Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam, tengah menghadapi tantangan besar dalam transisi menuju energi bersih. Di antara berbagai sumber energi terbarukan yang potensial, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) menawarkan solusi berkelanjutan untuk ketahanan energi nasional.
Namun, apakah Indonesia benar-benar siap mengimplementasikan PLTB secara masif, baik di darat (onshore) maupun di lepas pantai (offshore)? Seberapa
kompetitif teknologi ini dibandingkan sumber energi lain? Dan yang terpenting, bagaimana harga listrik dari PLTB dapat mendukung kebijakan energi yang lebih ramah lingkungan?
Potensi Energi Bayu di Indonesia
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Asosiasi Energi Angin Indonesia (AEAI), Indonesia memiliki potensi energi angin yang cukup besar, mencapai 154,88 GW. Dari jumlah tersebut, 94,23 GW berasal dari offshore, sementara 60,64 GW berasal dari onshore.
Daerah dengan potensi angin tertinggi-yakni dengan kecepatan angin rata-rata lebih dari 6 m/s-meliputi NTT, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Sulawesi
Selatan, Aceh, dan Papua. Namun, dari potensi tersebut, kapasitas terpasang PLTB masih jauh tertinggal dibandingkan energi terbarukan lainnya.
Hingga 2023, kapasitas terpasang PLTB baru mencapai sekitar 147 MW dari proyek di Sidrap dan Jeneponto di Sulawesi Selatan. Padahal, dalam RUPTL 2021-
2030, target pengembangan PLTB mencapai 2.187 MW, yang berarti masih ada kesenjangan besar antara potensi dan realisasi. Terlebih pasca COP 29, pemerintah mentargetkan 5 GW atau 5000 MW dari PLTB dalam 5 tahun kedepan, yang artinya kesenjangan implementasi akan semakin lebar
Faktor Kapasitas Optimal PLTB
Faktor kapasitas (capacity factor) adalah salah satu indikator utama dalam menilai efisiensi PLTB. Di Indonesia, faktor kapasitas PLTB onshore berkisar 25-35%, sementara offshore dapat mencapai 40%-50%, jauh lebih tinggi dibandingkan PLTS yang hanya sekitar 15-25%.
Offshore memiliki keuntungan dari kecepatan angin yang lebih konsisten dan minim gangguan infrastruktur darat. Dengan faktor kapasitas yang lebih tinggi, PLTB offshore berpotensi menjadi tulang punggung transisi energi.
Namun, di balik keunggulan ini, ada tantangan besar dalam pengembangan PLTB offshore. Biaya investasi dan operasionalnya jauh lebih mahal dibandingkan onshore karena infrastruktur yang kompleks, seperti fondasi di laut, sistem transmisi bawah laut, serta pemeliharaan yang lebih sulit.
Analisis Biaya dan Tarif PLTB
Salah satu tantangan utama dalam pengembangan PLTB di Indonesia adalah struktur tarif dan skema investasi. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022, harga listrik PLTB bersifat negotiable, dengan batas atas ditentukan oleh faktor lokasi dan jenis proyek. Ini berarti tarif PLTB harus tetap kompetitif dibandingkan energi fosil maupun sumber energi terbarukan lainnya.
Sebagai gambaran, proyek PLTB Sidrap (75 MW) memiliki tarif listrik sekitar 11 sen USD/kWh, sementara proyek PLTB Jeneponto (72 MW) memiliki tarif 10,89 sen USD/kWh. Jika dibandingkan dengan energi fosil, harga listrik PLTB masih lebih tinggi daripada PLTU berbahan bakar batubara yang berkisar 5-7 sen USD/kWh.
Namun, jika dibandingkan dengan PLTS yang tarifnya berkisar 6-9 sen USD/kWh, PLTB dapat menjadi alternatif yang kompetitif, terutama dengan faktor kapasitasnya yang lebih tinggi.
Untuk meningkatkan daya saing harga, pemanfaatan skema insentif dan pendanaan inovatif menjadi kunci. Beberapa mekanisme yang bisa diterapkan mencakup feed-in tariff yang kompetitif, pemanfaatan dana Just Energy Transition Partnership (JETP), serta pendanaan hijau dari lembaga internasional seperti IFC dan Bank Dunia.
