Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Keberhasilan Tim Nasional U-17 Indonesia lolos ke Piala Dunia seharusnya menjadi momentum kebanggaan nasional yang dirayakan dengan penghormatan setimpal, termasuk oleh media. Prestasi tersebut tidak hanya mencerminkan pencapaian olahraga semata, melainkan juga menjadi penanda bahwa sistem pembinaan atlet muda kita mulai menunjukkan arah yang menjanjikan.
Namun, perayaan di ruang media justru menampilkan paradoks yang menggelitik sekaligus mengkhawatirkan. Dibandingkan menjadi penggerak narasi yang mendorong diskursus publik yang sehat-misalnya dengan menyoroti strategi pelatih, perjalanan skuad muda, tantangan infrastruktur sepak bola usia dini, atau proyeksi masa depan-banyak media memilih menyoroti aspek permukaan yang viral.
Pemberitaan seputar unggahan selebritas, tanggapan pesohor di media sosial, hingga sekadar emotikon di kolom komentar, mendominasi lini masa dan halaman utama sejumlah portal berita daring.
Salah satu contoh paling mencolok adalah pernyataan Shin Tae-yong, mantan pelatih kepala Timnas Indonesia, kepada Nova Arianto, pelatih Timnas U-17, yang disampaikan melalui kolom komentar di Instagram.
Alih-alih dijadikan titik awal untuk pendalaman atau konfirmasi lebih lanjut, kutipan tersebut langsung diperlakukan sebagai bahan utama berita, tanpa proses klarifikasi maupun elaborasi yang seharusnya menjadi prosedur baku jurnalisme profesional. Praktik ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah jurnalisme kita telah mengalami pergeseran nilai yang terlalu jauh dari prinsip dasarnya?
Kepercayaan Publik dan Beban Etis Media
Kekhawatiran ini semakin relevan ketika kita mencermati data tentang kepercayaan publik terhadap media.
Survei yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Remotivi pada tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap media masih tergolong tinggi: 33,7 persen responden menyatakan sangat percaya, dan 37,4 persen menyatakan percaya terhadap media, menjadikan total kepercayaan publik sebesar 71,1 persen. Hanya 5,9 persen yang menyatakan sangat tidak percaya.
Temuan ini sejalan dengan survei Edelman Trust Barometer (2023), yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik Indonesia terhadap media berada di angka 72 persen. Sementara itu, jajak pendapat Harian Kompas pada awal tahun yang sama juga menunjukkan bahwa 70,2 persen publik Indonesia masih percaya pada pemberitaan media massa. Faktor utama dari kepercayaan ini terletak pada kelengkapan informasi dan penggunaan sumber resmi dalam pemberitaan.
Angka-angka tersebut merupakan modal sosial yang sangat berharga. Dalam konteks komunikasi publik, kepercayaan adalah fondasi utama yang memungkinkan media menjalankan peran kontrol sosial, edukasi, dan advokasi secara efektif. Sayangnya, modal ini justru terancam oleh praktik pemberitaan yang tidak lagi berpijak pada etika jurnalistik, melainkan pada logika algoritma dan tren viral semata.
Pola Berulang dalam Pemberitaan
Apa yang terjadi dalam pemberitaan kemenangan Timnas U-17 sejatinya bukanlah insiden tunggal, melainkan bagian dari pola yang berulang dalam lanskap media kita saat ini. Berbagai peristiwa besar, baik yang bersifat politik, sosial, maupun budaya, kerap diperlakukan dengan pendekatan serupa: berfokus pada permukaan, sensasi, dan keterlibatan emosional sesaat, Daripada menggali substansi dan konteks secara mendalam.
Ambil contoh pemberitaan tentang bencana alam. Ketimbang mendalami akar penyebab kerentanan wilayah, ketidaksiapan infrastruktur, atau ketimpangan distribusi bantuan, media sering kali terpaku pada visual dramatis, aksi pejabat dan testimoni emosional korban yang diulang-ulang.
Dalam konteks pemilu atau debat politik, banyak media memilih mengutip adu sindiran atau gestur antar kandidat ketimbang menganalisis program atau rekam jejak kebijakan. Bahkan dalam isu-isu global seperti konflik geopolitik atau krisis iklim, banyak pemberitaan terjebak pada narasi selebritas atau petikan viral yang tidak memberi pemahaman utuh.
Hal serupa juga terlihat dalam peliputan kebijakan publik. Ketika pemerintah meluncurkan kebijakan baru, misalnya di bidang pendidikan atau kesehatan, sebagian besar berita hanya mengutip pernyataan pejabat tanpa membandingkan data, menelusuri dampak ke lapangan, atau menghadirkan suara kelompok terdampak. Jurnalisme investigatif dan jurnalisme data-dua pilar penting untuk mengedukasi publik-masih belum menjadi arus utama di banyak redaksi.
