Jakarta, CNBC Indonesia- Harga minyak sawit, sang raja minyak nabati yang dulu murah meriah, kini merangkak naik. Produksi yang melandai ditambah dorongan permintaan biodiesel dari Indonesia membuat pasokan semakin terbatas. Akibatnya harga minyak kelapa sawit menanjak.
Dari dapur rumah tangga hingga kosmetik dan deterjen, lebih dari separuh ekspor minyak nabati dunia datang dari sawit, menjadikannya pilihan utama bagi negara berkembang seperti India. Namun, era sawit murah tampaknya sudah berlalu. Merujuk Refinitiv, harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) pada hari ini, Senin (10/3/2024) pada pukul 15.04 WIB ada di angka MYR 4.517 per ton, harganya melemah 2,34% tetapi masih menguat 1,5% sepanjang tahun ini.
Sebagai perbandingan harga minyak bijih matahari pada hari ini ada di angka US$1.365/ton atau menguat 0,12% sedangkan rapeseed oil di posisi €496,2 per ton.
Sawit Tak Lagi Diskon
Melansir dari Reuters, Dorab Mistry, analis industri sekaligus Direktur Godrej International, menegaskan bahwa diskon besar-besaran minyak sawit dibandingkan minyak nabati lain kini hanya tinggal kenangan.
"Dulu, harga sawit bisa lebih murah US$400 per ton dibanding minyak lainnya. Sekarang, Indonesia lebih mengutamakan biodiesel, jadi sawit tak akan semurah itu lagi," katanya.
Sejak awal tahun, Indonesia menaikkan campuran wajib sawit dalam biodiesel menjadi 40% dan tengah mengkaji kenaikan ke 50% pada 2026, serta pencampuran 3% untuk bahan bakar jet pada tahun depan. Langkah ini bertujuan mengurangi impor bahan bakar fosil, tetapi juga memangkas ekspor sawit.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, memperkirakan ekspor sawit Indonesia akan merosot ke 20 juta ton pada 2030, turun sepertiga dari 29,5 juta ton pada 2024.
Hasilnya? Harga minyak sawit kini melampaui minyak kedelai, membuat pembeli global menahan diri. Di India, minyak sawit mentah (CPO) telah diperdagangkan dengan harga lebih tinggi dari minyak kedelai selama enam bulan terakhir, bahkan sempat selisih lebih dari US$100 per ton. Padahal, pada akhir 2022, sawit masih lebih murah US$400 dibanding minyak kedelai.
Pekan lalu, harga CPO di India menyentuh US$1.185 per ton, jauh lebih mahal dari US$500 pada 2019. Kenaikan harga minyak nabati bisa menghambat upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi, baik di negara pengimpor sawit maupun yang bergantung pada minyak kedelai, bunga matahari, atau rapeseed.
Sejak 1980 hingga 2020, produksi sawit dunia nyaris berlipat ganda setiap dekade, meski harus menghadapi kritik atas deforestasi. Kala itu, pertumbuhan tahunan lebih dari 7% cukup untuk memenuhi lonjakan permintaan. Namun kini, stagnasi terjadi.
Foto: Emanuella Bungasmara
Produksi, Ekspor, dan Konsumsi Biodiesel Minyak Sawit Indonesia (2015-2025)
Malaysia sudah lebih dari satu dekade tak bisa meningkatkan produksi akibat lahan yang terbatas dan lambatnya peremajaan kebun. Sementara itu, di Indonesia, upaya menanam ulang oleh petani kecil yang menyumbang 40% pasokan sawit negar, masih lamban.
Akibatnya, laju pertumbuhan produksi global hanya sekitar 1% per tahun dalam empat tahun terakhir. Analis Thomas Mielke dari Oil World memproyeksikan pertumbuhan produksi sawit hanya akan mencapai 1,3 juta ton per tahun di dekade ini, jauh lebih kecil dibanding rata-rata 2,9 juta ton per tahun di dekade sebelumnya.
Hambatan lain juga mengintai, mulai dari kekurangan tenaga kerja, kebun yang menua, hingga penyebaran jamur Ganoderma yang mengurangi hasil panen.
Enggan Melakukan Peremajaan
Kelapa sawit mulai kehilangan produktivitas setelah berusia 20 tahun dan harus diganti setelah 25 tahun. Namun, pohon baru butuh 3-4 tahun untuk mulai berbuah, membuat lahan tak produktif sementara waktu. Kondisi ini membuat petani enggan melakukan peremajaan.
Pada 2024, Malaysia hanya berhasil meremajakan 114.000 hektare, sekitar 2% dari total luas lahan sawitnya, jauh dari target 4-5%. Di Indonesia, rendahnya tingkat peremajaan menyebabkan produktivitas sawit menurun. GAPKI mencatat hasil CPO per hektare turun 11,4% dalam satu dekade terakhir menjadi 3,42 ton.
Negara-negara seperti Kolombia, Ekuador, Pantai Gading, dan Nigeria memang meningkatkan produksi sawit, tetapi pertumbuhan mereka masih kalah cepat dibanding lonjakan permintaan, terutama dari sektor biofuel.
Mistry dan Mielke pun menyarankan agar Indonesia mencabut moratorium izin lahan sawit baru yang diberlakukan sejak 2018. "Jika moratorium terus berlaku, harga sawit akan semakin mahal dan menyebabkan krisis berkala bagi 3-4 miliar konsumen di negara berkembang," ujar Mistry.
Dampak ke Minyak Nabati Lainnya
Kenaikan harga sawit mulai mengubah pola konsumsi di pasar utama. CEO SD Guthrie International, Shariman Alwani Mohamed Nordin, mengatakan bahwa bahkan pembeli industri kini mulai mencari alternatif minyak lain.
Menurut GAPKI, dengan memperhitungkan tren produksi dan konsumsi domestik, khususnya kebijakan penggunaan biodiesel, serta dinamika harga, pasokan, dan permintaan minyak nabati global, produksi minyak sawit Indonesia diperkirakan mencapai 53,6 juta ton.
Konsumsi dalam negeri diproyeksikan mencapai 26,1 juta ton, termasuk 13,6 juta ton untuk biodiesel B40. Dengan asumsi tersebut, ekspor diperkirakan menurun menjadi 27,5 juta ton, lebih rendah dibandingkan ekspor tahun 2024 yang mencapai 29,5 juta ton.
Di satu sisi, tingginya harga minyak sawit memberikan keuntungan bagi produsen CPO di Indonesia. Namun, pemerintah dan pelaku industri perlu mewaspadai dampaknya terhadap ekspor dan hubungan dagang dengan negara pembeli utama seperti India.
Jika India benar-benar menaikkan bea masuk, eksportir CPO Indonesia perlu mencari pasar alternatif atau meningkatkan nilai tambah produk olahan sawit agar tetap kompetitif. Di saat yang sama, pemerintah perlu menyeimbangkan kebijakan antara kepentingan dalam negeri dan ekspor agar tetap menjaga stabilitas industri sawit nasional.
Apakah harga minyak sawit akan terus melambung atau stabil dalam beberapa tahun ke depan? Semua akan bergantung pada bagaimana Indonesia dan negara-negara importir menavigasi kebijakan mereka ke depan.
Dengan produksi yang tertahan, kebijakan biodiesel yang semakin tegas, dan permintaan yang terus tumbuh, minyak sawit kini memasuki babak baru. Murahnya sudah berlalu, dan ketidakseimbangan pasokan bisa menjadi cerita baru.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)