Menakar Prospek Surat Edaran KPK Demi Pengusutan Korupsi di BUMN

5 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di tengah gejolak sosial-ekonomi dan tuntutan publik yang kian vokal terhadap integritas negara, pemberantasan korupsi di Indonesia justru tampak berjalan di tempat. Kasus-kasus besar kerap kali muncul sebagai "headline sesaat", namun kemudian tenggelam tanpa kejelasan.

Penyidikan yang tak pernah tuntas, mafia anggaran yang bersembunyi rapi di balik jargon pembangunan, hingga sistem penegakan hukum yang makin lamban dan tumpul, semua menyiratkan bahwa upaya memerangi korupsi di negeri ini jauh dari kata maksimal. Alih-alih semakin canggih dan gesit, instrumen pemberantasan korupsi kita seperti kehilangan daya dobrak dan orientasi strategisnya.

Terakhir yang menjadi sorotan saya adalah terkait sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN), situasi penegakan hukum tampaknya justru memasuki fase kebingungan. Regulasi yang sejatinya dimaksudkan untuk memperkuat tata kelola korporasi negara ini justru menimbulkan tafsir ganda dalam ranah hukum publik dan privat.

Batas antara tindakan bisnis (business judgment rule) dan tindak pidana korupsi menjadi semakin kabur. Hal ini memperumit kerja penegak hukum, terutama dalam membedakan antara risiko bisnis yang sah dengan praktik manipulatif yang merugikan negara. Alhasil, ada risiko potensi banyak dugaan korupsi di tubuh BUMN yang stagnan di tahap "klarifikasi tanpa ujung", menambah daftar panjang kasus yang menggantung.

Di artikel sebelumnya yang pernah saya tulis di Kompas 15/4/2025 berjudul: "Menyoal Independensi KPK, BPK, dan PPATK dalam Danantara," saya menjelaskan bahwa dengan masuknya lembaga independen negara seperti KPK, BPK, dan PPATK dalam kepengurusan bidang Komite Pengawasan dan Akuntabilitas BPI Danantara.

Tentu, publik akan bertanya-tanya: "Bagaimana mungkin lembaga independen negara bisa masuk ke dalam struktur BPI Danantara? Bukankah itu akan mencederai independensinya? atau bahkan berpotensi menimbulkan conflict of interest?"

Maka, tak bosan-bosannya saya menyampaikan kutipan dari buku ahli politik dan ekonomi Amerika Serikat bernama Francis Fukuyama yang berjudul "State-Building: Governance and World Order in the 21st Century," patut kita renungkan kembali. Fukuyama menekankan bahwa jika negara hanya berfokus pada perluasan peran negara tanpa meningkatkan kapasitasnya, seringkali berujung menjadi celah korupsi dan inefisiensi.

State Capture Corruption
Tidak lama setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN, saya juga pernah menjelaskan bahwa keberadaan Undang-Undang BUMN terbaru saat ini, secara terminologi, ada perubahan paradigma modal BUMN yang ujungnya berpotensi melemahkan pengawasan BUMN.

Adapun perubahan tersebut adalah menghapus frasa "yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan". Jadi, belum berbicara tentang kelembagaan pengawasan, definisi dan substansi pengawasannya saja sudah lemah. (Nicholas Martua Siagian, Hukum Online, 2025)

Mengapa menjadi lemah? karena dengan dihapusnya frasa tersebut, maka baik Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan "bertentangan dan memunculkan tafsir ganda" dengan UU BUMN baru, yang salah satunya adalah definisi kerugian negara akan berubah total, sehingga tidak dapat diaudit oleh lembaga negara yang berwenang dalam pemeriksaan keuangan, maupun lembaga penegak hukum.

Artinya, sebenarnya Aparat Penegak Hukum (APH) juga saat ini mengalami kegamangan menyikapi batas-batas baru ini. Di satu sisi, Undang-Undang KPK tetap memberikan mandat untuk mengusut korupsi yang melibatkan penyelenggara negara atau kerugian negara.

Di sisi lain, dengan payung hukum baru UU BUMN yang menekankan prinsip-prinsip korporasi dan akuntabilitas internal, akhirnya KPK kini dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan bahwa intervensinya masih relevan dan sah. Inilah fase "kebingungan kewenangan" yang justru dapat menciptakan celah impunitas, terutama dalam kasus-kasus korupsi yang terstruktur rapi dalam tubuh BUMN.

Ini baru berbicara soal "kebingungan kewenangan" oleh APH di KPK, belum berbicara terhadap kasus-kasus yang ditangani yang bisa saja terdapat intervensi secara politik. Kembali lagi pemberantasan korupsi kita masih soal kelembagaan yang rentan "dilemahkan dan diotak-atik," maka relevan dengan pemaparan dari Hariadi Kartodihardjo pada 19 Februari 2020 yang berjudul: "Tinjauan Kelestarian SDA dari Perspektif Kebijakan Publik," bahwa saat ini kita mengalami fase state capture corruption, artinya ada fungsi dan peran negara yang sengaja disalahgunakan oleh elit untuk kepentingan pribadi.

Menguji SE KPK 12/2025
Sebagai langkah menjawab persoalan yang terjadi, memang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan Surat Edaran KPK Nomor 12 Tahun 2025 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Surat edaran yang diterbitkan pada 5 Mei 2025 itu diterbitkan sebagai pedoman internal lembaga antirasuah. Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa KPK tetap berwenang melakukan penindakan, pencegahan, pendidikan, koordinasi, dan supervisi terhadap kasus korupsi di BUMN.

