Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan pengusaha resah atas maraknya pungutan liar (pungli) yang dilakukan kalangan ormas di berbagai proyek di Indonesia. Sebab pungli dengan nominal bervariasi hingga ratusan juta membuat para pengusaha mengeluarkan biaya lebih dan tak memiliki kepastian berbisnis.
"Jadi nggak jelas dan kadang-kadang yang bikin ngeselin tuh justru selain istilahnya ormas-ormas gitu, tokoh-tokoh masyarakat juga begitu juga ikutan juga malah, bukannya menenangkan malah minta, itu sebenarnya nggak bagus ya karena itu jadi kebiasaan," Ujar Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani kepada CNBC Indonesia, Sabtu (8/3/2025).
Pungli di Indonesia terjadi bukan belakangan ini, tetapi berakar dari zaman kerajaan kuno. Artinya, selama ribuan tahun pungli tak pernah pergi dan sudah mendarah daging di Indonesia. Ini yang jadi penyebab kebiasaan tersebut tak bisa hilang, sehingga seakan-akan menjadi sesuatu kelaziman alias hal wajar. Apalagi, Indonesia punya mental korupsi kuat.
Sejarawan Onghokham dalam Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003) menyebut, akar sejarah pungli berasal kebiasaan pejabat dan sistem pembiayaan negara tradisional, yakni kerajaan-kerajaan Indonesia dari Majapahit sampai ke Mataram dan kesultanan-kesultanan lain di kepulauan ini. Awalnya, bermula dari kebijakan raja yang tidak memberi gaji kepada pejabat.
Para pejabat di kerajaan tradisional hanya diberi tanah, petani, atau hak-hak khusus seperti memungut upeti dan bea-cukai. Artinya, pejabat harus mencari uang sendiri. Masalahnya, pemberian raja tersebut tak mencukupi kebutuhan pejabat sehari-hari.
Maka, pejabat pun harus mencari uang sendiri. Caranya lewat menarik biaya dari rakyat di setiap urusan. Padahal, penarikan tersebut tergolong ilegal atau tidak ada aturannya. Hal demikian sekarang disebut pungutan liar.
"Staf atau pegawai para pejabat itu juga sedikit-banyak otonom dalam keuangan. Mereka harus mencari nafkah sendiri dari kedudukannya itu," tulis Onghokham.
Pelayan bupati, misalnya, sering menerima uang dari orang lain atau pegawai rendah yang mengurus jabatan. Lalu, bupati juga sering meminta "jatah" kepada para penjual di pasar. Atas dasar ini, terkadang para pejabat sering lebih kaya dibanding rajanya. Ketika raja datang, misalnya, pejabat menjamu raja jauh lebih mewah dibanding raja itu sendiri.
Sayang, ketika kerajaan kuno runtuh dan zaman terus berganti, cara demikian tak ikut hilang. Malah mendarah daging menjadi kelaziman yang harus dilakukan seseorang. Inilah yang membuat praktik demikian terus ada.
(mfa/wur)
Saksikan video di bawah ini: