Perang Dagang AS vs China Reda, Kok Rupiah Gak Bisa Menguat?

5 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Performa mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak beragam namun cenderung melemah pada hari ini, Kamis (15/5/2025).

Dilansir dari Refinitiv, pada Kamis (15/5/2025) per pukul 09:53 WIB, performa mata uang Asia terhadap dolar AS dalam rentang periode 9-15 Mei 2025 cenderung melemah.

Depresiasi paling signifikan terlihat pada baht Thailand yang ambruk 1,55%, peso Filipina tertekan 0,65%, dan yen Jepang melemah 0,64%. Begitu pula dengan rupiah Indonesia yang menurun 0,24%.

Namun berbeda halnya dengan yuan China dan ringgit Malaysia yang masing-masing menguat sebesar 0,3% dan 0,09%.

Sementara indeks dolar AS (DXY) terpantau pada hari ini melemah 0,18% ke angka 100,86.

Mengapa Rupiah dan Banyak Mata Uang Asia Melemah?

Lemahnya mata uang Asia ini patut menjadi perhatian lantaran pada Senin (12/5/2025),ketegangan perdagangan Amerika Serikat-China mereda setelah pembicaraan kedua negara itu di Swiss selama akhir pekan lalu.

Kesepakatan itu mencakup penurunan tarif AS atas barang-barang China dari 145% menjadi 30%, dan tarif China atas barang-barang AS dari 125% menjadi 10%, berlaku selama 90 hari ke depan untuk memberikan ruang bagi negosiasi lanjutan.

Sebagai catatan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Rabu (14/5/2025) ditutup pada posisi Rp16.545/US$ atau melemah 0,21%. Rupiah belum menunjukkan tajinya meski banyak sentimen positif. Dalam lima perdagangan terakhir, nilai tukar rupiah melemah empat kali dan hanya sekali menguat.

Menanggapi hal ini, Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega, Ralph Birger Poetiray, menyampaikan bahwa dengan perdamaian antara AS dengan China, pasar bereaksi bahwa AS tidak akan masuk ke resesi dan pemangkasan suku bunga tidak perlu buru-buru.

Kondisi ini tidak menguntungkan bagi mata uang non-denominasi dolar AS karena modal masih akan bertahan di AS.

"USD index terjadi kenaikan lagi dan US treasury naik yieldnya karena melihat FED tidak buru-buru akan pangkas suku bunga," kata Birger, kepada CNBC Indonesia.

Sejalan dengan Birger, Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan, juga menegaskan bahwa The Fed belum memberikan sinyal akan menurunkan suku bunga dalam waktu dekat.

"Jadi meski sentimen dagang AS-China udah membaik, pelaku pasar belum buru-buru lepas dolar," papar Felix.

Ia juga menambahkan soal kebutuhan valas dalam negeri juga yang sedang tinggi

"Walaupun asing sudah masuk, belum tentu mereka langsung konversi ke rupiah di pasar spot. Bisa jadi mereka masih hedging dulu atau masuknya bertahap," tambah Felix.

Felix menambahkan bahwa rupiah dapat menguat apabila The Fed nanti mulai lunak dan data ekonomi AS mulai melemah. 

Sementara Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, mengatakan bahwa perkembangan domestik kurang bagus.

"Terbaru data terkait penjualan mobil turun, penjualan ritel turun, lalu kebijakan kenaikan tarif CPO keliatannya membuat penguatan rupiah belum tajam," pangkas Myrdal.

Sepakat dengan ekonom lainnya, Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa rupiah masih tertekan karena ekspektasi The Fed yang mundur.

Hosianna juga mengatakan soal ekspektasi The Fed diperkirakan akan menurunkan bunga jadi ke September, sehingga ada outflow di bonds, plus juga masih momen repatriasi dividen.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |