Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Sri Lanka akan mempersiapkan anggaran belanja hingga 4,2 triliun rupee Sri Lanka atau senilai Rp 231 triliun. Anggaran ini direncanakan saat Negeri Ceylon itu sedang berupaya mengatasi bayang-bayang krisis yang terjadi 2022 lalu.
Presiden Sri Lanka Anura Kumara Dissanayake, dalam pidato anggarannya pada tanggal 17 Februari, mencatat bahwa sementara sebagian besar negara mengalami 'dekade yang hilang' setelah gagal bayar utang negara, Sri Lanka telah mencapai tingkat stabilitas.
Ia mengatakan bahwa ia memperkirakan ekonomi akan tumbuh sebesar 5% tahun ini, didukung oleh total belanja negara sebesar 4,2 triliun rupee Sri Lanka dan pembayaran utang sebesar 4,6 triliun rupee (Rp254 triliun), dengan perolehan pendapatan yang diantisipasi akan meningkat hingga 15,1% dari PDB.
Anggaran ini dilontarkan Dissanayake setelah Dana Moneter Internasional (IMF) melampirkan paket senilai US$2,9 miliar (Rp47 triliun). Paket ini dilampirkan setelah partai Dissanayake, partai Kekuatan Rakyat Nasional (NPP), memutuskan untuk tidak melontarkan kritik apapun pada lembaga keuangan internasional itu.
Perdagangan Internasional
Pidato anggaran Dissanayake juga ikut menggarisbawahi perlunya memperluas perjanjian perdagangan bebas (FTA) di dalam ASEAN dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), pakta perdagangan utama yang mencakup 15 negara Asia-Pasifik.
Asanka Wijesinghe, seorang peneliti di Institute of Policy Studies di Sri Lanka, mengatakan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintahan sebelumnya, yang merupakan 'hal yang baik'.
"Proposal untuk memperluas ekspor, mengurangi tarif, dan membangun satu jendela nasional, platform digital terpusat yang memungkinkan para pedagang untuk menyerahkan semua dokumen terkait perdagangan secara elektronik melalui satu titik masuk, merupakan hal penting untuk menarik investasi asing langsung yang sangat dibutuhkan," tuturnya kepada South China Morning Post, dilansir Senin (10/3/2025).
Namun, dorongan untuk memperluas perjanjian perdagangan bebas membuat beberapa ahli khawatir. Hal ini dikarenakan posisi Sri Lanka yang tidak begitu besar sehingga dapat mudah dikuasai oleh produk-produk dari luar negeri.
"Perjanjian-perjanjian ini selalu berat sebelah," kata Amali Wedagedara, seorang peneliti senior di Bandaranaike Centre for International Studies di Kolombo. Ia menjelaskan bahwa, karena ukuran pasar Sri Lanka yang relatif kecil, perluasan perdagangan akan membuat produsen lokal "tanpa sengaja" terpapar pada persaingan yang lebih ketat.
"Sri Lanka melayani segmen bawah rantai nilai, dengan produk pertanian atau bahkan manufaktur. Jadi, kami masih mengandalkan model barang primer upah rendah itu, tanpa melangkah lebih jauh dan memikirkan nilai tambah, memanfaatkan tingkat rantai pasokan yang lebih tinggi."
Wedagedara mengatakan menciptakan anggaran yang berorientasi pada pembangunan memiliki nilai yang terbatas karena kendala keuangan yang diberlakukan oleh program IMF. Hal ini nantinya akan menyulitkan pencairan dana dari lembaga perbankan tersebut.
Minggu lalu, Dewan Eksekutif IMF menyelesaikan tinjauan ketiga atas pengaturan Fasilitas Dana Diperpanjang (EFF) 48 bulan Sri Lanka, dengan menyetujui pencairan segera sekitar US$334 juta (Rp5,4 triliun)
IMF mencatat bahwa negara tersebut memenuhi semua target kuantitatif untuk akhir Desember 2024, kecuali target indikatif pada belanja sosial, dan mengakui keberhasilan penyelesaian pertukaran obligasi sebagai tonggak penting menuju pemulihan keberlanjutan utang.
Ambisi maritim
Selama pidato anggarannya, Dissanayake juga menyoroti lokasi strategis Sri Lanka di Samudra Hindia, termasuk hubungan Pelabuhan Kolombo dengan rute pelayaran utama dan tangki penyimpanan minyak yang kurang dimanfaatkan di Sri Lanka Timur.
Menurut pakar ekspor dan logistik, Rohan Masakorala, prioritas utama pemerintah saat ini adalah menyelesaikan perluasan Terminal Kontainer Timur Kolombo dan meluncurkan operasi di Terminal Kontainer Barat. Ia mengatakan pembangunan tersebut, yang telah lama tertunda, berpotensi menggandakan kapasitas Kolombo saat ini menjadi sekitar 8,5 juta kontainer.
Namun, Masakorala mencatat bahwa Kolombo telah kehilangan banyak peluang bisnis selama 15 hingga 20 tahun terakhir karena kurangnya kebijakan yang tepat dan pengiriman infrastruktur yang tepat waktu.
"Jadi investasi tersebut, bisnis tersebut telah pindah ke pelabuhan lain, mereka tidak akan kembali dengan mudah," katanya.
Ia juga memperingatkan Sri Lanka untuk mempertimbangkan tingkat pertumbuhan India dan hasil kontainer saat merencanakan perluasan pelabuhan.
"Jika India tumbuh dengan cepat seperti yang diharapkan, maka semua orang akan mendapat bagian dari kue itu. Namun kelebihan kapasitas dapat menimbulkan masalah."
Masakorala berpendapat bahwa Sri Lanka harus mencari proses tender yang lebih transparan daripada kesepakatan pelabuhan antarpemerintah, yang memungkinkan "bisnis yang nyata dan pragmatis".
"Kami telah memiliki kebijakan yang salah dengan melakukan geopolitisasi pelabuhan kami hanya untuk memenuhi kebutuhan politik daripada kebutuhan bisnis," tambahnya.
Pemerintah Sri Lanka telah mengalokasikan 500 juta rupee (Rp 27 miliar) untuk tempat pemeriksaan pabean dan taman logistik di dekat Pelabuhan Kolombo. Ini bersamaan dengan 500 juta rupee lainnya untuk meninjau studi sebelumnya tentang pengembangan pelabuhan kering peti kemas berbasis rel.
Masakorala mengatakan bahwa ia melihat inisiatif ini sebagai bentuk integrasi ke dalam rantai pasokan, yang penting untuk mengubah Sri Lanka menjadi pusat distribusi/ Namun, ia berpendapat bahwa reformasi kebijakan sama pentingnya dengan investasi infrastruktur bagi negara untuk membangun dirinya sebagai pusat logistik sejati.
"Sri Lanka bukanlah negara yang 100% liberal untuk pemilik pelayaran dan logistik asing, ada rezim perizinan, dan rezim perizinan itu tidak berpihak pada mereka, melainkan mitra lokal," tuturnya lagi.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: IMF Proyeksikan Inflasi Yaman Meledak
Next Article Pemerintah Siap Belanja Rp 3.621 Triliun di 2025, Ini Alokasinya!