Peluang Resesi AS Makin Besar Gegara Trump, Ini Kata JPMorgan Cs

21 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi global berisiko jatuh ke dalam resesi akibat kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Peringatan ini disampaikan oleh JPMorgan dalam laporan teranyar mereka pada Kamis (3/4/2025).

Jika tarif Trump benar-benar resmi diterapkan, tarif dasar 10% pada 5 April dan yang lebih tinggi ke beberapa negara per 9 April, risiko resesi global akan naik, dari perkiraan awal 40% menjadi 60% sebelum akhir tahun ini.

Catatan tersebut menyoroti kekhawatiran bahwa dampak ekonomi dapat diperburuk oleh potensi pembalasan, gangguan rantai pasokan, dan pukulan terhadap kepercayaan bisnis. JPMorgan juga memperingatkan bahwa pembatasan perdagangan yang sedang berlangsung dan pengurangan imigrasi dapat menyebabkan masalah sisi pasokan jangka panjang yang melemahkan pertumbuhan AS.

"Sepanjang tahun ini, kebijakan Amerika Serikat yang bersifat disruptif telah diakui sebagai risiko terbesar bagi prospek ekonomi global," tulis perusahaan tersebut dalam sebuah catatan pada hari Kamis, seraya menambahkan bahwa kebijakan perdagangan AS kini dianggap kurang ramah terhadap dunia usaha dibandingkan yang diperkirakan.

"Dampaknya kemungkinan akan diperbesar oleh tindakan balasan tarif, penurunan sentimen bisnis di AS, dan gangguan rantai pasokan."

Sementara itu, S&P Global juga menaikkan kemungkinan "subjektif" resesi di AS menjadi antara 30% hingga 35%, dari 25% pada Maret lalu.

Selain itu, sebelum pengumuman tarif pada 2 April waktu AS, Goldman Sachs juga menaikkan kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat menjadi 35% dari sebelumnya 20%, dengan catatan bahwa fundamental ekonomi tidak sekuat tahun-tahun sebelumnya.

HSBC pada hari Kamis menyatakan bahwa narasi resesi akan semakin menguat, meskipun sebagian dari risiko ini sudah "tercermin dalam harga pasar."
"Indikator probabilitas resesi berbasis pasar saham kami menunjukkan bahwa pasar ekuitas telah memperhitungkan sekitar 40% kemungkinan resesi terjadi pada akhir tahun," tambah analis HSBC.

Beberapa lembaga riset lainnya termasuk Barclays, BofA Global Research, Deutsche Bank, RBC Capital Markets, dan UBS Global Wealth Management juga memperingatkan bahwa ekonomi AS menghadapi risiko resesi yang lebih tinggi tahun ini jika tarif baru yang diberlakukan oleh Trump tetap berlaku.

Barclays dan UBS memperingatkan bahwa ekonomi Amerika Serikat berisiko memasuki fase kontraksi, sementara analis lainnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum hanya akan berada di kisaran 0,1% hingga 1%.

Sejumlah perusahaan sekuritas seperti Barclays, Goldman Sachs, RBC, dan Capital Economics memangkas target akhir tahun mereka untuk saham-saham AS. UBS bahkan menurunkan rekomendasinya dari "menarik" menjadi "netral."

Prediksi Resesi 2025 dari Para Ahli

Dilansir dari Forbes.com, para peramal ekonomi semakin pesimistis terhadap prospek ekonomi dalam waktu dekat. Sebuah survei terbaru oleh The Wall Street Journal menunjukkan bahwa sebagian besar ekonom kini meyakini resesi akan dimulai sebelum akhir tahun 2025, naik dari 58% enam bulan lalu.

Estimasi median probabilitas resesi di kalangan responden kini mencapai 65%, jauh lebih tinggi dibandingkan 40% yang biasanya dikutip menjelang resesi-resesi sebelumnya, menandakan konsensus yang lebih kuat mengenai memburuknya kondisi ekonomi dibanding periode historis serupa.

Kekhawatiran semakin besar karena munculnya peringatan dari ekonom yang memiliki rekam jejak akurat dalam memprediksi resesi. Nouriel Roubini, yang dikenal luas karena memprediksi krisis keuangan 2008, menyatakan bahwa kondisi saat ini merupakan "badai sempurna" dari berbagai faktor risiko yang saling bersilangan: inflasi yang terus-menerus, kebijakan moneter yang ketat, akumulasi utang sektor swasta, dan meningkatnya ketegangan geopolitik.

Ia menempatkan probabilitas resesi sebesar 80% pada kuartal keempat 2025, dengan perhatian khusus pada kerentanan utang korporasi terutama karena sekitar US$2,8 triliun dalam bentuk pinjaman leveraged dan obligasi berimbal hasil tinggi perlu direstrukturisasi dalam dua tahun ke depan di tengah suku bunga yang jauh lebih tinggi.

Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers juga menaikkan probabilitas resesinya, mengutip inversi kurva imbal hasil yang berlangsung sangat lama serta indikator kredit konsumen yang mengkhawatirkan. Ia mengatakan, "Kombinasi antara inflasi tinggi, kebijakan moneter ketat, beban utang rumah tangga yang menumpuk, dan keterjangkauan perumahan yang memburuk menciptakan kondisi yang sangat mirip dengan yang mendahului resesi tahun 1980 dan 1981-82." Dalam testimoninya di Kongres, Summers mencatat bahwa rasio pembayaran utang rumah tangga terhadap pendapatan tersedia telah mencapai 9,8% level tertinggi sejak 2007 dan mendekati tingkat yang secara historis mendahului penurunan konsumsi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |