan digantikan oleh perusahaan baru yang lebih baik.
Di pasar di mana tidak ada perusahaan yang diizinkan untuk gagal, tidak ada dorongan bagi perusahaan untuk menjadi inovator unggulan. Hal ini membuat ekonomi
suatu negara menjadi tidak gesit, tidak adaptif, dan tidak dinamis terhadap perubahan pasar-seperti yang terlihat dari VOC saat rempah tak lagi diminati, serta Kuba di bawah Castro dan Korea Utara di bawah Kim yang secara ekonomi terjebak di zaman 1950-an.
Biarkan pasar merobek ototnya sendiri agar dapat memperbaiki dan membentuk otot yang lebih besar. Di dunia yang semakin dinamis, kita tidak boleh membiarkan negara menyia-nyiakan uang rakyat pada entitas yang tidak produktif. Jika tidak, Indonesia tidak akan punya ruang untuk bertumbuh karena waktu kita untuk menghindari krisis ekonomi besar sudah sangat sempit.
(miq/miq)