Selain itu, penerapan teknologi turbin modern yang lebih efisien dapat membantu menurunkan biaya investasi dan operasional.
Kesiapan Implementasi PLTB di Indonesia
Meski potensinya besar, implementasi PLTB di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Berikut beberapa faktor utama yang perlu diperhatikan:
1. Regulasi dan Kebijakan
o Proses perizinan yang kompleks dan belum adanya regulasi spesifik untuk PLTB offshore menjadi kendala utama.
o RUPTL saat ini masih lebih condong kepada PLTS sebagai energi terbarukan utama, sementara PLTB belum mendapatkan prioritas yang cukup.
2. Grid Integration dan Stabilitas Jaringan
o Tantangan utama dalam penetrasi energi angin adalah fluktuasi daya yang tinggi, yang memerlukan infrastruktur jaringan yang lebih fleksibel.
o PLN perlu meningkatkan kapasitas dan fleksibilitas jaringan, termasuk investasi dalam sistem penyimpanan energi (BESS) untuk mengatasi intermittency.
3. Investasi dan Skema Pembiayaan
o Dibandingkan dengan PLTS, proyek PLTB memerlukan modal awal yang lebih besar, dengan periode pengembalian investasi yang lebih panjang.
o Perlu adanya mekanisme standardisasi Power Purchase Agreement (PPA) yang lebih menarik bagi investor, mengingat saat ini masih terdapat ketidakseimbangan risiko yang lebih tinggi di pihak pengembang.
4. Pengembangan Industri Lokal
o Kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) masih menjadi tantangan, karena industri manufaktur turbin angin di Indonesia belum berkembang.
o Fokus utama saat ini sebaiknya diarahkan pada penguatan kapabilitas tenaga kerja dalam operasi dan pemeliharaan PLTB, sebelum mendorong produksi
komponen lokal yang lebih kompleks.
PLTB sebagai Pilar Ketahanan Energi Nasional
Dalam konteks ketahanan energi, PLTB dapat berperan penting sebagai bagian dari diversifikasi sumber energi nasional. Dengan ketergantungan Indonesia yang masih tinggi terhadap batubara, pengembangan PLTB dapat menjadi langkah strategis untuk mengurangi emisi karbon sekaligus memenuhi komitmen Net Zero Emission (NZE) 2060.
Sejalan dengan pernyataan Indonesia dalam COP 29 untuk mencapai 75 GW energi baru terbarukan dalam 15 tahun ke depan, PLTB memiliki peran sentral dalam pencapaian target tersebut. Dengan kombinasi antara PLTB onshore dan offshore, serta integrasi dengan sistem penyimpanan energi yang lebih maju, Indonesia memiliki peluang besar untuk memenuhi target ini secara efektif.
Selain itu, PLTB kini siap untuk dimasukkan ke dalam Rencana Strategis Nasional, sejalan dengan dorongan pemerintah untuk mempercepat transisi energi dan
memperkuat ketahanan energi nasional. Beberapa langkah yang dapat diambil untuk mempercepat adopsi PLTB antara lain:
• Reformasi regulasi untuk mempercepat pengembangan proyek PLTB, termasuk penyederhanaan perizinan dan percepatan tender proyek.
• Investasi dalam teknologi turbin angin yang lebih efisien, khususnya untuk daerah dengan kecepatan angin rendah hingga menengah.
• Peningkatan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan lembaga internasional untuk menciptakan ekosistem investasi yang lebih kondusif.
• Integrasi sistem penyimpanan energi untuk meningkatkan keandalan jaringan listrik berbasis angin.
Dengan strategi yang tepat, PLTB dapat menjadi salah satu solusi utama dalam peta jalan transisi energi Indonesia. Kuncinya adalah menciptakan keseimbangan antara daya saing ekonomi, kesiapan infrastruktur, dan insentif kebijakan yang mendukung.
Jika pemerintah dan sektor swasta dapat bersinergi dalam mengatasi tantangan yang ada, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi pemain utama dalam energi angin di Asia Tenggara. Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah Indonesia bisa mengembangkan PLTB, tetapi seberapa cepat kita bisa mengakselerasinya?
(miq/miq)