Dalam era media sosial, tekanan untuk menjadi yang pertama dan paling banyak dibagikan membuat banyak redaksi lebih memilih "berita cepat" daripada "berita tepat". Praktik ini diperparah dengan kebiasaan stalking akun media sosial tokoh, pesohor, bahkan akun anonim, lalu menjadikannya sebagai sumber utama berita. Padahal, tanpa konfirmasi dan verifikasi, kutipan dari media sosial hanya akan menjadi spekulasi yang dibungkus dalam tampilan jurnalistik.
Jika dibiarkan, pola ini akan mempersempit fungsi media sebagai penyedia informasi publik yang kredibel dan reflektif. Masyarakat akan semakin terbiasa pada pemberitaan yang dangkal, cepat lupa, dan tidak mampu membangun memori kolektif jangka panjang terhadap isu-isu penting bangsa.
Jurnalisme dan Krisis Nilai
Michael Schudson, sosiolog media terkemuka, dalam bukunya Why Democracies Need an Unlovable Press (2008) dan dalam tulisannya terbaru (2022), menyebut bahwa jurnalisme yang sehat bukanlah yang menyenangkan, tetapi yang menantang, kritis, dan berakar pada proses pencarian kebenaran.
Sayangnya, dalam lanskap digital saat ini, banyak media yang terjebak pada kebutuhan untuk bertahan hidup secara finansial dan teknologis, sehingga berkompromi terhadap nilai-nilai fundamental tersebut.
Media sosial memperparah kompleksitas ini. Di satu sisi, platform-platform seperti Instagram, TikTok, dan X (sebelumnya Twitter) telah menjadi sumber informasi sekaligus arena distribusi konten yang tak terelakkan bagi media arus utama.
Di sisi lain, algoritma yang mendorong viralitas dan keterlibatan justru mendorong media untuk memproduksi konten yang mudah dikonsumsi, emosional, dan cepat dibagikan. Logika popularitas di media sosial sering kali tidak sejalan dengan logika kepentingan publik.
Sebagai akibatnya, jurnalisme kini beroperasi dalam ruang yang penuh distraksi dan kompetisi perhatian. Berita yang memantik emosi lebih cepat menyebar ketimbang laporan mendalam yang memerlukan waktu dan konsentrasi. Banyak redaksi pun akhirnya menyesuaikan gaya liputannya dengan karakteristik media sosial-ringkas, penuh kutipan dramatis, dan visual menarik-sering kali dengan mengorbankan konteks dan kedalaman.
Fenomena ini juga memunculkan clickbait journalism, di mana judul dan isi berita disusun sedemikian rupa untuk memancing klik, bukan untuk menyampaikan makna. Media sosial menjanjikan eksposur instan, tetapi pada saat yang sama mengikis kesabaran publik terhadap proses jurnalistik yang membutuhkan verifikasi dan kehati-hatian. Ini menjadi dilema eksistensial bagi jurnalis: bagaimana menjaga integritas ketika tuntutan kecepatan dan perhatian begitu mendominasi?
Lebih lanjut, studi dari The Media Insight Project (2021) memperlihatkan bahwa kepercayaan terhadap media sangat dipengaruhi oleh keselarasan antara nilai-nilai inti jurnalisme dan nilai-nilai yang diyakini oleh individu. Ketika publik merasakan bahwa media tidak lagi menyuarakan kebenaran, tetapi hanya mengejar klik dan sensasi, maka kepercayaan tersebut akan menurun, meskipun angka statistik belum langsung mencerminkan penurunan itu secara signifikan.
Kita tengah menghadapi era di mana content is king, tetapi kualitas konten bukan lagi parameter utama. Yang menjadi raja adalah keterlibatan (engagement), retweet, likes, dan kecepatan penyebaran.
Dalam ekosistem seperti ini, berita yang menyentuh emosi dan instan jauh lebih disukai ketimbang laporan panjang yang penuh data dan analisis. Maka tak heran, ketika kemenangan Timnas U-17 terjadi, media memilih mengangkat siapa yang memberi like atau mengunggah story, daripada mendalami bagaimana sistem pembinaan usia muda di Indonesia bekerja.
Menata Ulang Praktik Jurnalisme
Sudah saatnya media meninjau ulang praktiknya. Etos kerja jurnalistik mesti ditata ulang agar kembali pada esensinya: berpihak pada kebenaran dan kepentingan publik. Dewan Pers, organisasi profesi jurnalis, serta lembaga pendidikan tinggi komunikasi dan jurnalistik, memiliki peran besar dalam mendorong transformasi ini. Media massa bukan sekadar pengejar kecepatan informasi, tetapi penyedia makna dalam arus informasi yang kian deras dan penuh distorsi.
Dalam konteks ini, keberhasilan Timnas U-17 bukan hanya pencapaian olahraga, tetapi juga ujian bagi integritas media. Akankah media tetap terpaku pada algoritma, ataukah mampu menjadikannya batu loncatan untuk membangkitkan jurnalisme yang substantif dan berpengaruh?
Masyarakat Indonesia, dengan tingkat kepercayaan yang masih tinggi terhadap media, sesungguhnya telah memberi mandat moral yang besar. Sekarang, tanggung jawab ada di tangan media untuk menunaikan mandat itu dengan kerja-kerja jurnalistik yang lebih dari sekadar mengutip emotikon.
(miq/miq)