Bahkan, pimpinan KPK juga menekankan, jajaran direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN termasuk dalam kategori penyelenggara negara, sehingga kerugian di BUMN dianggap sebagai kerugian negara. Hal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kalau kita mengaji secara Hukum Administrasi Negara, dalam artikel yang ditulis oleh Fitriani Ahlan Sjarif dan Efraim Jordi Kastanya yang berjudul: "Surat Edaran Sebagai Instrumen Administrasi Negara Di Masa Pandemi Covid-19," dijelaskan bahwa surat edaran adalah salah satu bentuk instrumen administrasi negara yang berupa peraturan kebijakan.

Peraturan kebijakan muncul dengan didasari oleh diskresi atau freies ermessen. SE lebih tepat dipakai sebagai nota dinas yang digunakan dalam kepentingan menghimbau dan memandu pihak-pihak internal lembaga atau kementerian masing-masing. (Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No. 3 Juli-September 2021)

Maria Farida Indrati, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia juga menjelaskan bahwa dari segi muatan surat edaran adalah menjelaskan atau membuat prosedur mempermudah atau memperjelas peraturan yang semestinya dilaksanakan. Karena sifatnya hanya memperjelas, maka surat edaran tidak boleh menabrak apalagi menegasikan peraturan perundang-undangan.

Memang dalam praktik birokrasi kita, masih terdapat kesalahan memaknai penggunaan Surat Edaran, kalau kita berkaca dari masa Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 telah mengeluarkan beberapa surat edaran yang isinya malah "seakan-akan" menyerupai perundang-undangan apabila melihat adressat norma yang dituju. Artinya, surat edaran yang seharusnya menjadi pedoman ke internal saja, justru dijustifikasi menjadi seperti peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuataan hukum.

Kontinuitas Pemberantasan Korupsi
Jadi, kalau kita berbicara tentang SE KPK Nomor 12 Tahun 2025, seharusnya hanyalah mengikat ke dalam. Artinya ke dalam internal KPK saja, bukan kepada pihak lain yang dalam hal ini adalah BUMN sendiri, karena posisi surat edaran adalah sebagai peraturan kebijakan bukanlah suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki hirarki dan daya ikat (kekuatan hukum) yang jelas seperti pada Pasal 7 dan 8 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hal ini menimbulkan pertanyaan krusial: sejauh mana efektivitas Surat Edaran KPK Nomor 12 Tahun 202 ini dalam mempercepat pemberantasan korupsi di BUMN, jika daya ikatnya pun terbatas? Pemberantasan korupsi membutuhkan instrumen yang memiliki daya paksa hukum jangka panjang, bukan sekadar kebijakan administratif yang bisa berubah seiring pergantian kepemimpinan.

Adanya Surat Edaran KPK Nomor 12 Tahun 2025 menjadi semacam interpretive guidance, namun di sisi lain bisa saja ini menjadi kerancuan pemberantasan korupsi dalam jangka panjang. Jadi, di satu sisi ada Surat Edaran KPK yang mempertegas bahwa masih punya kewenangan dalam pemberantasan korupsi di BUMN, di sisi lain ada "rasa-rasa ambiguitas" kalau merujuk pada UU BUMN.

Di satu sisi, keberadaan SE ini patut diapresiasi karena menunjukkan KPK tidak tinggal diam. Ada upaya untuk merekonstruksi pola pikir penyelidikan korupsi korporasi agar lebih kontekstual dan adaptif terhadap tantangan baru. Di sisi lain, surat edaran tidak bisa menjadi substitusi regulasi substantif yang memberi kepastian hukum dan legitimasi kewenangan.

Justru di sinilah pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemberantasan korupsi, termasuk koreksi terhadap kerangka hukum UU BUMN yang baru saat ini. Jangan sampai kita mengalami fenomena pemberantasan korupsi yang "Operasi Tangkap Tangannya (OTT) berjalan, tapi tidak jarang berujung kalah di-praperadilan."

Kalau kita berpikir lebih teknokratik, keberadaan Surat Edaran KPK Nomor 12 Tahun 2025 seharusnya menjadi pemicu harmonisasi peraturan perundang-undangan antara UU BUMN dan UU KPK.

Dalam jangka pendek, KPK harus mampu membangun narasi hukum yang kuat untuk menunjukkan bahwa prinsip korporasi tidak bisa menjadi tameng atas praktik korupsi yang merugikan negara. Di sisi lain, pemerintah dan DPR perlu mendorong revisi teknis atau pembuatan peraturan pelaksana yang memperjelas batas-batas akuntabilitas dalam tata kelola BUMN.

Surat Edaran KPK Nomor 12 Tahun 2025 ini adalah sinyal penting bahwa lembaga ini belum sepenuhnya kehilangan arah dan keberanian. Namun, sinyal saja tidak cukup. Ia harus ditindaklanjuti dengan strategi investigasi yang progresif, penguatan kolaborasi lintas lembaga, serta reformasi tata kelola yang berbasis transparansi dan akuntabilitas publik.

Jika tidak, surat edaran ini hanya akan menjadi bagian dari koleksi dokumen normatif yang dilahirkan di tengah sistem yang makin membiarkan korupsi tumbuh subur. Dan sekali lagi, harapan publik akan pemberantasan korupsi-terutama di BUMN yang mengelola ratusan triliun uang negara akan jatuh sebagai ilusi teknokratis belaka.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |